x

Iklan

avizena elfazia zen

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mbah Miskun dan Mbah Widari, Supir dan Kernet Kereta Kelinci

Perjuangan suami istri tua untuk menghidupi diri sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Niu niu tot tot tot”. Sirine kereta kelinci berbunyi, memecah keramaian sore. Anak-anak berloncatan riang, dan menarik tangan ibunya. Lalu sang ibu melambaikan tangan sambil menggendong putranya. Saat kereta berhenti, dengan sigap kernet membukakan pintu. Setelah semua penumpang duduk, lalu “priiit!”. Peluit berbunyi, tanda kereta harus berjalan lagi.

Kereta menyusuri jalanan di kampung Lokgempol, Blimbing, Kota Malang. Angin sepoi sepoi membelai wajah, membuat beberapa anak mengantuk.Namun sang supir tetap siaga, pantang berhenti sebelum dua kali memutari rute Polowijen. Keriput terlihat jelas di wajahnya, uban sudah menghiasi rambutnya, namun tekadnya masih membara untuk bekerja.

Meskipun usianya sudah 73 tahun, mbah Miskun tetap teliti dan menyetir kereta dengan hati-hati. Maklum, menyupiri kereta kelinci beda dengan menyetir mobil. Harus supir yang berpengalaman mengendarai truk gandeng, yang bisa menaklukkannya. Kereta memiliki dua gerbong, jika tak lihai mengendalikannya, bisa kehilangan keseimbangan, lalu terguling.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara sang istri dengan setia mendampinginya bekerja. Pernahkah anda melihat kernet wanita? Cucunya sudah sembilan, pula! Namanya mbah Widari, umurnya 65 tahun.Tapi kaki mungilnya masih mampu meloncat saat menuruni kereta, lalu setengah berlari menghampiri calon penumpang. Saat naik kereta, tak jarang kursinya sudah penuh, sehingga beliau terpaksa berdiri. Namun pekerjaan yang telah dilakoninya selama 4 tahun ini, dijalani dengan sepenuh hati.

Mbah Widari bisa mengobrol santai dengan mereka. Kadang ia membetulkan gendongan yang terlepas, atau membantu menenangkan bayi yang menangis. Mayoritas penumpang kereta adalah para nenek dan ibu, yang ingin menyenangkan hati sang anak dan cucu. Beberapa ibu membawa mangkuk berisi nasi dan lauknya, jalan jalan naik kereta sambil menyuapi makan sore.

Mengapa mbah Miskun dan mbah Widari mau melakoni pekerjaan ini di usia senja? Sebenarnya ke-enam anaknya sudah melarang mereka untuk bekerja, karena faktor usia. Namun karena terbiasa bekerja keras sejak muda, mereka tetap ikhlas menjalaninya. “Kalau tidak bekerja, badan pegal semua”, begitulah alasan mereka.

Padahal ada salah satu putranya yang menjadi polisi di borneo. Tapi mereka tak lantas berpangku tangan, dan meminta kiriman uang tiap bulan. Akhirnya ia membelikan kereta kelinci, dan mereka bekerja dengan senang hati.

Mbah Widari tersenyum walau bulir keringat membasahi dahinya. Jam menunjukkan pukul 12 siang, “dinas” paginya telah usai. Pasca turun dari kereta, hanya segelas air putih yang diteguknya. Bukannya beristirahat, ia malah berjalan ke samping rumah. Benih buncis, lembayung, dan sawi, ditebar di kebun. Kadang ia juga menanam lengkuas. Saat dijual di Pasar Blimbing, hasilnya lumayan, sepuluh ribu rupiah per kilogram.

Apa tarif kereta begitu murah, sehingga beliau harus menambah pendapatannya dari hasil berkebun? Ya, penumpang hanya membayar empat ribu rupiah saja, untuk dua orang pula!  Jika kereta kelinci dijalankan setiap pagi dan sore, seminggu tiga kali, mbah Widari bisa mendapat dua juta rupiah per bulan. Dengan catatan, semua kursi penuh terisi. Tapi hal itu tak terjadi setiap hari. Jika sepi, pendapatannya hanya cukup untuk membeli solar.Sekali jalan, kereta butuh lima liter solar.

Saat harga solar naik, tarif juga dinaikkan menjadi lima ribu per dua orang. Lalu penumpang jadi menyusut. Hanya satu-dua orang yang menumpang. Maklum, customer mereka adalah orang-orang yang pendapatannya di bawah UMR. Jadi tarif tak bisa dinaikkan lagi, kembali ke harga empat ribu.

Kadang ada guru Taman Kanak Kanak yang mencarter kereta kelinci, untuk karnaval tujuh belasan. Saat itu, mereka bisa tersenyum lebar, karena mengantongi tiga ratus ribu rupiah. Hanya dengan sekali jalan.

Tapi bisnis ini kadang tak berjalan mulus. Tahun lalu,  seorang pencarter bilang kalau murid TK di tempatnya bekerja, hanya 40 orang. Saat karnaval, ternyata murid yang datang, lebih dari 100 orang. Jadi harus diangkut dengan kereta bolak balik, tiga kali. Padahal perjanjiannya hanya satu kali.

Musim hujan dan musim pesta perkawinan juga membuat pendapatan mereka menurun drastis. Bahkan saat hujan gerimis, mesin kereta tak berani dinyalakan.Takutnya, jalanan licin, dan susah untuk menyetir kereta. Lagipula, kasihan penumpang jika terkena angin yang membawa air hujan dari sisi kanan dan kiri. Sedangkan saat musim pesta perkawinan, mbah Miskun tak bisa seenaknya menjalankan kereta. Karena jalanan kampung pasti diblokir, untuk tempat terop (tenda) pengantin.

Namun hal ini tak membuat mbah Widari bersedih. Dengan sabar, ia menjahit kain menjadi celemek. Dijual seharga sepuluh ribu rupiah.

Sedangkan mbah Miskun lebih suka mengasuh cucu. Ada dua cucu yang tinggal serumah dengan mereka.Sang ibu alias anak kedua dari mbah Miskun sibuk menjalankan profesinya sebagai penjahit.

Mbah Miskun bersyukur, karena dengan menyetir kereta kelinci, ia bisa menafkahi sang istri. Ia sudah berpengalaman menjadi sopir selama lebih dari 50 tahun. Sebelumnya, ia menjadi tukang becak.  Lalu teman baiknya mengajarinya menyetir, dan ia pun “naik kelas” menjadi supir mobil carteran, bus antar kota, lalu menjadi supir truk gandeng.

Saat mbah Miskun masih menjadi tukang becak, ia bertemu dengan mbah Widari, dan langsung melamarnya. Kala itu, Mbah Widari sudah yatim piatu, dan bekerja sebagai pembantu.

Setelah menikah, mbah Widari tak lagi menjadi pembantu. Pendapatan suaminya yang tak menentu, memaksanya bekerja keras, demi keenam anaknya. Ia berjualan celana jeans keliling Kota Malang. Melawan garangnya matahari, menyunggi celana di atas kepala. Sambil menggendong anaknya yang berusia setahun, dan menggandeng putra lain yang sudah berumur tiga tahun. Sementara anaknya yang lain sudah sekolah, dan bisa mengurus diri mereka sendiri.

Saat mengenang masa lalu, mbah Widari bersyukur. Karena sekarang ia bisa jadi kernet kereta sambil berjalan-jalan. Tak perlu berpanas-panasan sambil berjualan seperti dulu.

Semangat kerja mereka yang membara patut ditiru oleh generasi muda. Bolehkah kita malas-malasan,  sementara fisik masih kuat bertahan? Ingat kata Presiden, kerja, kerja, kerja!

 

 

 

Ikuti tulisan menarik avizena elfazia zen lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler