x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menggantung Nasib KPK

Pencegahan korupsi penting untuk diperkuat, tapi bukan berarti upaya pemberantasan lantas dilemahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

  

“Dampak terburuk korupsi dirasakan oleh orang kebanyakan.”

--Kailash Kher (Musisi India, 1973-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR akhirnya bersepakat untuk menunda revisi Undang-Undang KPK. Menunda tidak sama artinya dengan membatalkan. Jadi, suatu ketika revisi akan tetap dilakukan—bahkan DPR menargetkan tahun ini selesai. Artinya, untuk beberapa bulan ke depan masih ada pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan. Isunya dibiarkan mengambang dan belum jelas kemana arahnya. Apakah penundaan revisi ini akan jadi penundaan kekalahan gerakan antikorupsi?

Di lain sisi, menunda revisi sama artinya dengan menggantung nasib KPK. Kata Presiden: “Perlu ada waktu yang cukup untuk mematangkan rencana revisi dan melakukan sosialisasi pada masyarakat.” (Koran Tempo, 23 Februari 2016). Dengan bersikap seperti ini, boleh jadi Presiden tengah mengulur benang layang-layang agar partai politik pendukungnya tidak seketika merasa kalah karena usulan revisi mereka dimentahkan Presiden. Asumsinya, bila Presiden benar-benar tak ingin melemahkan KPK atau tidak ingin revisi yang melemahkan KPK.

Namun, meminjam istilah Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, seperti dikutip Koran Tempo, penundaan menjadikan KPK terus berada di bawah ancaman pelemahan. Meskipun pimpinan dan anggota DPR, maupun petinggi partai politik, berulang-ulang mengatakan bahwa revisi bukan ditujukan untuk melemahkan KPK, namun masyarakat tidak berhasil diyakinkan. Berbagai penolakan berlangsung di mana-mana, juga dari para guru besar kampus-kampus terkemuka yang menganggap langkah revisi undang-undang merupakan upaya pelemahan secara legal.

Ada petinggi partai politik yang mengatakan bahwa KPK seharusnya menggalakkan pencegahan korupsi. Ia juga menyebutkan bahwa KPK perlu belajar pencegahan korupsi dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut petinggi ini, Risma sangat handal menciptakan sistem untuk mencegah korupsi. Kebijakan Risma seperti e-procurement, reformasi birokrasi, penetapan kinerja aparat pemerintah, dan restruktursisasi APBD, merupakan salah satu contoh kebijakan anti korupsi.

Sepanjang pengetahuan saya, KPK sudah dan terus mendorong transparansi birokrasi, seperti pelayanan terpadu satu pintu, pelaporan secara online, mendorong kepala daerah agar menerapkan model e-budgeting maupun e-procurement. KPK juga terus mendorong kepala daerah untuk menggalakkan anti-gratifikasi. Apa beda KPK dan Bu Risma? KPK memberi dorongan, mengampanyekan, maupun mendampingi para kepala daerah. Nah, Bu Risma selaku walikota yang punya ruang untuk menerapkannya dalam praktik pemerintahan.

Apa yang dilakukan KPK itu merupakan upaya pencegahan terjadinya praktik korupsi. Upaya mencegah korupsi dengan cara-cara sistemik, seperti membangun sistem e-budgeting yang transparan, memang penting dan patut didukung, tapi bukan berarti kemudian upaya pemberantasan korupsi lantas dilemahkan.

Bagi orang-orang yang punya niat korupsi sejak dalam hati dan pikiran, sistem apapun akan dicoba disiasati dan diakali. Mereka akan berusaha lebih kreatif daripada orang-orang kreatif yang membangun sistem untuk mencegah korupsi. Oleh sebab itu, pemberantasan korupsi tetap harus dilakukan secara ekstensif, dan untuk melakukan hal ini KPK memerlukan sejumlah kewenangan seperti yang dimiliki selama ini. Kewenangan ini jangan dilemahkan. (foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler