x

Jajaran anggota KPU Kota Semarang memimpin rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara di Semarang, Jateng, 16 Desember 2015. KPU Kota Semarang mendata jumlah perolehan suara dari 16 kecamatan dalam Pilkada Kota Semarang yang diikuti tiga pasan

Iklan

Irwan Ali

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepala Daerah Dalam Sumpah dan Tantangan Zaman

(Catatan Atas Pelantikan Serentak Kepala Daerah)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelantikan usai. Sejarah telah mencatat sumpah yang diucapkan para kepala daerah yang telah dilantik. Sebagai sebuah sumpah, bukan saja menjadi kewajiban untuk dipenuhi, tetapi juga menyimbolkan derajat dan harga diri. Sumpah Bisma dalam kisah Mahabarata, untuk selalu setia pada Hastinapura membuatnya harus angkat senjata melawan Pandawa, cucunya sendiri. Ia tahu, yang dilakukannya salah, tetapi sumpah terlanjur diucapkan. Demikian dengan Karna, yang terlanjur terikat sumpah untuk setia pada Duryudhana, pun membawanya harus meregang nyawa di ujung panah Arjuna dalam perang Baratayudha. Begitulah sumpah di mata para kesatria, sebuah simbol ukuran harga diri, sehingga mewujudkannya adalah mutlak, meski itu berujung dengan kehilangan nyawa.

Sumpah kepala daerah tidak harus membawanya ke medan perang. Ia tidak harus angkat senjata untuk melawan musuh yang mencoba melakukan invasi atau penaklukan. Cukup sederhana, hanya sikap konsisten untuk berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalankan roda pemerintahan. Kedengaran sangat mudah, benarkah demikian?

Dalam skala sempit, jawabannya, “Iya” mudah sekali. Cukup konsisten untuk tidak melakukan KKN, membuka pintu rumah jabatan 24 jam nonstop untuk rakyat, blusukan dan mengunjungi undangan-undangan masyarakat, dan seterusnya. Tetapi dalam skala yang lebih luas, sebenarnya para kepala daerah ini berada dalam situasi yang sangat kritis. Keadaannya bahkan jauh lebih berbahaya dari sekadar Perang Baratayudha dalam kisah Mahabaratha.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ini sedang terjadi perang ekonomi. Sebuah usaha penaklukan sedang dilancarkan oleh negara-negara ekonomi raksasa, seperti AS, China, Jepang, dan negara lainnya. Jika penaklukan di masa lalu dilakukan dengan caral militer, sekarang penaklukan itu lebih soft, melalui jalur ekonomi. Tetapi dampaknya tidak kalah mengerikan dibanding dengan penaklukan militer. Penguasaan sektor ekonomi menjadi jalan masuk untuk menguasai yang lainnya, termasuk kebijakan-kebijakan publik yang dirancang harus atas restu penakluk. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk memastikan keuntungan Sang Penakluk.

Asean Economic Community dan Asean Free Trade Area adalah jalan tol yang saat ini telah terbangun dalam upaya penaklukan itu. Menjadi penakluk atau justru menjadi pihak yang ditaklukkan, sedikit banyaknya bergantung di tangan kepala daerah.

Inilah peran dan tanggung jawab kepala daerah, menjadikan daerahnya sebagai sasaran pasar bagi produk negara lain atau menggenjot sumber daya manusia dalam persiapan menuju arena kompetisi. Kepala daerah ditantang untuk melahirkan kebijakan publik yang kuat dan memihak kepada masyarakatnya. Kepala daerah ditantang untuk kebal terhadap dikte asing. Bisakah kepala daerah melakukan tugas yang berat ini?

Mustahil, jika hanya berjalan sendiri. Seluruh unsur dalam daerah harus padu mewujudkan tujuan bersama. Pada tahun 2002 UNDP menerbitkan Laporan Pembangunan Manusia dengan tema “Depening Democracy in a fragmented world”. Tesis utamanya adalah bahwa politik menentukan pembangunan, kemiskinan dapat dihilangkan jika politik pro kepada penanggulangan kemiskinan.

Dalam kaitan dengan eksistensi kepala daerah, tesis UNDP bisa ditafsirkan bahwa selain matang dalam membangun kebijakan publik yang kuat,  kepala daerah juga dituntut untuk menjadi dinamisator politik di tingkat daerah. Ia dipaksa untuk  harus mampu menjadi pengendali politik atau minimal bisa meredam konflik politik di daerah.

Melihat pentingnya peran kepala daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah yang telah dilantik itu adalah orang pilihan yang benar-benar memahami  urgensi peran dan fungsinya. Bukan sekadar punya massa, lalu jadi bupati. Masih beruntung jika tidak melalui politik uang. Maka beruntunglah daerah yang memiliki pemimpin yang tidak lahir dari cara basi politik uang.

 

*Penulis adalah peneliti di Lingkar Data Indonesia

Ikuti tulisan menarik Irwan Ali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler