x

Iklan

Eka Oktaviani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wina, Si Kecil Pengingat Makna Kasih Sayang untuk Alam

Seorang anak berusia 14 tahun bernama lengkap Wina. Sederhana namanya. Sederhana cara pikirnya. Sederhana pola hidupnya. Penyayang binatang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia merupakan salah satu komponen ekosistem di bumi yang menjadi penentu arah kehidupan bumi ini. Setiap manusia merupakan pemimpin atau khalifah bagi dirinya dan bagi alam semesta. Begitu kalimat yang tersurat dalam Kalam Allah Al-Qur’an yang sudah sangat sering kita dengar. Di sisi lain, manusia merupakan hamba Yang Maha Pencipta sehingga memiliki kewajiban untuk tunduk di hadapan Yang Maha Menciptakan. Manusia, dengan segala kelebihan yang dimilikinya dibandingkan makhluk lain memegang peranan penting di bumi. Kedua peran manusia ini membuat manusia memiliki batasan dan aturan yang terikat di bumi dan di langit. Peran sebagai pemimpin di bumi menjadikan manusia penentu nasib bumi ini. Sedangkan peran manusia di langit menentukan posisi manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain kedua peran di atas, sebagai bagian dari ekosistem, manusia tak luput dari peran sebagai konsumen tingkat tinggi dalam rantai makanan di alam. Sebagai konsumen tingkat tinggi, manusia memiliki kewenangan untuk memilih dan menentukan jenis makanan apa yang akan dia makan sebagai sumber aliran energi. Peran ini memungkinkan manusia dapat menjadi omnivor karena berpotensi mampu dan adaptif terhadap berbagai jenis makanan, dari jenis tumbuh-tumbuhan maupun jenis hewan (hewan tingkat rendah hingga tingkat tinggi).

Beberapa peran manusia di bumi tersebut menuntut manusia mengambil pilihan atas tindakan yang diambilnya sebagai makhluk Tuhan dan hamba Tuhan di bumi, serta sebagai bagian dari alam itu sendiri. Pilihan tindakan yang diambil oleh manusia seharusnya mampu menjembatani ketiga peran yang dimiliki di atas. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keseimbangan interaksi antara manusia, alam ciptaan Tuhan dan Tuhan Yang Maha Menciptakan manusia dan alam. Pencapaian keseimbangan interaksi ini dapat mendukung harmonisasi hubungan antara manusia, alam ciptaan Tuhan dan Tuhan Yang Maha Menciptakan.

Adalah seorang gadis kecil berumur 14 tahun. Ketika lahir, kedua orang tuanya sepakat memberikan nama panggilan kepada bayi mungil tersebut dengan nama Wina. Wina, menjadi panggilan akrab yang digunakan oleh teman-teman, saudaranya dan tetangganya ketika ingin berinteraksi dengan gadis kecil ini. Wina adalah nama panggilan sekaligus nama lengkap gadis ini. Saat ini, dia masih berstatus sebagai murid kelas 6 di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tlawong, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Wina merupakan putri kedua dari pasangan suami istri Wardiman dan Samiyem. Keluarga Wina merupakan tetangga terdekat dengan penulis sehingga memudahkan penggalian informasi terkait sosok inspiratif yang satu ini. Sesederhana namanya, sesederhana cara hidupnya, sesederhana cara berfikirnya, dan sesederhana perilakunya. Begitulah penulis memandang Wina.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wina bukanlah gadis yang seberuntung gadis seusianya di lingkungan Rukun Tetangga (RT) tempat penulis tinggal. Di saat gadis lain seumurnya sedang asyik-asyiknya bermain dan bersekolah, Wina kecil tidak hanya bermain dan bersekolah, namun juga dituntut untuk mau membantu orang tuanya menggembalakan kambing-kambingnya ke sawah. Kadang-kadang, jika kambing-kambingnya tidak dibawa ke sawah, maka Wina dan kakak perempuannya yang mencarikan dan mengumpulkan rumput untuk kambing-kambingnya agar tidak merasakan kelaparan. Keseharian Wina dapat dikatakan lebih sibuk dibandingkan dengan anak seusianya, dengan tambahan aktivitas memelihara kambing-kambingnya yang harus ia jamin kekenyangan perut kambing-kambingnya.

Kebiasaan memelihara hewan di rumah Wina berlanjut tidak hanya sampai pada hewan herbivor bernama kambing. Kelinci-kelinci, ayam-ayam, dan kucing-kucingnya menjadi saksi kasih sayang Wina kepada hewan-hewan yang dipeliharanya tersebut. Saking sayangnya dengan kelinci-kelinci lucunya, Wina dibuatkan kandang khusus kelinci oleh ayahnya. Begitu pula dengan ayam dan kambing-kambingnya. Hewan kesayangannya yang berupa hewan karnivor yaitu kucing, menjadi ujian tersendiri bagi Wina untuk membuktikan kasih sayangnya. Akhir-akhir ini, setiap cicak yang ada di dinding, termasuk dinding rumah penulis menjadi buruan Wina untuk dipersembahkan kepada kucing kesayangannya..

Diantara kambing-kambing yang dipeliharanya, Wina paling menyayangi salah satu kambingnya, yang kemudian dia beri nama Chika. Dalam hal ini, penulis melihat pemberian identitas ini sebagai bentuk memanusiakan hewan. Selain itu, pemberian nama juga diberikan kepada kucing kesayangannya, Chelsea. Chelsea merupakan identitas kucing kelabu yang diangkat oleh Wina dari teman bermainnya di dekat rumahnya.

Kedekatan Wina dengan Chika (kambing kesayangannya) dan Chelsea (kucing kelabu kesayangannya) bukan tanpa menuai protes dari orang-orang sekitarnya. Kadang, orang-orang di sekitarnya merasa terganggu dengan tingkah laku kedekatan Wina dengan Chika maupun dengan Chelsea. Tingkat ketergangguan tetangga sekitar dikarenakan tidak semua orang di lingkungan rumah Wina suka dengan kucing maupun kambing. Dengan adanya keluhan tersebut, Wina tetap menghormati keluhan tetangga sekitar dengan menghindarkan hewan kesayangannya dari tetangganya.

Wina, hanyalah satu potret manusia kecil di bumi. Dia adalah bagian dari ekosistem bumi yang sedang berada dalam proses menyeimbangkan diri dengan alam. Apa yang dilakukan Wina adalah cerminan bagaimana seorang manusia ingin menjadi bagian dari ekosistem alam tanpa berusaha menimbulkan kerusakan. Wina adalah seorang manusia, konsumen tertinggi dalam rantai makanan. Akan tetapi, posisi tertinggi dalam rantai makanan yang dimiliki Wina tidak digunakan secara sewenang-wenang. Wina menggunakan posisi tertinggi dalam rantai makanan dengan penuh kasih sayang. Cerminan implementasi kecil dari konsep rahmat bagi seluruh alam.

Dalam bahasa biologi, Wina telah melakukan konservasi secara ex situ dengan pemanfaatan makhluk hidup lain tanpa merusak keberlanjutan hidup hewan tersebut. Konservasi, khususnya konservasi sumber daya alam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas dan keragamannya[1]. Wina memanfaatkan hewan yang dia pelihara untuk kebutuhan sehari-hari, namun juga memastikan agar eksistensi hewan kesayangan yang dia miliki tetap terjaga.

Dalam lingkup wilayah negara sebagai bagian kecil dari ekosistem di bumi, Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang tinggi di dunia. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia ikut andil dalam kepemilikan biodiversitas yang tinggi tersebut. Hutan hujan tropis yang dimiliki Indonesia merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati tingkat tinggi tersebut. Banyak sumber tertulis yang menobatkan Indonesia sebagai negara yang kaya akan spesies makhluk hidup di bumi. Indonesia memiliki area hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, yang tersebar di kurang lebih 18.000 pulau, setelah Amazon dan Lembah Sungai Kongo Afrika. Dengan hanya area 1% dari area daratan bumi, hutan hujan tropis Indonesia memiliki 10% spesies tanaman yang terkenal di dunia, 12% spesies mamalia (termasuk di dalamnya spesies orang utan, harimau Sumatra, badak Jawa, dan gajah Sumatra yang terancam punah), dan 17% dari semua spesies burung yang terkenal di dunia. Disebutkan dalam ran.org, industri pulp dan kertas ikut menjadi bagian dalam punahnya harimau Sumatra yang ada di Indonesia. Industri yang mengandalkan budidaya monokultur, yang dapat mengusir hewan-hewan di dalamnya padahal mereka merupakan penghuni hutan hujan tropis yang menyumbang kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia dan menempati peran sebagai penyeimbang ekosistem di tempat tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Wina merupakan contoh dari bagaimana manusia seharusnya menempatkan diri di lingkungan. Memang, dia hanya memelihara beberapa hewan kesayangan di rumahnya. Namun, penulis merasa malu sebagai sesama manusia karena ketulusan dan kasih sayang yang diberikan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan yang tidak bisa dilakukan oleh diri pribadi penulis sendiri.

Berlatar belakang ilmu biologi, penulis merasa masih belum bisa melakukan seperti apa yang sudah dilakukan oleh Wina. Selama belajar, penulis merasa hanya memasukkan berbagai teori dari perkuliahan ke dalam otak saja. Teori berbagai cabang ilmu biologi yang digunakan untuk memenuhi target nilai. Salah satunya adalah mata kuliah ekologi yang didalamnya memuat teori tentang konservasi dan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Sekali lagi, penulis baru bisa berteori dan mendapatkan bahan yang cukup untuk memenuhi nilai dalam transkrip akademik. Penulis merasa masih belum mampu mengimplementasikan teori yang diperoleh di meja kuliah. Dan juga, merasa hampa dengan nilai di atas transkrip akademik sekaligus merasa belum lulus mata kuliah tersebut.

Penulis merasa tertohok melihat bagaimana Wina memperlakukan hewan kesayangannya. Selama ini, dari ilmu yang penulis dapatkan selama kuliah, penulis belum merasa sudah memanfaatkan apa yang sudah diperoleh. Idealisme yang mungkin rentan untuk tergadai demi sesuap nasi. Terkadang, ilmu-ilmu berbentuk teori dan praktek yang didapat selama kuliah, ingin tetap dipertahankan karena kita tau apa yang harus kita lakukan dengan melihat realita dan kondisi ideal yang diharapkan. Namun, ketika sesuap nasi sulit untuk didapatkan ketika lulus dari pendidikan sarjana, di zaman yang serba gila ini, maka disitulah ujian idealisme itu muncul. Maka kita harus memilih, jalan hidup mana yang harus diambil. Apakah tetap mempertahankan idealisme dengan konsekuensi sesuap nasi yang sulit untuk didapatkan, atau merelakan idealisme namun mengorbankan makhluk lain di bumi karena turut andil dalam perkembangan industri yang menganiaya dan mengusir hewan sebagai makhluk lain ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab, seyogyanya  mari kita memilih jalan yang menimimalkan kerusakan dan memaksimalkan perbaikan dan kebaikan. Sebuah dilema di negeri khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, antara idealisme dan materialisme hidup.

Maka Wina, penulis ingin menyebutnya sebagai gadis kecil yang harmonis dengan alam. Keharmonisan yang akan selalu menebarkan cinta kasih untuk makhluk lain di bumi. Harmonisasi yang dapat memimpin dirinya sendiri sebagai pengayom makhluk lain. Keselarasan hubungan yang dapat mendekatkan diri dengan Yang Maha Menciptakan karena manusia, dan juga hewan merupakan dua dari berbagai makhluk ciptaan Tuhan. Wina, juga adalah penyumbang keselarasan dan keseimbangan interaksi antara makhluk hidup dalam ekosistem di bumi tempat para manusia harus membuktikan perannya sebagai khalifah. Wina adalah jawaban realistis atas pertentangan antara idealisme bersikap di alam dan kenyataan yang berkaitan dengan materialistis yang selalu menuntut jawaban.

 


[1] kbbi.web.id

Ikuti tulisan menarik Eka Oktaviani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler