x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepenggal Sejarah Kematian Napster (3)

Napster, sistem file sharing yang pernah sangat populer, akhirnya dipaksa untuk mengubur dirinya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Saya menantang perusahaan-perusahaan rekaman untuk menunjukkan bukti satu sen saja bahwa mereka rugi karena Napster.”

--Dave Rowntree (Musisi, 1963)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan pertama mengenai perseteruan antara Napster Inc. dan RIAA datang dari Hakim Marilyn Patel dari Pengadilan Tinggi distrik San Fransisco, Agustus 2000, yang memerintahkan penutupan segera situs http://www.napster.com. Napster dianggap melanggar hak cipta. Putusan hakim ini mengundang respons luar biasa. Dukungan kepada Napster datang dari pemakainya yang mengirim ribuan pesan ke situs tersebut, termasuk ajakan untuk memboikot RIAA. Maximum Record, sebuah perusahaan rekaman independen, mengorganisasi demonstrasi yang melibatkan 100 artis untuk menyatakan dukungan kepada Napster.

Pada tahun 2000 pula, perusahaan rekaman A&M dan beberapa lainnya mengajukan gugatan ke Napster dengan tuduhan melanggar US Digital Millenium Copyright (DMC) Act. Industri musik mengajukan gugatan melawan Napster: 1) Bahwa pemakainya secara langsung melanggar hak cipta penggugat; 2) Bahwa Napster bertanggungjawab atas pelanggaran hak cipta penggugat; dan 3) Bahwa Napster bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukan untuk orang lain terhadap hak cipta penggugat. Pengadilan distrik menyatakan Napster bersalah untuk ketiga tuntutan tadi (CNN, 2001).

Napster memilih banding ke US Court of Appeals for the Ninth Circuit. Namun Pengadilan banding (9th U.S. Circuit Court of Appeals) malah menguatkan keputusan pengadilan distrik. Pengadilan Distrik memerintahkan Napster untuk memantau aktivitas jaringannya dan menutup akses untuk melanggar material (file musik) yang dilindungi hak cipta itu. Di saat putusan pengadilan banding keluar, para Napsterites masih tetap mempertukarkan file MP3. “Kami akan menemukan jalan untuk melakukan yang seperti ini,” kata Faisal Reza, 20, mahasiswa Massachusetts Institute of Technology. "Orang-orang yang menginginkan musik selalu berada satu langkah di depan orang-orang yang mencoba menghentikan mereka." (CNN, 2001)

Menanggapi vonis tersebut, pihak RIAA menyatakan puas. “Ini kemenangan yang jelas,” ujar pengacara asosiasi ini. Kendati kecewa, Shawn Fanning mencoba membesarkan hati dengan mengatakan keputusan itu bukan akhir bagi Napster. “Napster berhasil karena orang-orang yang mencintai musik mau berbagi dan berpartisipasi,” kata Fanning (CNN, 2001). ”Kita sudah mendengar bahwa kita tidak akan bertahan sebelumnya—ketika kita mempunyai 700 ribu anggota maupun ketika kita memiliki 17 anggota. Hari ini kita mempunyai lebih dari 50 juta anggota, dan kita akan menemukan cara agar komunitas ini tetap tumbuh,” ujarnya.

Sejak dengar pendapat di pengadilan pada Oktober 2000, Napster sebenarnya telah mencapai kesepakatan melalui berbagai perundingan dengan sejumlah label rekaman, termasuk Bertelsmann AG, perusahaan induk BMG. Bertelsmann berjanji akan mencabut gugatan melawan Napster dan akan berinvestasi ke dalam perusahaan ini apabila Napster menciptakan jasa yang membayar royalti para artis. Bahkan, sebelum keputusan banding itu keluar, Napster dan Bertelsmann mengumumkan rencana mereka untuk meluncurkan layanan berbasis-langganan.

Namun itu tidak terjadi. Pada Juli 2001 Napster mematikan keseluruhan jaringannya menyusul perintah pengadilan. Pada 24 September 2001, kasus ini untuk sebagian beres. Napster setuju membayar para pencipta musik dan pemilik hak cipta sebesar $26 juta untuk pemakaian musik di waktu lampau, serta membayar di muka untuk royalti lisensi senilai $ 10 juta bagi pemakaian di masa depan. Untuk membayar semua ini, Napster berusaha mengubah layanan gratisnya menjadi sistem berlangganan. Solusi prototipe sudah diuji pada musim semi 2002: Napster 3.0 Alpha, dengan format “.nap”. Napster 3.0 siap untuk diluncurkan namun menghadapi masalah signifikan dalam memperoleh lisensi untuk mendistribusikan musik label-besar.

Pada 17 Mei 2002, Napster mengumumkan asetnya akan diakuisisi oleh Bertelsmann dengan nilai $85 juta setelah bulan Februari sebelumnya penggunaan Napster mencapai 26,4 juta pemakai. Mengikuti syarat kesepakatan itu, pada 3 Juni Napster memasukkan permohonan perlindungan Chapter 11 di bawah undang-undang kebangkrutan AS. Pada 3 September 2002, hakim menghalangi penjualan ke Bertelsmann dan memaksa Napster melikuidasi asetnya menurut Chapter 7 undang-undang yang sama.

Napster ditutup karena industri musik menginginkannya, tapi ide mendistribusikan musik secara gratis di internet tak akan mati. Di saat Napster dibelit sengketa, beberapa file sharing system diluncurkan. Berbeda dengan Napster yang menggunakan server pusat, sistem-sistem baru yang dikembangkan tidak berhubungan dengan satu server saja, sehingga membuat sistem baru ini lebih sukar dimatikan. Gnutella, misalnya, menghubungkan satu komputer dengan semua komputer lain yang menjalankan program Gnutella tanpa server pusat. Begitu pula Freenet.

Bagi banyak orang, file sharing bukan semata persoalan hak cipta dan nilai ekonomi, tapi merupakan isu ideologi—inilah jalan keluar dari monopoli pemilik modal. ”Kelak orang akan menganggap ide bahwa informasi bisa dimiliki seperti memiliki emas akan sama usangnya seperti kita sekarang melihat pembakaran kaum penyihir di abad pertengahan,” ujar Ian Clarke, perancang Freenet. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler