x

Iklan

muh azharun niam

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pak Jogja dan Usaha Cuci Motornya

Pak Jogja bukan seorang guru, motivator, atau pahlawan. Ia orang sederhana yang "menempeleng" saya berkali-kali dengan kesederhanaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila kebetulan kalian mengunjungi kelurahan di kota Depok yang bernama Kukusan dengan motor yang sudah lama tak dicuci, tak perlu bingung mencari dimana tempat mencuci. Sambil menikmati pemandangan, tanyalah warga yang anda temui dimana tempat cuci motor terbaik. Saya berani jamin, setiap jawaban warga akan menuntun kalian ke satu tempat cuci motor sederhana, tidak bertembok, berpenutup terpal, dan beralas karpet bekas. Pemiliknya orang tua tapi saya tidak menangkap roh tua dalam dirinya. Sebut saja namanya -seperti saya sering menyebutnya- Pak Jogja.

Sebutan ini saya dapat lantaran bapak ini berasal dari Jogja. Saya pernah menanyai namanya, berhubung saya pelupa nama yang akut, saya hanya ingat asal dia. Dan dari asalnya itulah saya memberi sebutan Pak Jogja untuknya.

Pertama kali jumpa, saya menyucikan motor kakak saya yang sering saya pinjam. Saat itu, selain Pak Jogja ada tiga lelaki lain yang ikut membantunya membersihkan motor. "Mereka semua dari Banten" katanya ketika saya tanya darimana tiga pemuda ini berasal. "Saya cuma mau bantu saja, mereka datang, yaudah saya suruh kerjakan. Daripada jadi pengangguran" susulnya disertai senyum renyah.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski hidup di zaman modern, hidup Pak Jogja nomaden. Pertama kali di Jakarta, ia bekerja di perusahaan bagian kelistrikan. Bosan dengan pekerjaan di perusahaan, pak jogja beralih profesi. Sebelum akhirnya memutuskan membuka usaha cuci motor mandiri, pak jogja banyak berganti-berganti profesi.

Selain keberaniannya berganti profesi, Pak Jogja hobi kabur bila mendapati orang dari kampungnya melihat tempat tinggalnya. Menurutnya, ia tidak mau direpotkan sekaligus merepotkan. Ia menginginkan suasana baru di lingkungannya. Tetangga di desa yang memergokinya hanya mengingatkan dia akan kampung halaman. Dan hal seperti itu kurang disukai Pak Jogja.

Pertama bertemu Pak Jogja, saya sempatkan banyak berbicara. Ia berkata, usaha cuci motor yang paling lama ada di daerah sini adalah miliknya. Orang lain banyak yang latah. Melihat usaha Pak Jogja yang ramai, banyak yang ramai-ramai membuka usaha cuci motor juga. Ternyata usaha cuci motor yang bermunculan tadi tidak bertahan lama. Belum apa-apa sudah tutup kembali. Banyak yang menginginkan keuntungan cepat dalam tempo yang pendek.  

Bagi Pak Jogja, menjadi pengusaha tidak bisa seperti itu. Mau untung atau rugi itu sudah konsekuensi menjadi pengusaha. Pak Jogja tetap bertahan ketika bisnis sederhananya ini sedang sepi. Tindakan bertahan di situasi sulit ini tidak diambil oleh yang lain.

Dari sinilah saya membaca ketulusan Pak Jogja. Ia sebenarnya bisa memilih usaha lain saat usaha cuci motor sedang tidak ramai. Tapi ia memilih bertahan dengan keadaan dan melaluinya sebagai pemenang. Melalui kesabarannya, kompetitor usaha lain berguguran sendiri karena beda tujuan. Bila Pak Jogja mengejar nilai usaha, pengusaha lain cenderung mencari laba. Laba tidak ada, usaha diganti. Tentu saja, model bisnis seperti itu tidak berjalan lama.  

Selain mental bertahannya yang kuat, Pak Jogja juga memiliki kualitas cucian yang mumpuni. Meski tempat pencuciannya sangat sederhana, beliau menjaga kualitas. Orang yang mencuci motornya disana hampir pasti puas dan kembali lagi mencuci disana. Saya merasakan sendiri sensasi motor saya usai dicuci Pak Jogja, beda rasanya dengan pencuci lain.

Pernah saya iseng bertanya kepada Pak Jogja.

“Kenapa sih pak harus bersih sampai bagian-bagian yang sulit dijangkau? Kan nanti juga kotor lagi?”

“Mau saya setengah-setengah mencuci atau bersih sekali, capeknya sama mas. Tapi kepuasannya beda. Orang-orang suka kalau bersih”

Mendengar jawaban itu, saya merasakan kembali tamparan Pak Jogja. Pertama agar tidak mudah menyerah dan kedua agar total dalam bekerja. Selama ini saya cuek dengan tugas-tugas saya dan selalu berpikir asal tugas selesai. Melalui Pak Jogja, di tempat cucinya, saya diajarkan profesionalisme yang tidak saya temui di bangku kuliah. Pak Jogja adalah orang sederhana, bukan seorang guru, bukan pula motivator atau manusia yang lemah namun bangkit. Ia hanya pencuci motor yang sering kita jumpai dimana-mana di negeri ini tapi ia memendam nilai yang dalam.

Dari tempat sederhana ini, bukan hanya motor, pikiran saya juga dibersihkan untuk lebih total dalam mengerjakan sesuatu karena -sesuai kata Pak Jogja- capeknya sama.

Saat saya cuci motor terakhir kali, tinggal Pak Jogja seorang yang mengerjakan. Pemuda-pemuda yang dulu tidak saya temui lagi. Pak jogja cerita kalau usahanya sedang naik turun. Ia tidak mau menyusahkan anak muda yang bekerja dengannya saat usahanya turun. Ia mau mereka digaji tapi penghasilan yang sedang naik turun seperti saat ini justru menyusahkan mereka.

Tempat cuci motor Pak Jogja sekarang sedikit berpindah. Kalau dulu di kiri jalan, sekarang di kanannya. Sama-sama sederhana dengan desain yang tidak jauh berbeda. Kualitas juga tidak ada beda antara dulu dan sekarang.  

Kepindahan Pak Jogja ini karena lahan lamanya kena gusur. Lahan usahanya dulu masuk dalam kawasan pengembangan tol.  Pak Jogja cerita, usahanya kali ini tidak akan bertahan lama, paling cuma tiga bulan. Setelah tiga bulan, Pak Jogja akan kembali lagi ke kampung halamannya di Jogja. Disana, ia sudah mendirikan rumah untuk dihuni mengisi masa tuanya.

Sampai bertemu lagi di Jogja, Pak. 

Ikuti tulisan menarik muh azharun niam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu