x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Membaca Dianggap Ancaman

Dalam beberapa tahun, buku dan kaum sekolahan menjadi target penguasa Pol Pol untuk dimusnahkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di Kamboja, semasa Pol Pot berkuasa (April 1975-Januari 1979), kaum sekolahan menjadi sasaran untuk dilenyapkan. Begitu pula buku--simbol kaum sekolahan. Untuk menciptakan ‘identitas murni’ yang terbebas dari pengaruh luar, dan memaksakan kehendaknya melalui loyalitas tanpa tanya dari brigade pengikutnya, Pol Pot melarang bahasa-bahasa asing, menghapus uang, menyita harta pribadi, melarang ritual keagamaan, dan memerintahkan agar anak-anak diambil dari orangtua mereka dan diperintah dengan cara yang baru.

Dalam Cambodia Culture Since 1975: Homeland and Exile (1994), Ebihara menggambarkan mimpi buruk di masa Pol Pot: “Tidak hanya penari, tapi biksu yang tahu bagaimana menulis teks-teks agama dengan benar, pengrajin yang tahu bagaimana mengkreasi kriya yang berbeda, dan perempuan yang tahu bagaimana menenun desain khusus binasa bersama pengetahuan mereka.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pol Pot memaksa budaya Kamboja kembali titik awal dan membangun ulang masyarakat yang ia bayangkan. Ebihara menulis dalam karya yang sama: “Sebagian besar dokumentasi tertulis di Khmer hilang ... begitu pula beragam artefak budaya, seperti alat musik, topeng untuk menari, dan gambar Buddha, sangat tragis... perubahan dalam masyarakat Khmer selama tahun-tahun pemerintahan Khmer Merah kadang-kadang ditafsirkan sebagai berakhirnya era Buddha...”

Simbol kaum sekolahan yang juga menjadi incaran rezim Pol Pot untuk dihancurkan ialah Perpustakaan Nasional Kamboja. Perpustakaan ini menempati gedung yang dibangun oleh Prancis pada 1913, bersebelahan dengan taman yang berlokasi dekat Arsip Nasional.

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa sebagian besar buku dan seluruh catatan bibliografis yang mendokumentasikan koleksi di perpustakaan ini, yang jumlahnya diperkirakan ‘puluhan ribu’, dibuang ke jalan-jalan dan langsung dibakar. Perlakuan buruk tidak berhenti sampai di situ. Gedung ini kemudian dipakai sebagai kandang babi selama masa pendudukan Khmer Merah.

Dalam A Splendor of Letters, Nicholas Basbanes mengisahkan bahwa bukan hanya buku dan bahan-bahan dokumenter lain yang menjadi korban keganasan Khmer Merah. “Ketika pegambilalihan kekuasaan terjadi, diperkirakan sekitar 380 ribu orang di Kamboja dapat digambarkan sebagai intelektual—di dalamnya termasuk para sarjana, seniman, dan penulis. Tatkala Khmer Merah diusir pada 1979, hanya sekitar 300 orang yang masih hidup,” tulis Basbanes. “Dari 60 pustakawan yang bekerja di Phnom Penh sebelum Khmer Merah berkuasa, tiga orang saja yang selamat. Dari 600 pematung trampil, lima orang saja yang bertahan hidup.”

Kota-kota dikosongkan. Phnom Penh berubah menjadi kota hantu. Kelaparan, penyakit, dan eksekusi menjadi penyebab utama kematian penduduk ibukota Kamboja ini. Kaum sekolahan musnah. Ketika Pol Pot jatuh dan kemudian mati, 1979, mereka yang selamat kembali ke Phnom Penh sembari membawa manuskrip dan buku-buku dari rumah, pagoda, maupun jalan-jalan.

Upaya merekonstruksi pengetahuan di Kamboja menghadapi banyak rintangan, salah satunya karena karya berbahasa Khmer hanya bersisa sangat sedikit. Selebihnya ditulis dalam bahasa asing yang sukar diakses oleh kebanyakan orang Kamboja. Sekitar 40 tahun yang lampau, penguasa pengganti Pol Pot menghadapi tantangan berat untuk menghidupkan kembali ‘kaum sekolahan’ yang nyaris punah di negeri yang indah namun bersaput tragedi ini. (sumber foto: unitec.researchbank.ac.nz/life) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler