x

Warga Malaysia menulis doa pada dinding harapan saat acara zikir bagi pesawat MH 370 yang hilang di Kuala Lumpur, Malaysia, 6 Maret 2016. Pesawat jet berisi 239 penumpang dan awak ini hilang sejak 8 Maret 2014. AP/Joshua Paul

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Surat Cinta Sampai Jadi Wartawan

Yang pasti, saya tak menyangka, dari hobi menulis surat cinta, saya bisa jadi wartawan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beruntunglah saya yang langsung jatuh cinta dengan kegiatan menatah kata, menata kalimat atau menulis. Karena lewat kebiasaan menulis, saya akhirnya bisa menggapai cita-cita. Adalah bapak yang sudah lama almarhum yang mengenalkan saya pada dunia tulis menulis. 
 
Saat bapak masih jumeneng, saya masih ingat, setiap pulang dari kota kabupaten, beliau selalu membawakan saya bahan bacaan. Saya masih ingat, bahan bacaan yang selalu dibawa, jika tak koran, bapak selalu bawa Majalah Suara PGRI. Bapak saya seorang guru. 
 
Seringnya membaca, membuat ketertarikan saya akan dunia baca tulis tumbuh menggeliat. Saya pun coba-coba menuliskan ulang apa yang telah dibaca. Lalu kian keranjingan. Dan di bangku SMP, hobi menulis makin menjadi. Di bangku SMP pula, saya coba-coba buat puisi. Tentu puisi ala anak ABG. Temanya kebanyakan soal cinta. 
 
Akhirnya teman sebaya dan satu sekolah pun tahu. Mereka suka, dan selalu memuji. Ah, bangga rasanya. Makin bangga, saat seorang teman satu kelas, meminta saya membuat surat cinta untuknya. Rupanya dia sedang jatuh suka pada seseorang, seorang siswi satu sekolah tapi beda kelas. Surat cinta itulah yang akan digunakannya untuk 'menembak' si pujaan hati. 
 
Malam hari, surat cinta itu saya rancang. Tak lupa, diselipkan puisi-puisi. Saya masih ingat, teman saya yang menyediakan kertas warna biru. Dan, dia pula yang kemudian menyalin isi surat cinta yang saya tulis. Satu amplop berpewangi pun telah disiapkan. Esoknya, surat cinta itu diberikan. 
 
Tiga hari, surat cinta dibalas. Ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itu, teman saya pun jadi langganan surat cinta racikan saya. Dan, sejak saat itu pula, saya kian keranjingan menulis surat. Makin keranjingan lagi, setelah teman-teman saya yang lain akhirnya jadi pelanggan pula. 
 
Sampai lulus SMP, order membuat surat cinta masih mengalir. Ya, ada diterima. Tapi juga, ada beberapa surat cinta tak berbalas alias di tolak. Sayang, bapak yang selalu membawakan oleh-oleh bahan bacaan di panggil Tuhan, tepat menjelang saya lulus dari SMP. Tapi, yang membuat saya bangga, hobi membaca tak luntur, justru makin menjadi. Apa saja yang bisa saya baca, pasti akan saya eja dengan teliti. Koran bekas pun saya sambar. 
 
Saat saya sekolah menengah, hobi membaca tak juga menguap. Bahkan, makin menjadi. Sampai kemudian saya pun lulus sekolah menengah. Setelah itu hijrah ke Jakarta. Di ibukota saya menumpang di rumah paman, adik ibu di daerah Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Rumah kontrakan paman saya, dekat dengan Kampus Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka atau biasa disingkat Uhamka, sebuah universitas milik Muhammadiyah. 
 
Di Jakarta, saya ikut bekerja bersama paman yang jadi pemborong proyek. Dan saat tinggal numpang di rumah paman itulah saya berkenalan dengan para mahasiswa Uhamka yang kebetulan ngekos tak jauh dari situ. Perkenalan itulah yang membawa saya kenal dengan buku-buku yang menurut saya ketika itu, buku-buku serius. 
 
Saya masih ingat, salah satu buku yang membuat saya terkesan, adalah buku " Bangsa saya yang Menyebalkan," yang ditulis Eep Saefulloh Fatah, dosen muda Universitas Indonesia ketika itu. Bukunya bersampul warna coklat, terbitan Rosda Karya, Bandung. Entahlah, saya suka buku itu. Saya suka gaya menulis Mas Eep. Dan, diam-diam mimpi ingin jadi penulis pun menggeliat begitu saja. 
 
Saking sukanya pada buku Eep, sampai saya bela-belain memcopy ulang buku tersebut. Perbuatan tak baik memang, tapi mau apalagi, saya ingin memiliki buku tersebut. Buku itu pun selalu saya baca. Kenalan mahasiswa pun makin bertambah, tak lagi hanya anak-anak Uhamka. Satu mahasiswa UI, akhirnya jadi teman baru saya. Suatu waktu, saya diajaknya ke kosan dia, di daerah Margonda. Di kosan itulah saya mengenal Majalah Tempo, sebuah majalah yang kemudian saya gandrungi. 
 
Buku Eep dan Majalah Tempo, adalah bahan bacaan yang membuat keinginan menjadi penulis makin membara.  Sampai akhirnya, rezim berganti. Soeharto tumbang. Lalu orde reformasi tiba. 
 
Beruntung kemudian saya bisa melanjutkan kuliah di program D III Unpad. Saya masih ingat, di jurusan Tata Pemerintahan, saya kuliah. Ini jurusan yang ada di lingkungan Fisip Universitas Padjadjaran. Kampusnya ada di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dan, di Jatinangor itulah, saban hari Minggu, kala pasar kaget di gelar di lingkungan kampus, kegiatan berburu majalah Tempo bekas saya lakukan. 
 
Bertumpuk-tumpuk majalah Tempo bekas hasil buruan saban Minggu saya kumpulkan di kamar kosan. Lewat majalah Tempo, saya coba belajar menulis berita. Saya coba tiru gaya penulisan. Dan, setiap dapat hasil buruan baru, saat itu juga saya ingin segera menulis. Keinginan jadi wartawan perlahan tumbuh. 
 
Pasca Soeharto jatuh, kebebasan pers terbuka lebar. Banyak media baru lahir. Saya pun coba-coba mengirimkan tulisan. Saya masih ingat ke tabloid Abadi, tulisan pertama berbentuk opini saya kirimkan. Di tabloid itu, ada kolom khusus untuk mahasiswa. Wah, betapa bangganya, ketika saya dapat paket beberapa buku, serta satu tabloid, bukti tulisan saya dimuat. 
 
Itu tulisan pertama saya yang dimuat di media. Tentu, kebanggaan tersendiri, meski honor bukan berupa uang, tapi beberapa eksemplar buku. Yang saya ingat, salah satu buku yang diterima adalah buku Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni. Tulisan saya lainnya dimuat di tabloid Bangkit. 
 
Sampai akhirnya, saya bisa lulus, meski dengan IPK yang bisa dikatakan pas pasan saja. Tugas selanjutnya, mencari pekerjaan. Saya pun kembali hijrah ke kota. Kali ini, saya numpang di Bekasi, di rumah kakak saya. Ternyata, mencari pekerjaan sangat susah. Sampai saya pun demi mengisi waktu kosong karena tak dapat pekerjaan, sempat jadi kuli bangunan, memasang partisi atau sekat sebuah kantor yang ada di menara BNI, Jakarta.
 
Sampai kemudian kakak saya menganjurkan, lebih baik saya meneruskan kuliah lagi. Saya pun akhirnya mendaftar di program ekstensi Fisip UI. Jurusan Perbandingan Politik, yang saya ambil. Alhamdulillah saya diterima. Maka mulailah, saya kuliah pulang pergi Depok-Bekasi. Kuliah dilakukan sore hari. 
 
Setelah beberapa lama kuliah, saya kenal dengan salah satu teman sekelas. Edi namanya, asal Brebes. Dan, Edi yang kemudian menawari saya tinggal di kosan, setelah dia tahu, saya kuliah pergi pulang dari Bekasi. Biaya kos pun ditanggung berdua. Di kosan itu pula saya mengenal Wening, kelak jadi fotografer harian Jurnal Nasional, sebuah harian yang berafiliasi ke SBY dan Partai Demokrat. Wening, beda kamar kosan dengan saya, namun masih satu komplek. 
 
Kala itu, Wening yang juga anggota Mapala UI, sudah jadi fotografer di Majalah NationWide, majalah internal Lion Air Grup. Majalah ini sekarang ganti nama jadi Lion Mag. Dan, saat saya ngekos di Margonda Depok itulah, saya ikut lomba menulis surat cinta dalam rangka hari valentine yang diadakan toko buku Gramedia Depok. Ternyata surat cinta yang saya buat dinobatkan jadi juara ketiga. Sala satu jurinya saat itu saya ingat adalah Mbak Fira Basuki, novelis terkenal. 
 
Satu waktu, tiba-tiba Wening, menawarkan saya jadi reporter pengganti meliput tempat wisata di Jawa Timur. Reporter tetapnya sedang sakit. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Saya pikir ini kesempatan yang tak akan datang kedua kali. 
 
Pergi ke Malang, adalah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang. Wuih, bangganya bukan main, bisa naik pesawat terbang. Di Malang, saya pergi ke Bromo, setelah itu ke Yogyakarta. Dan, kebanggaan saya bertambah, saat melihat tulisan reportase saya di muat di majalah internal Lion Air. Wening, membawakan beberapa eksemplar majalah, tanda bukti tulisan saya dimuat. Kian bangga lagi, selain tulisan dimuat, dapat honor pula. Semangat menulis pun makin membara. Setelah itu, tulisan lain saya dimuat juga di majalah Lion Air. Bahkan, beberapa cerita pendek saya juga ikut dimuat. 
 
Selain Wening, saya juga kenal dengan Sulung Prasetyo. Dia juga anggota Mapala UI. Dia, saat itu sudah jadi wartawan di Sinar Harapan, sebuah koran tua yang dipunghujung akhir tahun 2015, terpaksa tak terbit lagi. Lewat Sulung, saya menitipkan sebuah cerita pendek. Dan, ternyata cerita pendek saya dimuat. 
 
Singkat cerita, saya akhirnya lulus dari UI. Tidak beberapa lama, saya kemudian menikah dengan gadis asal Cipete Utara. Cita-cita jadi wartawan pun akhirnya kesampaian. Saya diterima jadi wartawan di sebuah majalah yang membahas isu keamana. Majalah Security namanya. Kantor redaksinya di sebuah ruko, di Jakarta Selatan. 
 
Sayang, hanya sebentar saya bekerja di sana. Perusahaan tempat saya bekerja bermasalah, hingga kemudian tutup. Selepas bekerja dari sana, saya di terima jadi penulis naskah untuk program infotainmen Cek and Ricek. Program ini, besutan Ilham Bintang. Kantornya, ada di Meruya Jakarta Barat. 
 
Selain punya program infotainment yang tayang di sebuah stasiun televisi, grup usaha Pak Ilham Bintang ini juga punya sebuah tabloid cetak, namanya sama Cek and Ricek. Dan, saat bekerja sebagai penulis naskah di Cek and Ricek itulah, saya mengenal Kang Farid Iskandar. Dia, salah satu petinggi di jajaran redaksi Tabloid Cek and Ricek. 
 
Kenal dengan Kang Farid, di sebuah warung kopi, tepat di depan kantor Cek and Ricek. Sebelum atau sesudah menulis naskah, saya kerap nongkrong di warung kopi itu, sekedar ngopi. Dan, ternyata Kang Farid sering juga ngopi di sana. Kami pun, setelah kenal sering ngobrol. Mungkin karena sama-sama dari Sunda, kami pun merasa klop. 
 
Suatu waktu, Kang Farid pernah bertanya asal sekolah saya. Saya pun menceritakan detil, jejak pendidikan saya. Saya bilang, saya lulusan ekstensi Fisip UI, jurusan perbandingan politik. Kang Farid, ketika itu agak kaget. Kata dia, anak politik ya. Sampai kemudian ia bicara serius. Katanya, sebentar lagi akan ada koran baru yang akan launching. Sekarang lagi butuh banyak wartawan. Koran Jakarta namanya. 
 
Kang Farid pun menyarankan saya melamar ke sana. Kata dia, sebagai lulusan jurusan ilmi politik, saya lebig cocok bekerja di koran harian umum, bukan di media infotainmen atau hiburan. Katanya, ia punya kenalan wartawan di sana yang jadi petinggi di koran baru tersebut. Ia berjanji, nanti akan bilang ke temannya itu. Saya pun di minta siapkan saja lamarannya. 
 
Beberapa hari setelah itu, saya datang ke kantor Koran Jakarta, yang waktu itu masih berkantor di sebuah ruko, di jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Saat saya masuk, kantor masih kosong, hanya ada beberapa meja kayu saja. Setelah tanya resepsionis, saya pun dipersilahkan menaruh berkas lamaran kerja saya di sana. 
 
Setelah itu, berkas lamaran saya di bawa ke atas. Saya diminta menunggu sebentar. Tidak beberapa lama, saya diminta naik ke atas. Saya pun naik ke lantai dua. Di sana sudah menunggu seorang lelaki. Dan, di ruangan lantai dua itulah, saya di tes. Saya masih ingat, karena dia tahu saya lulusan UI, saya diminta menelpon Eep Saefulloh. Untungnya nomor HP Mas Eep saya catat. Saya diminta mewawancarai Mas Eep untuk meminta analisisnya tentang kondisi politik Indonesia saat itu. Lewat telepon kantor, akhirnya saya bisa menghubungi Mas Eep. Dengan terus terang saya bilang ke Mas Eep, bahwa saya lulusan ekstensi Fisip UI, dan saat ini sedang di tes wawancara kerja di sebuah media. 
 
Selesai wawancara via telepon, saya kemudian diminta lelaki itu untuk menuliskan hasil wawancaranya dalam sebuah berita. Dengan memakai laptop pinjaman saya tuliskan hasil wawancara dengan Mas Eep, jadi sebuah berita. Setelah selesai, saya melapor. Lelaki itu pun kemudian, membaca hasil racikan tulisan saya. Dia tampak manggut-manggut. Usai membaca, dia minta saya menunggu sebentar. 
 
Dia kemudian masuk ke sebuah ruangan masih dilantai yang sama. Tak lama kemudian keluar lagi. Lalu, dia mengatakan, besok saya diminta ikut tes psikotes di kampus UI Salemba. Singkat cerita, esok harinya saya ikut tes psikotes di kampus UI Salemba. 
 
Dua hari setelah itu tak ada kabar. Hari ketiga, ada telpon masuk. Telepon dari HRD Koran Jakarta. Saya diminta datang ke kantor Koran Jakarta, esok hari. Dengan semangat 45, esoknya saya bergegas, naik motor ke kantor Koran Jakarta. Dan, betapa tak percayanya saya, saat itu saya dinyatakan di terima. Bahkan, hari itu juga saya di beri sebuah tas berisi laptop. Hari itu juga, saya di tugaskan meliput ke gedung Komisi Pemilihan Umum yang ada di Jalan Imam Bonjol. Saya tak percaya, benar-benar tak percaya, seperti dalam mimpi, akhirnya saya jadi wartawan 'politik'. Sebuah profesi yang jadi idaman saya sejak lama. 
 
Saya pun kemudian menelpon Kang Farid, mengabarkan bahwa saya resmi di terima di Koran Jakarta. Kang Farid merasa senang. Dan, ia minta segera mengurus surat pengunduran diri saya dari Cek and Ricek. Esoknya, saya mengurus surat pengunduran diri dari Cek and Ricek. Sampai sekarang, saya masih tercatat sebagai wartawan Koran Jakarta. Banyak suka duka yang saya alami selama jadi wartawan. Tapi saya menikmatinya. Mungkin karena sudah jadi cita-cita. Yang pasti, saya tak menyangka, dari hobi menulis surat cinta, saya bisa jadi wartawan. Benar-benar tak menyangka. 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu