x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sampeyan Mencari Kambing Hitam?

Sejak zaman kuno, orang mencari kambing hitam untuk jadi korban atas buruknya situasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Orang yang tidak cerdas selalu mencari kambing hitam.”

--Ernest Bevin (1881-1951)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari-hari belakangan ini ada sedikit keramaian di jagat politik dan pemerintahan. Seorang menteri disebut-sebut menjadikan pemerintahan yang lampau sebagai ‘kambing hitam’ atas ketidakmampuannya menghadapi tantangan ekonomi saat ini. Menteri ini membantah tudingan bahwa ia mencari kambing hitam. Ia mengaku hanya memaparkan fakta-fakta ekonomi.

Benar tidaknya, tak usah dipikirkan. Namun, kebiasaan mencari kambing hitam sebenarnya bukan fenomena zaman modern. Sejarah kambing hitam sama tuanya dengan sejarah manusia. Di masa Yunani kuno, kambing hitam berupa manusia (diistilahkan sebagai pharmakos) digunakan untuk mengusir wabah maupun mencegah penyakit.

Di masa itu, orang-orang Athena kuno memilih sepasang lelaki dan perempuan untuk dikorbankan dalam Festival Thargelia. Setelah berpesta meriah, pasangan ini diarak keliling kota, dipukuli dengan ranting hijau, dilempari batu, lalu diusir keluar kota Athena. Dengan cara ini, kota dianggap akan terlindungi dari penyakit pada tahun berikutnya. Di zaman Romawi pun kebiasaan serupa juga berlangsung dengan melibatkan pemuka agama sebagai pemimpin ritual pengambinghitaman.

Di abad ke-20, praktek mencari kambing hitam masih berlanjut. Di era Uni Soviet, ketika Lenin meninggal, ada dua sosok menonjol dalam kepemimpinan komunis negara itu, yakni Joseph Stalin dan Leon Trotsky. Stalin ambisius untuk jadi orang nomor satu, sementara Trotsky relatif lebih populer karena kedekatannya dengan Lenin. Stalin memakai cara kuno untuk menyingkirkan pesaingnya itu dengan menuduh Trotsky telah berkianat dan melemahkan negara. Trotsky lalu mengasingkan diri ke Mexico, tapi agen-agen Stalin tetap memburunya hingga Trotsky terbunuh.

Rachel Carson, perempuan ahli biologi, juga dituding sebagai orang yang bertanggung jawab atas kelahiran gerakan pecinta lingkungan di era modern. Bukunya, Silent Spring, yang menunjukkan dampak buruk pemakaian pestisida dianggap bertanggung jawab atas pelarangan pemakaian DDT untuk pertanian. Para pelobi pasar bebas di AS bahkan menudingnya sebagai antikapitalis dan bertanggung jawab atas kematian jutaan orang karena pemakaian DDT dilarang, padahal bukti menunjukkan bahwa pada saat pelarangan diberlakukan serangga justru jadi imun karena sering disemprot DDT.

Nasib buruk menjadi kambing hitam juga menimpa William Tyndale, yang menerjemahkan Injil ke dalam Bahasa Inggris. Dalam terjemahan yang terbit pada tahun 1530 ini termuat untuk pertama kalinya istilah ‘scapegoat’ (kambing hitam). Dan ternyata, Tyndale menjadi kambing hitam ketika ia dilukiskan oleh Thomas More sebagai ‘si jahanam’ penyebab Perang Petani di Jerman.

Kambing hitam adalah bagian dari ‘blame game’—menyalahkan orang lain sebagai penyebab situasi buruk. Dalam bukunya, Scapegoat: a History of Blaming Other People, Charlie Campbell menyebutkan bahwa ‘blame game’ adalah ‘dosa asal kita’. Tidak ada hal yang menyingkapkan kebodohan manusia, kata Campbell, melebihi penolakan untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Ketika kita bertindak dan ternyata situasinya jadi lebih buruk, kita tak mau menerima konsekuensi itu, lalu menyalahkan orang lain atau situasi sebelumnya. (sumber foto: ubfriends.org)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler