kawan mengapa kau sibak lagi
sedang luka itu sembunyi di hati
kawan mengapa kau tebar amarah
sedang hati masih bernanah
tak ingatkah kau jerit seribu duka
sedang jiwa-jiwa itu masih menunggu bela
tak ingatkah kau jerit jiwa nestapa
dari ibu bumi yang teramuk nista
kawan mengapa kau tabur lagi duka kengerian
sedang kau tahu jiwa-jiwa itu menunggu pembalasan
kawan mengapa kau hujamkan lagi nafsu kegilaan
sedang kau tahu tangis itu masih terdengar di hening malam
delapan belas tahun, kawan
delapan belas tahun menunggu bela
seribu jiwa yang teramuk angkara
seribu jiwa yang teramuk durjana
kawan, jerit tangis itu bukan musik simfoni
hitam kelam bara api itu bukan lukisan
kawan, jangan kau tabur lagi kebencian
sedang kami letih menunggu bela
bersama seribu jiwa
Tragedi Mei 1998 terusik lagi, sejarah kelam itu terusik lagi hanya demi sepotong puzzle kekuasaan bernama pilgub. Seolah jerit kesedihan, nestapa, dan kehinaan itu akan terulang lagi. Sangat patut disesalkan, tragedi kemanusiaan itu terungkit dan terutarakan seperti ancaman. Sudah separah itukah wajah politisi kita?
Ribuan orang meninggal dan terluka dalam peristiwa itu, ratusan orang jadi korban perkosaan, kekerasan, dan pelecehan seksual. Penjarahan, pembakaran bangunan dan manusia yang memasukinya, meninggalkan duka nestapa. Peristiwa ini menimbulkan trauma yang sangat mendalam, bagi korban dan keluarganya. Sungguh sebuah tragedi kemanusiaan yang harus kita cegah agar tidak terulang lagi.
Dan kini, tragedi ini seolah terbayang dalam tweet seorang Yusron Ihza Mahendra, dubes kita untuk Jepang. Ini bukan tweet biasa, ini tweet yang dinilai bernada SARA yang bisa mengingatkan tragedi Mei 1998. Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan para politisi muda, “Dunia politik itu kumuh, kumuh, kumuh”. Namun, pernahkan Buya membayangkan kekumuhan itu ternyata juga diwarnai sifat rasis seperti itu.
Inilah tweet Yusron Ihza Mahendra, 28 Maret 2016, yang banyak dikutip media:
Yusron Ihza Mahendra@Yusronihza.Mhd
1-Nasehat Jenderal bintang 3 ini pantas direnungkan: Jika sayang dg etnis Cina yg baik, miskin & tdk bisa lari ke LN jika ada kerusuhan etnik
Yusron Ihza Mahendra@Yusronihza.Mhd
2-mk mohon Ahok tdk Arogan dlm memerintah. Kasihan dg Cina2 lainnya yg miskin, baik & tdk salah jika mrk jd korban.
Tweet ini menimbulkan beberapa pertanyaan: 1. Apakah Yusron tak sadar ketika menyebut kerusuhan etnis pikiran orang akan melayang ke tragedi Mei 1998. 2. Apakah di mata Yusron, kepemimpinan Ahok akan menimbulkan kerusuhan etnis yang menyengsarakan cina miskin, baik dan tak berdosa 3. Apakah Yusron mengancam pendukung dengan kemungkinan kerusahan etnis.
4. Apakah Yusron menilai kepemimpinan seseorang karena dia Jawa, Padang, atau Cina. 5. Apakah Yusron tak tahu jika Indonesia ini Bhineka Tunggal Ika yang diikat oleh wawasan Nusantara. 6. Apakah Yusron bisa membawakan kebhinekaan wajah Indonesia itu di manca negara.
Tragedi Mei 1998 memang jadi duka bangsa ini. Ia sempat digambarkan sebagai kerusuhan anti etnis cina. Namun, tim gabungan pencari fakta membuktikan, kerusuhan itu merupakan pembelokan yang sistematis atas peritiwa Semanggi yang menewaskan mahasisw Tri Sakti. Kerusuhan Mei 1998 adalah duka bangsa, yang hingga kini masih menimbulkan kepedihan.
Wajar saja jika tweet itu mengingatkan orang akan tragedi itu. Wajar pula tweet itu dinilai secara politis bisa menimbulkan ancaman bagi para pendukung Ahok. Wajar pula jika Ahok meradang dan mengadu ke Menlu. Wajar pula jika Kemenlu hanya mengatakan pihaknya sudah mengingatkan agar para dubes fokus dengan tugasnya. Namun, wajar pula jika Menlu memberikan laporan ke presiden terkait masalah ini; karena presidenlah yang mengangkat Yusron jadi dubes.
Yang tidak wajar adalah ketika wakil ketua DPR Fadli Zon justru membela Yusron dengan alasan Yusron sebagai politisi dan pengamat, punya hak pribadi untuk berpendapat. Dia malah mempertanyakan apakah kicauan Yusron itu rasis. Fadli Zon lupa, kata 'kerusuhan etnik' bisa menimbulkan kengerian seperti tragedi Mei 1998.
Sebagai peristiwa kelam dalam perjalanan sejarah bangsa, tragedi Mei 1998 bukanlah bahan yang pantas dijadikan “ancaman” semacam itu. Ia adalah kepedihan negeri yang tak boleh terulang lagi. Setiap elemen bangsa, terlebih yang berpendidikan dan masuk jajaran “elit” negeri selayaknya menyadari ini. Jika tidak, mungkin dia layak mengikuti penataran seribu jam lagi.
Tragedi Mei 1998 bukan haram dibicarakan. Ia memang masih harus dibicarakan untuk diselesaikan. Ia tak boleh jadi duri kesakitan bangsa ini. Namun, jangan sekali-kali menjadikannya komoditas politik seperti pada pilgub DKI. Itu sungguh terlalu.
Salam
Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.