x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tantangan Terbesar adalah Diri Sendiri, Bukan Orang Lain

Belajar dari kompetisi memasak, tantangan terbesar yang harus kita hadapi ialah bagaimana mengendalikan diri sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Tapi, lawan terburuk yang dapat engkau jumpai selalu dirimu sendiri.”
--Friedrich Nietzsche (dalam Thus Spoke Zarathustra)

 

Menonton kompetisi memasak di televisi memang mengasyikkan. Walaupun yang kita tonton adalah cuplikan-cuplikan dari keseluruhan proses memasak, ketegangannya tidak surut. Komentar para juri pun, walaupun ringkas, selalu ditunggu: ada yang memuji, tak kurang yang berkomentar pedas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dibandingkan hasil akhirnya, yakni ketika hasil masakan disajikan di hadapan juri, proses memasak bagi saya lebih menarik. Di ruang besar itulah, seluruh kontestan berlomba membuat masakan paling lezat untuk disantap maupun paling indah untuk dilihat. Penataan hidangan merupakan faktor tak kalah penting dibandingkan dengan cita rasa masakan—rasa yang lezat dan penyajian yang indah merupakan hasil dari proses yang benar.

Pertarungan di dapur besar itu memperlihatkan bagaimana siasat masing-masing peserta menghadapi tantangan memasak selama 60 ataupun 90 menit. Kita dapat menyaksikan rupa-rupa reaksi peserta terhadap tekanan waktu. Ada yang dengan tenang menyiapkan bahan, ada yang memasak tanpa senyum, ada yang panik karena masakan gosong, dan ada pula yang tengok kiri-kanan karena ingin tahu sudah sampai mana proses memasak peserta lainnya.

Saya memperoleh sekurang-kurangnya dua pelajaran berharga dari menonton acara ini.

Pertama, passion. Dalam setiap episode kompetisi, apakah itu meniru masakan seorang chef profesional, membuat masakah baru (invention), ataupun pressure test, pemenangnya adalah peserta yang memasak dengan hati. Di saat memasak, sejak mempersiapkan bahan dan meracik bumbu, ia melakukannya dengan suka cita. Pendeknya, cooking with passion.

Mereka yang sejak awal sudah kesal, umpamanya karena mendapat tantangan yang tidak mereka sukai—bahan masakan, tema hidangan (pembuka, utama, atau penutup), biasanya tidak jadi pemenang pada episode tersebut. Begitu pula dengan peserta yang terlampau percaya diri sehingga kurang waspada atau meremehkan tantangan. Masakannya kurang lezat, penataannya pun kurang menarik.  Apa yang dirasakan dalam hati ketika memasak terungkap dalam makanan yang disajikan.

Rasa-rasanya, hal serupa berlaku untuk urusan lain. Kehadiran passion di saat kita mengerjakan sesuatu, apakah itu pekerjaan kantor, hobi, atau pun dalam konteks aksi sosial, akan membuat hasil akhir dari upaya tersebut diapresiasi orang lain dengan sangat baik. Akan terlihat betul apakah pekerjaan tertentu digarap dengan hati atau dikerjakan sembari ngedumel. Manajer berpengalaman dengan mudah mengetahui suasana hati anggota timnya apakah bekerja dengan sepenuh hati atau asal beres.

Pelajaran kedua yang saya dapat ialah bahwa dalam mengerjakan apapun, tantangan utama yang harus kita tundukkan adalah diri sendiri. Mengamati perilaku peserta lomba memasak sungguh menarik. Ada peserta yang sangat sering memulai memasak dengan rasa panik. Terkesan, bawaannya ‘gemper’. Ada pula yang kerap menengok kiri-kanan, depan-belakang, ingin tahu sudah sejauh mana kemajuan peserta lain. Ada pula yang menganggap remeh resep yang telah disiapkan, sampai akhirnya ia terkejut ketika mendapati di satu titik proses tertentu hasilnya berbeda dengan yang diharapkan.

Ada pula peserta yang dipuji juri sebagai memiliki bakat yang bagus, tapi kinerjanya naik-turun. Terkadang masakannya enak, lain kali tanpa rasa. Pada akhirnya, dalam setiap episode kompetisi terlihat bahwa peserta yang sanggup mengatur diri dengan baik akan keluar sebagai pemenang game tersebut. Artinya, lawan utama dari setiap peserta sebenarnya bukan peserta lain, tetapi dirinya sendiri. Tantangan yang harus diatasi masing-masing peserta ialah apakah ia sanggup mengelola emosinya, menata pikirannya agar tetap fokus sepanjang proses memasak, dan apakah ia mampu mengelola waktunya agar tidak terseok-seok menjelang saat penyajian tiba.

Dalam hemat saya, dua pelajaran berharga itu juga bisa diterapkan di lapangan yang lain. Dalam banyak hal, kita memang tidak sepatutnya menyalahkan orang lain. Para guru silat yang sudah mencapai tataran tertinggi adalah para empu yang sudah mampu menguasai dan mengendalikan dirinya: segenap kekuatan dan segala kelemahannya. (foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler