x

Pengemudi melintasi deretan mobil taksi yang diparkir di kawasan Monumen Nasional saat terjadi unjuk rasa ribuan pekerja transportasi darat di depan Istana Negeara, Jakarta, 14 Maret 2016. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Taksiku Sayang, Taksiku Malang

Inti keributannya bukan aplikasi, melainkan "perang tarif". Lalu benarkah tarif online semata-mata menjadi murah karena efisiensi proses CRM di aplikasi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Industri transportasi adalah sektor yang teregulasi (regulated industry). Cirinya: ada rezim perizinan yang diamanatkan undang-undang sebagai hambatan untuk masuk (entry barriers) menjadi pemain baru serta pengaturan jasa dan produk sebagai barang publik sebagai komitmen pengikat bagi pebisnis sektor ini dalam perlindungan konsumen (exit barriers).

Itulah lingkungan makro yang menjadi asumsi dasar di sektor transportasi di negara mana pun. Makanya keributan soal "taksi aplikasi versus taksi konvensional" tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara. Inti masalahnya bukan di sisi inovasi (aplikasi), melainkan di sisi rezim perizinan penyelenggara jasa transportasi.

Banyak di antara kita mengatakan taksi konvensional kalah bersaing karena tidak memiliki inovasi yang adaptif dengan teknologi Internet. Walhasil, hilangnya pasar mereka merupakan kesalahan internal di perusahaan dalam merespons keseimbangan baru di industri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benarkah ini pertarungan inovasi dan teknologi? Saya tidak sependapat. Sebab, akar masalahnya adalah kesetaraan pemain di industri transportasi. Asumsi dasar lingkungan makro industri transportasi, ya itu tadi, yakni rezim perizinan dan pengaturan standar layanan.

Maka saya akan bersepakat bahwa inovasi aplikasi ini sebagai sebuah inovasi di tingkat mikro (corporate level). Titik awal antara model transportasi aplikasi dan konvensional adalah sama, yaitu tunduk pada regulasi yang ada. Mau bisnis di mana pun, mematuhi aturan yang berlaku adalah kewajiban dasar.

Jadi untuk menjadi sopir taksi harus menggunakan armada yang mendapatkan izin operasi—istilah gampangnya pelat kuning. Undang-undang mensyaratkan untuk menjadi sopir taksi harus menggunakan armada yang memperoleh izin operasi melalui pemerintah daerah.

Saya juga tidak sepakat kalau menyamakan terobosan inovasi taksi online menghabisi taksi konvensional sama dengan cerita tamatnya riwayat kodak dengan hadirnya kamera digital atau media cetak yang tersingkirkan oleh media online. Sebab, dalam kasus kodak dan media online, inovasi teknologi telah menggantikan fisik dari produknya.

Sedangkan, dalam kasus taksi online, apakah dengan masuk ke aplikasi di gadget kita langsung sampai ke tujuan? Tetap saja produk dasar yang mengantarkan kita ke tujuan adalah mobil dan sepeda motor, yang masih ada sopirnya.

Jadi aplikasi yang diributkan ini hanya mengganti salah satu proses, bukan produk, yakni proses customer relationship management (CRM), sehingga business to customer (B2C) menjadi lebih efisien dibanding memesan melalui telepon atau menunggu panas-panas di pangkalan.

Lalu apakah tepat kita menyederhanakan opini bahwa ini semata-mata karena abainya taksi konvensional memiliki aplikasi? Apakah kepemilikan aplikasi adalah kunci terjadinya penurunan tarif di taksi online?

Di sinilah benang merahnya. Inti keributannya bukan aplikasi, melainkan "perang tarif". Lalu benarkah tarif online semata-mata menjadi murah karena efisiensi proses CRM di aplikasi?

Saya rasa bukan itu kunci persaingan tarif. Rezim perizinan dan standar minimal layanan di taksi menyebabkan terjadinya harga yang diatur oleh otoritas (regulated price). Jadi struktur biaya akan menyerap biaya yang terjadi karena kewajiban yang ditetapkan pemerintah daerah. Misalnya, seragam sopir, database sopir, sertifikasi sopir, pul taksi, pemeliharaan, uji layak kendaraan (KIR), pajak (PPn, PPh), dan pungutan daerah.

Bila struktur biaya dari aturan tarif tersebut akan hilang saat memiliki aplikasi, alangkah bodohnya pemain lama tidak memakai aplikasi. Toh, dengan akumulasi keuntungan (laba ditahan atau retained earning) yang sudah dimiliki, bukan hal sulit bagi pemain lama berinvestasi memiliki aplikasi.

Inti soalnya bukan itu. Masalahnya, model bisnis yang diperkenalkan oleh Uber, Grab, dan Go-Jek bukanlah perusahaan transportasi. Mereka selalu menyatakan sebagai perusahaan teknologi (aplikasi).

Lalu siapa pemain transportasinya? Sopir dan pengojek. Siapa yang harus punya izin dalam industri teregulasi sesuai dengan undang-undang tak lain pemilik kendaraan dan sopirnya.

Jadi, kalau ada yang berpendapat "sharing economy" di era "digital economy", hal itu maksudnya sesama pebisnis membagi biaya bersama. Istilahnya business to business (B2B) dari perusahaan aplikasi dengan pebisnis transportasi.

Idenya persis saat bank berinvestasi teknologi anjungan tunai mandiri dan online banking, yang tidak murah bagi bank kecil. Maka muncullah perusahaan yang berfokus menjadi pemain tengah sebagai penyedia solusi teknologi, seperti jaringan ATM Bersama. Daripada berinvestasi yang nilainya besar, bank cukup membayar biaya per transaksi. Jadi perusahaan aplikasi harus beraliansi dengan mitra yang berizin di sektor regulated industry.

Yang terjadi saat ini, tarif bisa turun karena perusahaan aplikasi membiarkan mitra tidak berizin. Akibatnya, mereka bebas dari ketentuan tarif yang diatur. Itu yang menyebabkan tarif mereka bisa murah—bukan karena efisiensi biaya karena sharing aplikasi seperti cerita ATM Bersama.

Kalau sekarang ingin meratifikasi fenomena B2B seperti dikembangkanperusahaan application service provider yang kita anggap inovasi, maka yang dihancurkan bukan "taksi konvensional", tapi melakukan deregulasi aturan main.

Pilihannya: industri transportasi dari regulated industry dicabut menjadi industri bebas dan suka-suka—tidak ada entry-exit barriers yang diatur otoritas atau tetap mempertahankan rezim perizinan.

Ketidakmampuan dan ketegasan pemerintah dalam memilih deregulasi atau tetap dengan regulasi yang ada telah memakan korban. Yang menjadi korban bukan pengusaha. Korbannya justru sesama pelaku kecil, para sopir yang cemburu satu sama lain. Di lapangan, pemicunya tak lain perbedaan tarif antara pelat kuning dan pelat hitam.

Kementerian Komunikasi dan Informatika harus menata aturan main industri teknologi informasi (IT) dan telekomunikasi. Di dunia yang terus bergerak ini, ada bisnis rental dan sharing aplikasi. Namanya application service provider (ASP). Aturannya: ASP harus mematuhi B2B di industri terkait ataupun aturan B2C. Pemerintah tinggal bertanya kepada Uber, Grab, dan Go-Jek: apakah mereka mau menjadi ASP atau perusahaan transportasi. Kalau ingin menjadi perusahaan transportasi, silakan ikut aturanKementerian Perhubungan. Kalau ASP, ikut aturan yang diterbitkan Kementerian Komunikasi—tapi mitranya tetap harus mendapat izin dari Kementerian Perhubungan.

Saya punya keyakinan, mereka akan memilih sebagai ASP. Sebab, duit yang mereka peroleh bukan dari operasional transportasi, melainkan dari kapitalisasi solusi yang dijual perusahaan. Ini fenomena perusahaan IT, seperti Facebook dan Google. Pendapatan mereka bersumber dari fee based income dan capital market melalui penawaran saham perdana (IPO).

Di sisi lain, kasus ini seharusnya membuka mata publik untuk membongkar inefisiensi yang disebabkan oleh penetapan tarif yang berlebihan. Kita harus mendorong pemerintah daerah terbuka dalam struktur tarif dan menghilangkan usul tarif dari Organda yang bisa juga tidak sehat. Cara penetapan yang menyebabkan overprice itu harus diakhiri.

Dunia berubah. Yang tak bisa berubah akan bangkrut. Tapi perubahan yang merusak hanya akan melahirkan pertumbuhan yang merusak (destructive growth). Di sinilah peran negara menjaga keseimbangan dan perubahan yang sehat karena persaingan.

Ketegasan dan perubahan aturan main serta model bisnis dan tarif yang wajar ada di tangan pemerintah. Tanpa itu, konflik horizontal sesama sopir yang hidup pas-pasan akan terus terjadi. l

Yanuar Rizky (Pengamat Ekonomi)

Artikel ini terbit di Majalah Tempo edisi 28 Maret 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB