x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Martabat Kelapa Sawit dan Petani di Indonesia

Perjanjian IPOP ditandatangani oleh 5 perusahaan sawit besar Indonesia pada tanggal 25 September 2014, New York, merugikan petani sawit dan negeri ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Jangan sampai Indonesia terkenal sebagai negara yang ‘pernah’ menghasilkan sawit terbesar.”

 

Indonesia adalah negara penghasil sawit nomor satu di dunia dan penyumbang devisa terbesar yang memberikan kontribusi pendapatan 200 trilyun Rupiah per tahun pada Indonesia. Ucapan di atas, apakah mungkin terjadi pada Indonesia secara lahan kelapa sawit sebesar 10,5 juta hektar, 43% nya dimiliki oleh petani swadaya Indonesia?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ucapan tersebut terlontar oleh seseorang saat menghadiri acara bertema “Bermartabatkah Sawit Indonesia” 17 Febuari 2016, Hotel Aston TB Simatupang. Tema yang ternyata menceritakan permasalahan dan dampak bagi petani dan negara Indonesia dari perjanjian IPOP ( Indonesia Palm Oil Pledge).

Perjanjian IPOP ditandatangani oleh 5 perusahaan sawit besar Indonesia pada tanggal 25 September 2014, New York. Berisi butir-butir yang merugikan pihak petani sawit dan negara Indonesia. Diantaranya adalah; melarang ekspansi lahan sawit, melarang sawit di lahan gambut, melarang kebun sawit di lahan berkarbon tinggi, dan lainnya.

Padahal jumlah petani sawit di Indonesia sebesar 4 juta orang dan menurut Bapak Firman Subagyo, Komisi DPR IV, bila tidak ada produksi sawit, 6 atau 7 tahun lalu Indonesia sudah mengalami defisit. Perjanjian IPOP ini bukan hanya berhubungan dengan perekonomian dan kesejahteraan, tapi juga soal ketenagakerjaan (khususnya petani), dan nabati dunia (soy bean, sun flower oil, palm oil, dan lainnya). Karena 2/3 sumber nabati berasal dari kelapa sawit. Dan minyaknya paling hemat dalam menggunakan lahan yang dapat menjadi solusi persoalan ruang untuk ke depannya dan juga dapat meningkatkan kebutuhan minyak nabati dunia.

Manfaat kelapa sawit lainnya bisa dijadikan sabun, lilin dan kosmetika. "Dan kita jangan puas dulu dengan hanya  mengimpor bahan mentah. Harus mendapatkan perhatian besar membuat produk selanjutnya," ucap Bapak Firman Subagyo.

Keberadaan perjanjian IPOP ini dapat mengurangi bargaining position para petani, pendapatan yang  menjadi rendah dan melanggar Undang-undang Dasar pasal 33, Ayat 3 dan 4, Tahun 1945.

Undang-undang Dasar pasal 33 ayat 3: “Bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat.”

Undang-undang Dasar pasal 33 ayat 4: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar aas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Terkait tersebut, karena 70% dari kelima perusahaan sawit besar itu menguasai kelapa sawit di Indonesia dan  Indonesia sebagai pemasok dipaksa mengikuti aturan yang tertera dalam perjanjian IPOP. Sekaligus mendikte dan membebankan biaya 40 juta Rupiah kepada petani setiap tahunnya untuk sertifikasi. Sebenarnya Pemerintah punya sistem aturan sendiri, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Salah satu di antaranya menjaga lingkungan.

IPOP yang “melarang menanam sawit di lahan gambut” dan aturan lainnya menuai kekesalan petani, Pemda, dan pejabat terkait lainnya. Seperti kita ketahui manfaat lahan gambut sangat baik di bidang pertanian dan energi. Tanah gambut dapat mengganti tanah yang seringkali dibabat untuk perluasan pemukiman dan kawasan industri. Produksi pertanian di lahan gambut pun lebih cepat dibanding di atas lahan biasa dan bahan gambutnya bisa diolah menjadi briket untuk kayu bakar. Lahan gambut terkandung nilai kalori yang tinggi dan kandungan abu gambut yang rendah tidak mengotori lingkungan.

Pelarangan-pelarangan dalam IPOP tidak heran membuat Bapak Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementan mengeluarkan statement, “Bubarkan IPOP!” alias batalkan perjanjian tersebut. Statement yang juga disetujui oleh Bapak Amran Sulaiman, Menteri Pertanian dan didukung oleh Kemenko.

Bapak Gamal Nasir akan memanggil 5 perusahaan besar yang menandatangani kesepakatan IPOP. Sebelumnya beliau sudah melayangkan surat kepada 5 perusahaan sawit besar itu dan belum mendapat tanggapan. Menurutnya, mereka terpaksa turut serta deklarasi IPOP karena untuk mengamankan pasar mereka.

“Kita tidak perlu takut pada negara asing dan khawatir kehilangan pasar. Saat ini Pemerintah memaksimalkan B-20 agar penggunaan CPO (Crude Palm Oil) dalam negeri lebih besar lagi,” ujar Bapak Gamal Nasir.

Bermartabatkah Sawit Indonesia?

Kosakata “Bermartabat”  menginterpretasikan  perjanjian IPOP yang telah melangkahi kesejahteraan petani sawit dan aturan Pemerintah Indonesia. Pemerintah menyayangkan langkah 5 perusahaan besar tersebut, 5 perusahaan yang terdiri dari Golden Agri Resources, Wilmar International Limited, Cargill, Asian Agri, dan Musim Mas. 

Martabat atau harga diri dari sebuah Pemerintah yang merasa dikoyak oleh pihak asing (Amerika dan beberapa negera Uni Eropa) terhadap hasil alamnya. Hasil alam yang telah memberikan pendapatan besar dan membantu negara ini dari keterpurukan ekonomi dunia. Lahan kelapa sawit yang hampir setengahnya dimiliki petani sawit Indonesia ini menjadi sebuah penafsiran betapa tidak berharganya nilai kelapa sawit yang selama ini penuh keringat mereka tanam. Kelapa sawit bagaikan dihentikan secara perlahan dan otomatis meresahkan para petani dan Pemerintah Indonesia. 

Yang jadi pertanyaannya adalah perjanjian IPOP tersebut dilakukan pada bulan September 2014 di acara Climate Summit, Sidang Umum PBB, dan dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi negara, lalu mengapa sekarang menjadi masalah? Masalah apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kelima perusahan besar tersebut tidak mau membeli hasil sawit dari petani? Atau kelima perusahaan itu melanggar dan keluar dari kesapakatan bersama? Jika iya, tentu ini jadi perkara. Apa alasan di balik itu?

Apakah mereka berada dalam tekanan atau takut seperti dikatakan Bapak Gamal saat penandatangan? Atau memang Pemerintah sebenarnya masih menguji fungsi lahan gambut secara akurat? Dari sisi petani pun, perlu dilihat, apakah mereka telah mengikuti standar agar hasil sawit bisa bersaing secara kualitas di pentas dunia? Bisa saja mereka kurang diberikan edukasi atau barangkali memang ada cara penanaman sawit yang aman - tidak seperti isu beredar yang mengatakan bisa menyebabkan kebakaran. Namun banyak yang heran peristiwa kebakaran waktu lalu di luar dari batas normal. 

Permasalahan tersebut memunculkan banyak pertanyaan di kepala rakyat Indonesia. Sebaiknya, Pemerintah memberikan edukasi yang baik secara tepat dan efisien kepada masyarakat. Namun, Bapak Firman akan membawa polemik ini untuk dikaji ulang di DPR. 

Sebuah kata martabat yang selalu saja terjadi sejak ratusan tahun lalu dan karenanya tidak dipandang lagi. Nasib, O, nasib. Tapi nasib bisa diubah oleh diri kita sendiri apalagi jika menyangkut nasib orang banyak. Sekali lagi Indonesia memiliki potensi besar dalam memproduksi minyak sawit. Alangkah sayangnya jika itu hanya meninggalkan kenangan dan ungkapan "Indonesia, pernah menjadi negara penghasil sawit terbesar". Berkembanglah maju dengan baik Sawit Indonesia...

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler