x

-Sejumlah anak memainkan tokoh Kancil, Gajah dan Sapi pada pementasan Wayang Kancil atau Wayang Fabel karya Ki Ledjar Subroto di Balairung Universitas PGRI Semarang, 9 April 2016. Wayang Kancil adalah wayang fabel sebagai media pendidikan karakter an

Iklan

hasanudin abdurakhman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Putus Komunikasi dengan Anak

Bagaimana caranya agar kita tidak putus komunikasi dengan anak-anak? Pertama, kita harus hadir. Hadir dalam wujud fisik, melakukan aktivitas bersama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau melihat anak-anak, khususnya remaja melakukan kenakalan atau bahkan kejahatan, kita tentu otomatis bertanya,”Ke mana orang tuanya?” Banyak dari anak-anak itu yang masih memiliki orang tua, namun orang tuanya tidak hadir untuk mereka. Hadir dalam arti ada dalam wujud fisik di dekat mereka, juga hadir dalam arti berkomunikasi dengan anak. Ada orang tua yang tidak hadir karena memang tidak berada di dekat anak, misalnya bekerja di tempat yang jauh atau terlalu sibuk sehingga tidak pernah berada di rumah untuk waktu yang lama. Tapi yang sangat banyak terjadi adalah orang tua yang hadir dalam wujud fisik di dekat anak, tapi tidak berkomunikasi dengan mereka.

Hal yang paling fundamental dalam komunikasi adalah pemahaman. Pemahaman itu dua arah sifatnya. Artinya, komunikasi adalah soal membangun suasana saling memahami. Orang tua memahami anak, dan kita sebagai orang tua bisa membuat anak-anak kita paham dengan apa yang kita maksud. Banyak orang tua yang kesal kepada anak, karena anak tidak kunjung paham dengan apa yang mereka maksudkan atau mereka inginkan. Kalau kita berada dalam situasi itu, mungkin kita perlu periksa ulang, apakah kita sudah berkomunikasi dengan anak, atau sekedar memberi mereka berbagai perintah.

Komunikasi dengan anak sebenarnya dibangun sejak anak kita masih bayi, atau bahkan sejak mereka dalam kandungan. Sejak itu kita sebenarnya atau seharusnya menyiapkan diri untuk mendengar dan memahami apa yang dibutuhkan anak, dan pada saat yang sama kita menyampaikan pesan bahwa kita ada di sana untuk mereka. Ketika bayi kita menangis, itu adalah sebuah pesan yang harus kita terjemahkan. Mungkin ia lapar, kepanasan atau kedinginan, popoknya basah oleh air kencing, atau ada hal lain yang ia rasakan, misalnya sakit perut. Maka sebagai orang tua kita harus mencari makna tangis itu. Kita coba susukan, kalau ia diam berarti ia lapar. Kita periksa popoknya, basah atau kering. Begitu seterusnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak sedikit orang tua yang sudah gagal berkomunikasi sejak tahap ini. Seorang ibu atau ayah menjadi kesal pada bayinya yang terus menangis. Ia tidak cukup sabar untuk mencoba lagi mencari makna tangisan itu, setelah beberapa usaha menerjemahkan pesan tangisan itu gagal. Maka ia membiarkan bayinya menangis, atau bahkan memukul mereka.

Ketika anak tumbuh besar, ia membangun kemampuan komunikasi. Ia bisa berbicara. Di satu sisi hal ini memudahkan kita untuk berkomunikasi dengannya. Tapi pada saat yang sama kebutuhan dia juga tumbuh menjadi lebih kompleks. Waktu ia bayi, misalnya, ketika lapar kita cukup memberinya susu. Kini ia sudah punya pilihan soal makanan, ada yang ia suka dan ada yang tidak. Pada titik ini kita harus membangun pola komunikasi yang baru. Pertama, kita harus tahu saat anak kita menolak untuk makan sesuatu. Kita harus mencari tahu apa makanan yang ia suka. Tapi pada saat yang sama, kita tidak boleh sekedar menuruti apa keinginan mereka. Ada kalanya kita harus mengarahkan bahwa makanan yang kita berikan harus mereka makan.

Semakin besar anak kita, makin kompleks kebutuhannya, dan makin rumit cara memahaminya. Itu artinya makin perlu lebih keras usaha kita untuk membangun komunikasi dengan mereka. Puncaknya adalah ketika anak memasuki usia remaja, saat berbagai hormon bergejolak di dalam tubuh mereka, juga saat mereka memasuki dunia sosial yang sangat kompleks. Pada titik ini banyak orang tua gagal, lalu terputus komunikasi dengan anak-anak.

Ketika komunikasi dengan anak-anak putus, kita tak lagi mengenal mereka. Kita berharap mereka seperti ini, tapi mereka justru sedang berada dalam posisi sebaliknya. Lebih parah lagi, kita mengira anak-anak kita berperilaku seperti harapan kita, ternyata itu hanya di depan kita. Di tempat lain ia berperilaku sebaliknya. Kita tidak tahu, keadaan itu terus berlangsung, sampai suatu hari kita baru tahu keadaan sebenarnya.

Siapa yang paling bersalah saat komunikasi dengan anak putus? Orang tua. Kita tidak bisa menyalahkan anak, karena mereka menjadi seperti ini dalam asuhan kita. Kalau anak tidak mau mendengar, itu karena kita tidak mendidik mereka untuk jadi pendengar. Kalau anak tidak mau patuh, itu karena kita lebih sering memaksakan kepatuhan ketimbang menumbuhkan pemahaman. Tapi umumnya para orang tua hanya bisa mengeluh. Mereka berharap anak-anak mereka tumbuh menjadi anak-anak baik tanpa mereka memperjuangkannya. Itu sama saja seperti berharap mendapat keuntungan tanpa berinvestasi. Itulah para orang tua yang bermental pejudi.

Bagaimana caranya agar kita tidak putus komunikasi dengan anak-anak? Pertam, kita harus hadir. Hadir dalam wujud fisik, melakukan aktivitas bersama. Kedua, mendengarkan. Kita harus mendengarkan dengan fokus apapun yang disampaikan anak kepada kita. Kata-kata mereka kadang mengandung makna tersembunyi yang baru bisa kita tangkap kalau kita mendengarnya lebih dalam lagi. Ketiga, sampaikan maksud yang kita inginkan dalam bentuk diskusi untuk memahamkan, bukan perintah. Anak-anak pada dasarnya menginginkan kebebasan. Perintah dan larangan adalah belenggu terhadap kebebasan mereka. Maka perintah dan larangan sebaiknya disampaikan dalam bentuk yang tidak mengusik rasa kebebasan itu. Keempat, selalu update dengan kondisi kekiniaan anak, baik secara fisik maupun psikis. Tahu kondisi mereka artinya kita tahu apa kebutuhan dan keinginan mereka, dan kita tahu bagaimana harus bersikap terhadap hal itu.

Ada banyak “do and don’t” dalam berkomunikasi dengan anak. Saya tidak akan bahas satu per satu. Intinya, kita harus setiap saat memeriksa, apakah kita masih mengenal anak-anak kita?

 

Ikuti tulisan menarik hasanudin abdurakhman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler