x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hierarki tidak Mesti Cerminkan Keahlian

Ketika seseorang naik jenjang dalam organisasi, bukan berarti ia pasti yang paling pandai dalam bidang yang spesifik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"In a hierarchy, every employee tends to rise to his level of incompetence."

--Laurence J. Peter (Penulis, 1919-1990)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Promosi jabatan terkadang menimbulkan situasi tidak enak di antara sesama teman yang semula berada pada satu jenjang. “Kenapa sih kok dia yang jadi manajer?” Komentar di antara teman ini kemudian jadi kasak-kusuk. “Dia kan bukan yang paling jago dalam bikin program. Mestinya kamu dong! Atau kalau tidak ya, Mas Doni, dia kan paling senior di departemen kita.”

Alamiah belaka bahwa orang-orang berpaling kepada anggota senior. Tapi, tak berarti bahwa mereka mesti percaya sepenuhnya bahwa anggota senior tahu segala hal yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan tertentu. Ia mungkin memahami betul bidang spesifik tertentu, misalnya tadi pemrograman, tapi ia sukar mengembangkan kemampuan manajerialnya.

Siapa yang dipromosikan ke jenjang lebih tinggi, itu berpulang kepada tujuan perusahaan. Ketika bagian analisis data ditugasi oleh manajemen untuk meraih sekian persen pangsa pasar big data, kapabilitas yang diperlukan untuk memimpin bagian ini lazimnya lebih luas dari sekedar keahlian teknis.

Posisi memimpin bagian memerlukan kemampuan presentasi, negosiasi, persuasi, mengelola sumberdaya manusia di organisasinya, mengelola keuangan, maupun keterampilan interpersonal. Keterampilan interpersonal diperlukan karena sebagai pemimpin ia harus merintis pembentukan jejaring (network), bertemu orang-orang, meyakinkan dan membujuk konsumen potensial.

Di sebagian organisasi, seseorang mungkin saja dipromosikan atas dasar kapabilitas yang sangat sempit. Pilihan ini akan menyulitkan bagian tersebut untuk berkembang, apa lagi ketika orang yang dipromosikan tidak mampu memelajari dengan cepat hal-hal baru yang berada di luar zona nyamannya. Akan muncul persoalan kepemimpinan.

Bahkan, orang-orang yang dianggap memiliki talenta kepemimpinan sekalipun tetap berpotensi menghadapi persoalan ketika sudah menggenggam kekuasaan. Kepemilikan wewenang, seperti dikatakan oleh banyak ahli, mampu mengubah psikologi seseorang. Kecenderungan negatif dalam dirinya dapat muncul.

Tidak setiap orang memiliki kecenderungan kuat untuk memimpin atau menjadi manajer. Bila seseorang lebih tepat sebagai ahli dalam bidang yang spesifik, dan ia sukar atau tidak berminat untuk memimpin organisasi, biarkanlah ia berkembang di situ. Kariernya tetap bisa menanjak, tapi ia tak perlu diserahi tugas memimpin orang lain. Ini dapat menjadi jawaban terhadap pertanyaan apakah orang tertentu tepat untuk dipilih memimpin bagian tertentu.

Niscaya menjadi penting bagi manajemen untuk menjelaskan kepada tim mengapa seseorang dipilih untuk memimpin dan bukan orang lain. Seleksi yang bersifat obyektif, umpamanya lewat serangkaian tes, dapat membantu mengurangi kecurigaan adanya faktor suka atau tidak suka sehingga tingkat resistensi anggota tim dapat ditekan. Tentu saja, tidak ada satu pilihan apapun yang dapat memuaskan semua pihak.

Pada akhirnya, manajemen mesti memilih seseorang dengan mempertimbangkan jenis tugas yang diberikan, kemampuan individual yang lebih dari sekedar penguasaan keahlian teknis, kondisi psikologis dengan diberikannya wewenang tertentu, maupun sejauh mana pemilihan orang tersebut memengaruhi motivasi anggota tim. (sumber ilustrasi: financialdirector.co.uk) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu