x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Adaptif Hadapi Perubahan

Organisasi adaptif yang ingin berhasil harus mampu mengatasi ketidaksinkronan pada sumberdaya manusia, proses, struktur, strategi, maupun teknologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Pepatah kuno ini sukar dibantah, bahkan hingga kini. Organisasi apapun dipaksa untuk bersikap adaptif terhadap perubahan apabila ingin tetap ada—walaupun mungkin dengan wajah baru. Tuntutan untuk bersikap adaptif selalu didengungkan. Pertanyaannya: bagaimana cara membentuk organisasi adaptif ini—apa saja yang mesti diperhatikan?

Kira-kira tujuh tahun yang lampau, di AS berlangsung pertemuan para eksekutif senior di sektor publik maupun swasta dengan tuan rumah Toffler Associates. Mereka membicarakan pembentukan organisasi adaptif dan sampai pada kesimpulan bahwa pemimpin organisasi harus membuat perubahan di lima area sekaligus, yakni orang, proses, strategi, teknologi, dan struktur. Perubahan ini mesti selaras dengan lingkungan eksternal yang baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati begitu, ada yang patut diperhatikan. Perubahan dalam cara organisasi mengelola waktu, ruang, maupun pengetahuan dapat menimbulkan apa yang disebut desinkronisasi (ketidaksinkronan). Maksudnya, area-area perubahan tadi bergerak dengan laju perubahan yang berbeda-beda, sehingga tidak sinkron satu sama lain.

Kita dapat membayangkan hal itu seperti ini: teknologi bergerak dengan laju 100 km/jam, tapi bisnis melaju 80 km/jam, pemerintah 40 km/jam, dan pendidikan hanya 20 km/jam. Perbedaan kecepatan ini jelas memengaruhi kinerja organisasi. Mengapa? Pendidikan tertinggal di belakang bisnis, karena itu menghasilkan karyawan yang lebih cocok dengan lingkungan bisnis 15 atau 20 tahun yang lampau ketimbang dengan lingkungan sekarang, apa lagi masa depan.

Ketidaksinkronan dapat terjadi di wilayah manapun. Contoh: bila teknologi yang dimiliki perusahaan sangat mutakhir, tapi proses yang dipakai adalah buatan lima tahun lalu, maka teknologi terbaru itu tak dapat dipakai hingga mencapai potensi penuhnya. Begitu pula, jika organisasi diisi oleh anak-anak muda sementara proses kerjanya masih yang lama—akan terjadi ketidakserasian. Bakat yang hebat tidak akan dapat bekerja optimal.

Organisasi yang adaptif mesti memahami bahwa banyak hal harus dikerjakan agar semua aspek—orang/manusia, proses, teknologi, struktur, maupun strategi—dapat berjalan seirinng atau sinkron. Beberapa adaptasi berikut ini menggambarkan apa yang seyogyanya dilakukan oleh organisasi.

Dalam hal manusia/orang, harus ada kemauan untuk menempatkan orang-orang muda pada posisi berpengaruh—mengambil keputusan pada jenjang tertentu. Meskipun belum banyak teruji dan kurang berpengalaman dibandingkan dengan mitranya yang lebih matang, pekerja usia muda umumnya mampu bekerja lebih kolaboratif, berpikir lebih eksperimental, dan menggunakan teknologi mutakhir dengan lebih nyaman.

Pekerja muda juga memberi masukan energi dan pikiran segar ke dalam organisasi. Organisasi membutuhkan perspektif baru untuk menjamin keberhasilannya. Pekerja usia muda harus didengarkan suaranya dan dilibatkan dalam pembentukan strategi organisasi dan masa depannya. Keragaman pandangan mesti dihormati.

Di area proses diperlukan kolaborasi. Area proses berkaitan dengan prosedur operasional perusahaan. Pendekatan yang bersifat top-down terbukti berjalan lambat, serta tidak efektif untuk bekerja di lingkungan baru. Perusahaan harus mulai menumbuhkan budaya kolaboratif agar karyawan bekerja bersama dan bekerja dengan rasa ingin tahu yang besar. Hambatan yang mungkin muncul berasal dari birokrasi yang belum berubah—misalnya, keputusan sepenuhnya dari atas, inisiatif di jenjang lebih bawah tidak diakomodasi. Ketidaksinkronan ini harus diatasi.

Area strategi berkaitan dengan teori kepemimpinan dan manajemen yang memandu kegiatan organisasi. Kepemimpinan tradisional menempatkan eksekutif sebagai pengendali tunggal. Dalam organisasi adaptif, eksekutif lebih fokus pada pengembangan budaya inovasi. Eksekutif memikirkan penciptaan lingkungan yang membuat orang senang datang untuk bekerja, sehingga karyawan mau memberi kontribusi terbaik, merasa diberdayakan dan terlibat.

Selanjutnya, area struktur berkaitan dengan bagaimana area yang berbeda dalam organisasi dapat bekerja sama dengan luwes, misalnya bagian keuangan dan produksi. Di era industrial, lingkungan kerja bersifat hierarkis. Rantai komandonya jelas dan linier, dan tiap-tiap karyawan mengerjakan tugas dalam lingkup job assignment tertentu saja. Di era informasi, organisasi harus mengadopsi struktur berjejaring dan matriks. Tidak ada lagi kontrol yang bersifat eksklusif sehingga bakat-bakat terbaik dari lintas bagian dapat saling bekerjasama.

Di area teknologi, organisasi memanfaatkan sistem informasi, sistem komunikasi, dan alat-alat lain agar operasi bisnis berjalan baik. Selama ini, banyak organisasi membuat kesalahan serupa, yakni memandang teknologi sebagai tulang punggung ketimbang sebagai alat yang memungkinkan alih pengetahuan di antara anggota organisasi. Karena itu, sinkronisasi harus dilakukan dengan cara mengembuskan pandangan baru mengenai teknologi. Teknologi hanyalah alat, apabila unsur-unsur lain tidak berjalan sinkron, maka teknologi mutakhirpun akan mubazir.

Jadi, pilihan untuk bertindak adaptif terhadap perubahan akan membuahkan hasil yang diinginkan apabila ketidaksinkronan dalam berbagai area tadi dapat diatasi. Artinya, orang, proses, strategi, struktur, maupun teknologi mampu berjalan seiring untuk mendukung terwujudnya visi organisasi, termasuk organisasi pemerintahan. (sumber foto ilustrasi: hubchi.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler