x

Iklan

Bageer Ghaniem

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mari Memajukan Peradaban dengan Budaya Membaca dan Menulis!

Figur Ir.Hernowo yang berhasil membuktikan bahwa dengan peradaban bangsa kita bisa maju dengan budaya membaca dan menulis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jika kau ingin mengenal dunia maka membacalah, dan jika kau ingin dikenal oleh dunia maka menulislah”

Apa yang terbersit di benak kita ketika disebutkan kata ‘membaca’ dan ‘menulis’? sebagian akan menjawab “buku”, sebagian lagi akan menjawab “sekolah”, sebagian lagi akan menjawab hal-hal lain yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan belajar-mengajar. Itu semua benar, tapi bagi saya, ketika disebutkan kata membaca dan menulis maka yang terbersit di benak saya adalah hanya satu kata: “PERADABAN”. Mengapa peradaban? Tentu, karena membaca dan menulis itu sangat identik dengan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan itu adalah barang pokok yang dibutuhkan sebuah bangsa untuk memajukan peradaban dan taraf hidupnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita bisa ambil contoh langsung dari kehidupan Nabi Muhammad SAWW. Pernahkah kita merenungi mengapa perintah yang turun kepada Rasulullah SAWW ditengah bobroknya peradaban bangsa Arab jahiliyah kala itu adalah Iqra’ –bacalah? Mengapa bukan dirikanlah sholat atau berbenahlah atau hal-hal lainnya? Lalu di ayat selanjutnya berbunyi Iqra’ wa rabbukal akram- Alladzi ‘allama bil Qalam –Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah, (Yaitu) yang mengajarkan dengan pena. Beberapa kata kunci (yang sesuai dengan tema kita) yang kita ambil dari ayat di atas adalah “Bacalah, Mengajarkan, Pena”. Hal ini seolah memberi isyarat bahwa, salah satu jalan untuk membimbing manusia memajukan peradabannya (khususnya bangsa jahiliyah saat itu) adalah dengan ilmu pengetahuan. Dan salah satu gerbang untuk mencapai ilmu pengetahuan tersebut adalah dengan ‘Membaca dan Menulis’.

Dewasa ini, jika kita mengamati keadaan sekitar kita, maka kita akan melihat bahwa budaya membaca dan menulis (khusunya dikalangan para pemuda) ini merosot seiring berkembangnya teknologi modern. Saya sendiri yang sedang duduk di bangku perkuliahan juga merasakan hal yang sama. Saya juga merasa prihatin melihat animo mahasiswa kita saat ini terhadap membaca dan menulis tidak se-‘rakus’ generasi-generasi sebelumnya. Padahal seharusnya pemuda adalah generasi penerus bangsa. Bagaimana peradaban bangsa ini di masa yang akan datang mau tidak mau harus diserahkan kepada para pemuda pada masa ini. Nah, apabila generasi muda yang diharapakan dapat memajukan peradaban bangsa ini tidak memiliki minat dan budaya baca-tulis yang tinggi, maka apakah mampu generasi ini memikul tanggung jawab sebesar itu?

Ditengah kebingungan saya mencari jalan keluar dan inspirasi, Tuhan mempertemukan saya dengan figur yang menjadi inspirator hidup saya, dan saya berhutang budi kepada beliau karena kehadirannya mampu mengubah hidup saya selamanya. Nama beliau adalah Hernowo. Pria kelahiran Magelang 12 Juli 1957 ini adalah dosen Bahasa Indonesia saya di STFI Sadra, Jakarta. Selain di STFI Sadra, beliau juga mengajar mata kuliah Digesting di STIKOM Bandung. Profesi beliau selain dosen adalah penulis. Beliau adalah salah satu dewan komisaris di Mizan Group dan pemilik penerbit Kaifa, Bandung.

Apa yang membuat saya terinspirasi oleh beliau? Pertama, saya terkejut dengan karya-karya beliau. Beliau sudah menginjak usia 53 dan jumlah buku yang sudah ditulisnya adalah 35 buku dan beberapa diantaranya best-seller bahkan mendapat prestasi-prestasi nasional. Yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta bahwa beliau memulai profesi menulisnya semenjak umur 40 tahunan. Bahkan ada 24 buku beliau yang berhasil diselesaikan hanya dalam waktu 4 tahun! Sebuah produktifitas yang hebat, bukan? itu artinya, rata-rata buku baru beliau terbit setiap 2 bulan sekali (di saat para penulis lainnya rata-rata menerbitkan buku setiap satu tahun sekali atau dua kali) selama empat tahun . Bagi saya –yang menggemari dunia penulisan- hal itu adalah pencapaian yang fantastis, mengingat beliau melakukannya di usia yang tidak lagi muda.

Kedua, semua buku-buku yang beliau tulis adalah tentang “membaca dan menulis”, entah apakah itu membangkitkan minat baca dan tulis, atau kiat-kiat membaca dan menulis atau membaca dan menulis untuk melejitkan potensi diri. Semua buku yang beliau tulis adalah tentang “membaca dan menulis” dan penggunaan keduanya untuk mengembangkan kualitas diri seseorang. Beliau percaya, bahwa membaca dan menulis adalah dua hal yang harus dilakukan secara bersamaan. “Tidak ada menulis tanpa membaca dan tiada guna membaca tanpa menulis, solusinya? Serempakkan!” begitulah yang pernah beliau ucapkan pada kami di kelas, dan inilah salah satu yang mendasari gagasan “Mengikat Makna” yang beliau populerkan (“Mengikat Makna” akan saya jelaskan lebih lanjut di paragraf-paragraf setelah ini). Dan beliau sangat yakin, bahwa membaca dan menulis dapat melejitkan potensi seseorang, mengubah hidup seseorang, membangun sebuah peradaban sebagaimana Nabi SAW membangun peradaban baru dengan Iqra sebagai perintah pertama dan menerbangkan seseorang ke titik yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya –seperti yang dialami oleh beliau sendiri. “Mengikat Makna telah menerbangkan saya ke titik yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya” –Hernowo.

Ketiga, beliau memiliki semangat tak kenal lelah melawan usia dan segala keterbatasan diri untuk terus dan terus menggalakan budaya baca-tulis kepada siapapun dan dimanapun, terutama untuk kalangan pemuda dan para akademisi. Tak pelak, keaktifan beliau menggalakkan budaya baca-tulis di Indonesia diganjar oleh Panitia “World Book Day Indonesia I” pada 2006. Beliau adalah orang pertama dari Indonesia yang mendapat penghargaan dari Panitia “World Book Day Indonesia I” sebagai penulis yang berhasil membangkitkan semangat membaca para pembaca bukunya. Kini, hari-harinya disibukkan dengan mengelola “Klinik Baca-Tulis” yang dia buka setiap hari lewat e-mail, SMS, Facebook (Hernowo Hasim) atau tatap muka langsung, entah dalam bentuk short-course,  workshop, seminar atau kegiatan perkuliahan seperti yang saya jalani ini.

Buku “Mengikat Makna Update” dan “Andaikan Buku itu Sepotong Pizza” adalah dua karya beliau yang paling saya gemari. Bagi saya, tak lengkap rasanya jika menyebut kata “Mengikat Makna” tanpa menyebut nama beliau. Karena beliau adalah penggagas Mengikat Makna. Apa itu mengikat makna? Secara sederhana, mengikat makna adalah mengolah dan mencerna (dengan proses berpikir) informasi yang kita dapat dari berbagai sumber baik lisan maupun tulisan lalu menyampaikannya kembali dalam bentuk tulisan –menuliskan pemahaman kita tsb. Makna yang dimaksud disini adalah sesuatu (bagian atau penggalan) yang kita anggap penting dan berharga dari informasi yang kita dengar atau yang kita baca. Gagasan “Mengikat Makna” ini terinspirasi dari quote Sayyidina Ali bin Abi Tholib kwh yaitu, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.

“Membaca itu jangan dibuat repot. Saya sibuk, tapi saya selalu membawa buku dan meluangkan waktu 10 menit saja setiap hari untuk membaca, lalu saya ikat maknannya. Membaca singkat-singkat seperti inilah yang saya sebut dengan membaca ngemil. Maknanya dapet, nggak ngebosenin, fun dan nggak makan waktu banyak,” jawab beliau ketika seorang teman berkata bahwa ia tidak memiliki waktu untuk membaca. Ya, salah satu strategi beliau untuk mendakwahkan membaca dan menulis adalah dengan mengampanyekan bahwa “Reading is fun, you can do it anytime and anywhere. Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan menyiksa hamba-Nya dengan perintah pertama-Nya –Iqra’ ”. Perihal itu sudah beliau kupas panjang lebar lengkap dengan macam-macam gaya membaca dalam buku-bukunya, terutama buku “Quantum Reading”.

Lain dengan membaca lain juga dengan menulis. Dalam segi menulis, beliau memperkenalkan banyak sekali gaya menulis yang fun but serious. Sebagai permulaan, beliau mengenalkan terlebih dahulu konsep MUDS (menulis untuk diri sendiri) dan MUOL (menulis untuk orang lain). Baru dari situ beliau mengupas habis segala tentang menulis di buku-bukunya, terutama buku “Quantum Writing”. Salah satu gaya menulis yang saya selalu lakukan setiap hari adalah Free Writing  ala Peter Elbow. Free Writing ini adalah jawaban yang beliau berikan atas keluhan saya yang selalu saja menemui jalan buntu dan hambatan saat menulis. Entah apakah itu rasa bosan, writer’s block atau hambatan-hambatan yang lainnya. Tapi semenjak saya melakukan kegiatanFree Writing ini, saya melihat dan merasakan bagaimana kualitas tulisan saya semakin hari semakin membaik dan saya lebih minim terkendala saat menulis. Apalagi rasa bosan, saya rasa, Free Writing-lah yang telah membunuh rasa bosan saya saat menulis, karena konsep-konsep menulis yang ditawarkan oleh teknik ini membuat sang penulisnya dapat menulis secara bebas tanpa tekanan, senang dan tak terbebani oleh apapun. Silahkan dicoba sendiri, hehe.

Tapi yang jelas, menulis dan membaca bagi beliau (dan bagi saya) adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Kata beliau, “Setiap anda mengucapkan kata membaca, maka menulis harus ada di benak kita. Begitu pula ketika anda mengucapkan kata menulis, maka membaca-lah yang harus ada di benak kita. Tanamkanlah ke alam bawah sadar kita bahwa membaca dan menulis selamanya harus berjalan bersamaan dan serempak, dengan begitu, hasil dari kegiatan ini akan meningkatkan kualitas diri kita, sehingga kita pasca baca-tulis akan menjadi pribadi yang lebih baik daripada yang sebelumnya. Inilah yang saya maksud dengan membaca dan menulis yang memberdayakan,”

Alhasil, hingga saat ini beliau sudah sukses menginspirasi para mahasiswanya (termasuk saya), para pembaca bukunya, akademisi, aktivis, seniman hingga beberapa organisasi atau lembaga sosial yang bergerak di bidang pelestarian budaya baca-tulis di Indonesia. Jangan dikira dengan sederet prestasi yang beliau dapat lantas membuat beliau puas diri dan menghentikan perjuangannya. Tidak! Perjuangan beliau menularkan “virus” membaca dan menulis seakan tak memiliki akhir. Bahkan disela-sela kesibukannya, beliau menyempatkan dirinya untuk meneliti dan mencari lagi cara-cara dan teknik-teknik membaca dan menulis serta dampaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan agar masyarakat Indonesia dapat memiliki minat baca yang tinggi dan kepiawaian untuk menyampaikannya. Sebagai langkah nyata untuk berperan mencerdaskan kehidupan bangsa. “Dengan spirit Iqra’ –yang telah mengubah bangsa Arab yang jahiliah menjadi bangsa yang beradab- ini, akankah kita merubah peradaban bangsa kita? Mengapa tidak!”. []

 

Ikuti tulisan menarik Bageer Ghaniem lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler