x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepenggal Sejarah Kematian Napster (1)

Sejarah Napster, sistem file sharing yang pernah sangat populer, adalah sejarah lahir dan matinya teknologi berbagi. Ini bukan perkara uang, tapi ideologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Naspter adalah revolusi konsumen. Napster adalah tentang hak saya untuk memiliki musik ini dan untuk berbagi bila saya sudah membayarnya.”

--Douglas Rushkoff (Jurnalis, 1961-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bermula dari rasa tidak puas terhadap cara menemukan file musik dengan IRC atau pun Lycos, naluri ”ngoprek” Shawn Fanning bekerja. Mahasiswa tingkat pertama Northeastern University di Boston, AS, itu menginginkan cara yang lebih mudah dan lebih asyik ketimbang men-download file musik dari website tertentu, seperti cara yang lazim hingga saat itu (tahun 1999). Artinya, file lagu-lagu itu disimpan di server web tersebut. Kerepotan bakal terjadi bilamana pada saat yang bersamaan ribuan orang mengakses server yang sama: macet.

Begitulah, bersama Jordan Ritter, teman yang ia jumpai di dunia maya internet, Fanning mulai menyusun program peranti lunak yang bisa mewujudkan angannya. Dengan Napster, sebuah server tak perlu lagi menyimpan ratusan file musik MP3 seperti sebelumnya. Yang ada di dalam server itu hanya direktori sederhana bersisi daftar musik dalam hard drive milik pengguna Napster yang berbagi file. Terobosan inilah yang membuat Andy Grove, Chairman Intel Corp.—produsen mikroprosesor—kala itu, menyebut penemuan Napster sebanding dengan peristiwa ditemukannya browser bagi internet. Sekedar menengok balik, kira-kira tujuh tahun sebelum Fanning menciptakan Napster, Marc Andressen dan kawan-kawannya mahasiswa Universitas Illinois menciptakan aplikasi bernama Mosaic. Inilah yang kemudian menjadi internet browser Netscape.

Mungkin Grove agak berlebihan, namun tatkala diluncurkan pertama kali pada Juni 1999, sambutan para netter penggemar musik memang luar biasa. Salah seorang yang dengan cepat mengadopsi Napster ialah Sean Parker, yang kemudian mengusulkan beberapa perbaikan pada program yang dibuat Fanning dan Ritter. Inilah peer-to-peer file sharing system pertama yang amat populer. Kendati sudah ada jaringan yang memfasilitasi file sharing di Internet, seperti IRC, Hotline, dan USENET, namun Napsterlah yang mengkhususkan pada musik dalam format MP3. Format MP3 memungkinkan pemadatan (compressing) audio file berukuran besar menjadi lebih mudah dibawa atau dipindahkan. Penggemar musik bisa menyimpan banyak sekali file MP3 di komputer atau berbagi di antara mereka, dengan menggunakan Internet dan file transfer protocols (FTP).

Napster memanfaatkan peer-to-peer (P2P) sharing yang menyediakan mekanisme mudah untuk menghubungkan pemakai yang berbeda (peers) dan sumber file MP3 mereka. Masing-masing pemakai (peers) dapat memanfaatkan jasa yang disediakan Napster untuk menemukan di mana file MP3 yang mereka inginkan, dan juga menyediakan file MP3 mereka bagi pemakai lain yang memerlukan. Napster menyediakan register terpusat lokasi-lokasi file, sementara file musik itu sendiri masih tetap tersimpan di komputer masing-masing pemakai. Memang bukan seratus prosen peer-to-peer, sebab Napster masih menyimpan direktori pada servernya yang menghubungkan sharing computer dengan downloading computer (Lihat Gambar 1.1). Jelas, Napster mengubah jaringan internet menjadi sarana pertukaran musik raksasa

Bagai magnet besar, dengan cepat Napster menarik penggemar musik dari seluruh dunia. Bahkan, ketika masih versi Beta (percobaan), Napster terpilih sebagai ”Download of the Week,” dan memperoleh sekitar 300 ribu kunjungan di download.com. Lantaran itu, Fanning lalu keluar dari universitas dan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk mengembangkan Napster.

Pertukaran file musik dalam format MP3 berlangsung setiap hari dan melibatkan jutaan orang. Dalam waktu enam bulan sejak diluncurkan ke publik, penggunanya sudah mencapai 10 juta pemakai dari seluruh penjuru dunia dan mampu menyedot pendaftar baru hingga 200.000 dalam satu hari. Untuk mengembangkan programnya lebih lanjut, Fanning berkolaborasi dengan pamannya Hank Barry yang mewakili penyandang dana ventura Hummer Winblad untuk membentuk perusahaan. Fanning memperoleh 20% saham di dalamnya berkat aplikasi Napster. Sejumlah pihak mulai terlibat, dari dalam, untuk mengembangkan Napster.

Ada banyak alasan mengapa pengguna Napster menyukainya. Napster dipakai remaja untuk memantau lagu-lagu kesukaan kawan sebaya. Mereka membicarakan musik dan lagu di chat-room yang juga disediakan Napster. Bagi yang mencari lagu-lagu lama, chat-room dan direktori lagu di Napster sangat menolong. Jika seorang Napsterites (julukan bagi pemakai Napster) mendengar cuplikan musik yang ada di hot-list pemakai Napsteriteslain, ia bisa mencari lebih jauh agar bisa mendengar lagu itu lebih utuh. Dan jika ia menyukai lagu itu akhirnya, boleh jadi ia akan membeli compact disc-nya. “Naspter berhasil sebab orang-orang yang menyukai musik berbagi dan berpartisipasi,” kata Shawn Fanning. (ilustrasi gambar: Napster Hotlist) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler