x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bandung dan Utopia Kota HAM

Hak atas kota dan (utopia) Bandung kota Ramah HAM

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kota, dewasa ini menawarkan kondisi dan kesempatan yang masih dirasa jauh dari adil bagi penduduknya. Masih terdapatnya perampasan dan terbatasnya dalam memperoleh manfaat dari karakteristik ekonomi, sosial, budaya, etnis, agama, jenis kelamin dan usia mereka – untuk memenuhi kebutuhan hak-hak yang paling mendasar dikota.  Konteks ini mengakibatkan timbulnya kesulitan perkotaan yang masih terfragmentasi dan belum mampu menghasilkan perubahan transsendental dalam perkembangan perkotaan.

Sejak Forum Sosial Dunia Pertama (2001) yang membahas dan menghadapi tantangan untuk membangun sebuah model masyarakat dan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip solidaritas, kebebasan, keadilan, martabat dan keadilan sosial. Hal ini mengindikasikan agar memulai cara baru untuk memajukan, menghargai, membela dan memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang dijamin dalam instrumen HAM lokal, regional dan internasional.  Piagam Dunia tentang Hak atas Kota yang dihasilkan, sebenarnya merupakan instrument yang berorientasi untuk memperkuat proses perkotaan, pembenaran dan perjuangan tentang HAM. Dalam ketentuan umum dari piagam dunia ini terdapat pada pasal 1 mengenai Hak atas kota menyatakan : ‘ semua orang memiliki hak atas kota yang bebas dari diskriminasi berdasarkan jenis usia, status kesehatan, pendapatan, kebangsaan, etnis, kondisi migrasi, orientasi politik, agama atau seksual dan untuk melestarikan nilai budaya dan identitas sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang ditetapkan dalam piagam ini’. Hal ini jelas menyatakan bahwa dalam konteks Hak atas kota meliputi juga Hak Asasi Manusia (perkotaan).

Bandung, sebagai sebuah kota yang memiliki akumulasi karakteristik perkotaan dalam lansekap perkotaan yang menumpuk dan kompleks. Sebagai sebuah kota yang menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) pertama tahun 1955, sudah jelas memberikan pondasi mengenai HAM dalam skala internasional. Merujuk pada hal tersebut, maka dalam peringatan perayaan Konferensi Asia Afrika ke-60 , kota Bandung mengadakan Human Right City Conference yang menghasilkan sebuah deklarasi HAM untuk skala kota dengan menggunakan impact internasional dari perayaan KAA ke-60 (2015) dalam memperoleh simpati publik internasional. Bandung melalui atribut kuasa-nya mengklaim dirinya sebagai kota ramah HAM pertama di dunia. Lalu, apakah integrasi ini bisa ditarik dalam aras internasional?, ternyata tidak sama sekali. Jangankan masuk dalam skema internasional melalui integrasi piagam Dunia dalam aras lokal saja (kota), tidak adanya infrastuktur dalam upaya mendukung Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Belum lagi jika dikaitkan dengan integrasi dan interkonektivitas kota senagai bagian dari wilayah Indonesia terhadap   pembentukan komisi HAM antar pemerintah di Asia Tenggara yang dimulai dari pertemuan KTT ASEAN 15 pada tahun 2009 hingga posisi kota Bandung sendiri dalam konektivitas isu terkait dengan deklarasi Gwangju tentang HAM di kota pada tahun 2011 dirasa masih terasa jauh dari klaim besar yang diutarakan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Klaim kota ramah HAM menjadi gemerlap euforia politik kota dengan menggunakan simbolisme kekuasaan yang bekerja untuk mendapatkan pengaruh publik (penduduk) dalam penentrasi simbolik seremonial dan memori kolektif warganya dalam skala lokal (kota). Tetapi isu ini juga menjadi batu loncatan untuk mengeruk simpati dalam skala lokal, nasional, regional maupun internasional. Sepatutnya, pemerintah kota Bandung melihat poros gerakan HAM dalam kacamata internasional walaupun kota akan bekerja dalam aras lokal melalui skema desentralisasi. Piagam Dunia tentang Hak atas Kota tahun 2005 yang berlanjut kepada agenda piagam global tentang HAM di kota pada tahun 2010 menjadi landasan utama pembentukan kota ramah HAM dalam skala internasional. Dalam skala regional , piagam ASEAN melalui pembentukan AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) menjadi pijakan kerjasama antar negara Asia Tenggara untuk mendorong upaya penajuan HAM dikawasan ini. Lalu, dalam aras nasional, khususnya lokal (kota) pemerintah kota mampu memberikan dan menyediakan  dasar regulasi melalui kuasa desentralisasi lalu diimplementasikan dari apa yang telah digembar-gemborkan dalam KAA ke-60 sebagai kota ramah HAM pertama di dunia yang ternyata hingga saat ini hanya slogan klaim dan retorika politik (publik).

Jauh panggang dari api, nyatanya untuk perwujudan Bandung sebagai kota ramah HAM tidak ditopang oleh skema regulasi yang mendorong upaya ke arah sana. Tidak adanya peraturan daerah yang menaungi payung hukum dari klaim kota ramah HAM tersebut menjadi salah satu indikator awal bahwa utopia kota HAM dalam sudut pandang ini sedang terjadi. Kalau pun terdapat payung hukumnya, tetapi tidak akan menjamin bahwa pelanggaran HAM dikota ini akan mendapatkan keadilan HAM yang memadai sebagai bagian dari Hak atas kota walaupun menggunakan preferensi dari piagam Dunia tentang Hak Atas Kota. Padahal dalam laporan perkembangan komite penasehat tentang peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi HAM, termasuk pengarusutamaan HAM dalam pemerintah lokal dan layanan publik yang dikeluarkan oleh PBB tahun 2014 menjelaskan pentingnya kerangka hukum dalam implementasi HAM (dalam hal ini skala pemerintah daerah-kota).

Kegagalan pemerintah kota Bandung dalam merespon hal yang telah di klaim-nya dalam perayaan KAA ke-60 sebagai kota ramah HAM mulai terlihat. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas penggusuran  atau rekolasi oleh penguasa kota terhadap pedagang kaki lima yang tengah berusaha bertahan hidup mandiri dalam mendapatkan hak atas akses ekonominya di kota Bandung. Hal yang sama terjadi terhadap kampung kota, hilangnya kampung Kolase sebagai hak warga kota menjadi tanda bahwa kota Bandung tidak bisa ramah terhadap penduduk kotanya terutama penduduk marjinal yang dikategorikan sebagai warga miskin kota. Alih-alih memberdayakan warga miskin kota berdasarkan hak-nya sebagai warga kota dengan predikat hak asasi manusia yang menempel didalamnya untuk mengakses kota, malah penguasa kota mengaleniasi mereka dengan dalih dan upaya pembangunan kota. Tidak salah memang, tetapi memanusiakan manusia merupakan hal yang paling subtantif dalam penegakan HAM di kota.

Belum lagi upaya pendisiplinan warga secara massif melalui skema ‘Jam Malam’. Walaupun dengan legitimasi hukum yang tidak ada, tetap operasi ini sangat mempengaruhi psikologis warga kota yang biasa beraktifitas dimalam hari atau bersinggungan dengan dunia malam. Janganlah sempit memandang jika aktivitas malam itu melulu dikaitkan dengan sesuatu yang negative. Bagaimana dengan orang yang memang bekerja dengan shift malam hari atau pedagang kaki lima yang hanya berjualan malam hari untuk sekedar bertahan hidup dikota, seperti tukang nasi goreng dan pecel lele. Begitu pula dengan pasar pembelinya, yang akan merasa ‘malas’ untuk keluar malam hari hanya untuk sekedar mencari makan malam karena tindakan operasi ini. Skema ini malah secara tidak langsung mematikan penghidupan (warga) kota sebagai bagian dari hak hidup dan beraktifitas. Disamping itu skema ini juga menghilangkan denyut kota atraktif dan menciderai (slogan) kreatif itu. Memang ada upaya penertiban dalam rangka menekan angka kriminalitas, tetapi bukan dengan tindakan-tindakan yang justru malah membuat kriminalitas akan bekerja dengan cara yang lain.  Upaya-upaya (baik) pendisiplinan warga ini sebagai langkah yang justru malah mengubur HAM itu sendiri.

Dalam benturan lainnya menyangkut hak kebebasan beragama yang juga termaktub dalam Piagam Dunia Hak Atas Kota adalah Hak kebebasan beragama. Ancaman oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas walaupun tanpa kekerasan dan pembubaran dalam sebuah acara keagamaan seperti yang terjadi belakangan ini dikota Bandung karena dipandang oleh sebagian mayoritas sebagai sesuatu yang ‘salah’ melalui legitimasi negara karena dianggap ancaman perpecahan negara Indonesia. Pembiaran ini sudah merupakan bentuk dari tindakan intoleransi yang juga sebagai bukti bagaimana negara dalam hal ini kota Bandung telah abai sehingga pelanggaran HAM telah terjadi. Maka, dalam hal ini Bandung perlu pembenahan birokrasi dan penyusunan regulasi kota melalui Perda yang akan mendorong upaya menuju kota ramah HAM yang diimpikannya itu. Regulasi ini akan menjamin bahwa penduduk kota berhak atas kota-nya dan dilindungi HAM-nya sesuai ketentuan hukum yang berlaku termasuk hukuman terhadap yang melanggarnya. HAM (Hak Asasi Manusia) harus bekerja sebagai pembangunan dasar atas hak kota bukan sebagai pembangunan dasar atas HAM (Hotel, Apartemen dan Mall) yang merenggut HAM (Hak Asasi Manusia)yang sebenarnya. Pemerintah kota Bandung sendiri yang mencanangkan sebagai kota ramah HAM, tapi malah justru mengubur kota (Bandung) sebagai kota HAM (utopia).

 

Frans Ari Prasetyo

 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB