Jamal

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerpen 10.000 hasil menulis sekali duduk. Mohon kritik dan saran Anda.

Kedai kopi itu sudah buka tetapi aroma kopi masih belum tercium dari dalamnya. Rupanya belum ada pelanggan yang masuk dan mengopi. Sinar matahari juga belum masuk sehingga ruangan masih remang-remang. Alunan musik klasik sudah mengalun beberapa lama dari pengeras suara. Musik klasik yang kontemporer dari musisi Indonesia. Rancak dan menghentak. Telinga pemuda itu mengenalinya. Dari Ananda Sukarlan, judulnya Rhapsodia Nusantara yang terilhami dari lagu-lagu rakyat dari berbagai pelosok Indonesia. Kali ini “Gundul Gundul Pacul” yang ia dengar. Tidak mengherankan jika nada-nada itu terdengar familiar karena ia pernah menghadiri konser Ananda di sebuah petang di bulan Januari saat ia masih sendiri. Kini ia juga masih sendiri tetapi statusnya bukan perjaka. Duda, status yang tak membuatnya bangga.

Jamal ingin duduk sebentar di teras kedai kopi itu. Di sini pun masih terasa luar biasa gerahnya cuaca pagi sebelum pukul sembilan di kota pesisir itu. Punggungnya kuyup dengan keringat hanya dengan berjalan kaki santai selama 15 menit. Jamal segera masuk ke dalam kedai yang lebih sejuk.

Tak ada ucapan selamat datang seperti yang ia kerap dengar dari mulut penjaga tatkala seseorang masuk. Ternyata dua pelayannya masih sibuk menyiapkan semua tetek bengek yang diperlukan untuk memulai hari itu. Yang satu lelaki muda dengan kacamata berkerangka hitam dan tebal, yang lainnya gadis berwarna lipstik merah menyala, seakan ingin berkata,”Aku bersemangat dan tidak pucat.” Lelaki itu cekatan bekerja, mondar mandir tanpa henti. Si gadis bergincu merah itu berdiri saja di belakang konter. Ia juga bekerja, menghitung onggokan uang yang ada di atas meja. Namun, lipstik berwarna berani itu tetap tidak dapat menyembunyikan kelesuan dari dalam dirinya. Kepalanya terkulai saat menghitung kepingan dan lembaran uang. Perlahan-lahan saja tangannya bergerak meraih dan menata uang, seolah tenaganya sudah hampir sirna di udara Jakarta yang lengas.

Jamal padamkan puntung rokok di tangannya lalu melangkahkan kaki ke dalam untuk mencari tempat duduk favoritnya. Kedua bola matanya langsung tertuju ke tengah ruangan. Ia suka duduk sambil membunuh sang waktu di sana. Meja dan kursi kayunya nyaman dan ia bisa memandang ke seluruh ruangan, bak mercusuar yang mengawasi lautan di hadapannya.

Beberapa pekan ini Jamal sedang dirundung putus asa. Novel terbarunya tak kunjung rampung jua. Ia letakkan bokongnya ke kursi kayu jati itu dan melepas pandangannya ke depan. Hanya ada sepasang pelayan itu di depannya. Di sebvuuah meja sana, seorang pria berperawakan Kaukasia tengah tenggelam dalam lembaran-lembaran dokumen. Mereka masih sibuk dan tidak menghiraukan kehadiran Jamal.

Ia tahu bagaimana perihnya tidak dihiraukan seperti itu oleh orang lain. Dianggap seperti makhluk tak berwujud.

Itu juga yang dilakukan Nita padanya. Nita mengambil buah hatinya begitu saja. Nita menang di pengadilan dan menggenggam hak asuh anak mereka, Brigitta. Dua orang yang dikasihinya kini menganggapnya sudah tidak ada. Kedua tangannya menutup wajahnya untuk menyembunyikan diri dari fakta pedih itu. Luka dari keretakan rumah tangganya masih terasa perih. 

Sejurus kemudian ia ingat bagaimana memperlakukan mereka selama dua tahun terakhir. Jamal meninggalkan mereka begitu saja dan membangun ‘sarang’ di paviliun mungil tempatnya mengunci diri bersama laptop dan buku-buku kesayangannya selama berhari-hari tanpa jeda dan keluar hanya untuk mengambil stok makanan di rumah induk sebanyak mungkin lalu mengurung diri kembali. Inilah tempat yang ideal untuk menulis novel keduanya yang sudah menyedot energinya selama 5 tahun.

Novel pertama Jamal sukses besar. Saat ini ia mau karya berikutnya lebih dahsyat. Ia tak mau kritikus-kritikus sastra berpena tajam itu mendapat celah untuk membantainya di sejumlah media sastra nasional.

“Cukup sudah semua kegilaan ini,” gumam Jamal dalam hatinya. Ia buka matanya, kembali ke kehidupan nyata. Kehidupan yang di dalamnya sudah tidak ada lagi orang-orang yang dicintainya. Ia sudah gadaikan orang-orang itu dengan kecintaannya pada sastra.

Jamal membuka tasnya untuk mulai menulis lagi bab terakhir calon novel keduanya. Ia buka laptop untuk menuangkan ide di kedai itu dengan harapan dapat memperoleh sebuah bisikan dari langit. Atau dari makhluk-makhluk apapun yang bersembunyi di sudut-sudut kedai kopi itu. Ia tak peduli. Bisa jadi makhluk-makhluk itu memiliki ide yang masih bisa disadap, lain dari makhluk-makhluk di paviliun belakang rumahnya yang sudah hampa gagasan.

Layar laptop Jamal menyala. Ia siap bekerja setelah semalam memaksa diri berbaring lebih awal.

Pagi ini ia  pesan kopi espresso kesukaannya. Sedikit cairan hitam pekat itu saja bisa membangunkannya sepanjang hari. Kalau Jamal seorang atlet, kopi bisa dikatakan sebagai obat dopping yang membuatnya begitu kecanduan. Ia bisa terus melaju walaupun tidak makan.

Dari sudut matanya, Jamal menangkap sosok manusia masuk dari pintu samping kedai itu. Kemungkinan pria karena ia sungguh jangkung. Puncak kepalanya hampir saja menyentuh bagian atas pintu. Makin dekat sosok itu mendekatinya. Firasatnya mengatakan ini orang yang ia kenali sejak lama. Ia tahu orang itu. Caranya berpakaian, berjalan, mengayunkan tangan -- ia tahu semuanya.

Begitu orang itu lewat di depannya, Jamal mendongakkan kepalanya sedikit. Benar saja, itu Jonathan. Usia Jonathan  tidak jauh berbeda tetapi nasib dan peruntungan mereka bagaikan langit dan bumi.

Jamal tersenyum pada Jonathan. Mengetahui ada yang mengenalinya, pemuda itu juga membalas senyum Jamal.

Jonathan pergi ke meja itu, memesan secangkir kopi aceh gayo yang ia gandrungi pada pelayan pria yang lebih giat dan tanggap dari rekannya yang masih sibuk menghitung uang di meja. Selama itu, Jonathan berjuang keras untuk mengingat,”Siapa orang yang tadi tersenyum itu?”

Di saat yang sama, Jamal terlempar kembali ke masa lalu. Hari itu, ia masih ingat bagaimana ia terlibat diskusi hangat dalam sebuah rapat. Ia duduk bersama Eka, rekan kerjanya yang kikuk menghadapi cucu pendiri perusahaan. Jamal yang sudah sepuluh tahun bekerja di sana tidak kesulitan menghadapi cucu pendiri yang berbicara meluap-luap. Usianya masih belia dan semangatnya membara, sebuah suntikan semangat bagi perusahaan yang sekarat.

Wajah itu Jamal temui lagi tanpa sengaja di kedai kopi itu baru saja. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Jamal mencari-cari  alasan mengapa Tuhan mempertemukannya dengan Jonathan, cucu pendiri perusahaan tempatnya ia dulu pernah mengabdi.

Tahun-tahun ‘perbudakan’ itu telah berlalu di catatan kehidupan Jamal. Ia hanya ingin kehidupan yang lebih damai setelah mengundurkan diri dari gurita bisnis yang kini dipimpin Jonathan. Kenyataannya, kehidupannya masih sekacau dulu. Malah bisa dikatakan lebih carut marut.

Lima tahun lalu Jamal mendapatkan ide menulis novel keduanya dari Jonathan. Jamal diam-diam berdecak kagum dalam hati beberapa kali.

Sekali saat ia menyaksikan Jonathan masuk ke kantor. Jamal sudah tahu Jonathan keluarga pendiri. Namun, siapa sangka ia tak segan-segan turun tangan membantu membenahi kantor baru itu. Ia dorong meja-meja dan kursi-kursi dari gudang untuk dipakai timnya. Tanpa bermanja-manja menyuruh office boy atau anggota tim lain yang digaji keluarganya.

Kesan positif yang mendalam itu makin terasa saat kedua kalinya Jamal memintanya untuk diwawancarai. Jamal telah menulis profil para pewaris tahta kerajaan bisnis itu tetapi profil Jonathan belum ada juga. “Kenapa kau tak wawancarai untuk media internal kita?” saran Robby, temannya dari divisi humas.

Jamal menggeleng. “Pak Jonathan menolak tawaran wawancaraku, Rob. Bukannya aku enggan.”

“Lho, kenapa? Orang itu aneh sekali.”

“Bukan aneh. Ia merasa masih belum siapa-siapa di perusahaan ini dibandingkan yang lain,” ucap Jamal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal sedikitpun. Ia sudah sering bertemu dengan banyak orang kaya yang haus publikasi.  Jonathan bukan salah satu di antaranya.

Pagi ini Jamal diingatkan kembali mengapa ia menulis draft novel keduanya. Ia teringat kembali mengapa harus menuliskan kisah perjuangan seorang pemuda rendah hati yang berlimpah harta namun dengan berani menolak untuk dimanja. Dalam novel yang kini draftnya sudah beratus kali ia tulis ulang itu, Jamal selalu menyamakan karakter utamanya, Norman, sebagai Jonathan.

Sekonyong-konyong Jonathan membalikkan tubuhnya ke arah Jamal. “Sepertinya aku pernah mengenal orang itu,”pikirnya. Dalam perenungan itu, ia akhirnya menyerah dan menghampiri Jamal lalu mengulurkan tangannya.

“Halo, apa kabar? Sekarang di sini?” Jonathan berseru.

“Halo, pak. Iya, di sini,” tukas Jamal.

“Kau bekerja apa sekarang?”

“Menulis, pak.”

“Memang bisa ya bertahan hidup dengan menulis saja? Haha.”

Senyum kecut tersungging di bibir Jamal. Ia kecewa. Ini bukan Jonathan yang pernah ia kenal dulu. Ia pandangi lekat-lekat pria muda itu. Lima tahun ternyata sudah cukup mengubah Jonathan dari pemuda rendah hati menjadi pebisnis yang keji, tanpa hati.

Sekilas mereka tampak akrab. Sayangnya, tak tahu bagaimana harus mempertahankan percakapan itu lebih lama, keduanya kembali ke kesibukan masing-masing. Jamal sudah tak sabar menyelesaikan draft novelnya. Jonathan ingin segera menemui kolega asing sebentar lagi.

            Ponsel Jamal bergetar. Itu nomor ponsel Nikita, penyunting novelnya. Pasti ia ingin menagih lagi. “Sudah selesai belum draft novelmu, Mal? Kamu sudah telat lho! Saya bisa dipecat gara-gara kamu seperti ini,” begitu katanya semalam saat Jamal hendak merebahkan diri.

Jamal angkat ponsel itu. Suara nyaring wanita itu bergema,”Mal, kabar bagus. Setelah melihat sinopsismu, kami akan memperpanjang tenggat waktu penulisan sebulan lagi. Kau bisa benar-benar sempurnakan ceritanya dulu. Bagaimana?”

“Nik, aku sudah putuskan…” Jamal berucap.

“Putuskan apa?” suara Nikita ikut bergetar.

 “Aku batal menerbitkan novel brengsek ini. Lupakan novel ini. Aku akan buat lagi yang lain.”

“Apa maksudmu, Mal?! Jangan cari perkara kamu denganku ya!!!”

Jamal masukkan ponsel dan laptop begitu saja ke tasnya. Bagai peluru, ia berlari keluar kedai dengan napas memburu.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler