POLEMIK: Reklamasi Konstitusional Tapi Jangan Lupakan Nelayan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reklamasi Teluk Jakarta itu konstitusional. Namun, nelayan harus jadi bagian reklamasi, termasuk memiliki hunian dan kehidupan layak di pulau baru itu.

Ada yang menilai menghentikan reklamasi itu konstitusional, dasar hukumnya UUD 45 Pasal 33, dan keputusan Mahkamah Konstitusi 16 Juni 2011, yang membatalkan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam UU No 27 Tahun 2007. Itu logis. Namun, reklamasi juga konstitusional dengan mengacu Pasal 33  UUD 45, jika reklamasi itu untuk kepentingan umum dan meletakkan rakyat sebagai salah satu subjek reklamasi itu.

Menko Kemaritiman Rizal Ramli saat memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta, menyatakan reklamasi adalah hal yang umum dilakukan di berbagai negara. Meski demikian, reklamasi  tetap mempunyai nilai positif dan nilai negatif. Moratoriun  diperlukan untuk mengurangi sisi negatifnya seminimal mungkin. Selama moratorium, akan dikaji ketetapan  UU No 27 Tahun 2007, UU No 26 Tahun 2007, dan juga Perpres Nomor 122 Tahun 2012 yang belum dilaksanakan dalam proyek itu.

Semangat dasar Pasal 33 UUD 45 adalah menempatkan asas ‘’manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat’’ dan ‘’penguasaan negara atas bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya’’. Juga “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011 , adalah mengembalikan persoalan pengelolaan kawasan pesisir ke semangat dasar UUD 45 Pasal 33.  Atas dasar itulah, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) sebagaimana tercantum dalam UU No 27 Tahun 2007 Pasal 1 (18), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22, Pasal 23 ( ayat 4 dan 5),  Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 (1), Pasal 71, Pasal 75 UU No 27 Tahun 2007 bertentangan dengan UUD 45.

Mahkamah Konstitusi menilai, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau  kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai pemilik modal besar. Penguasaan itu bisa berakibat tersingkirnya nelayan yang berdiam dan menggantungkan hidupnya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Keputusan Mahkamah Konsitusi itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk kawasan Teluk Jakarta yang kini melakukan ‘pembuatan 17 pulau reklamasi’ dan juga Tangerang yang melakukan hal serupa, yang konon luasnya dua kali lebih luas daripada 17 pulau reklamasi Teluk Jakarta. Artinya, jika reklamasi --yang dinilai lumrah dan telah dilakukan di berbagai negara-- itu dilakukan dengan semangat HP3 maka tindakan itu inkonstitusional.

Tetapi, jika reklamasi itu dilakukan pemerintah atas dasar kepentingan yang lebih luas untuk menata Jakarta ke depan, sesuai perkembangan ibu kota negara dan kebutuhan lahan yang terus meningkat, tentu sah saja dilakukan. Payung hukumnya, UU No 27 Tahun 2007, UU No 26 Tahun 2007, dan Perpres No 122 Tahun 2012. Yang perlu diingat, ketiga payung hukum ini tetap tidak bisa menafikkan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait HP3 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45.

PEMBERIAN HP3 KE INVESTOR REKLAMASI

Reklamasi Teluk Jakarta (mungkin juga Tangerang) mempunyai kemiripan dengan hak pengelolaan migas yang selama ini diterapkan pemerintah. Pemerintah selaku pemilik sah seluruh kekayaan di bumi Indonesia, mengundang investor untuk mengelola kekayaan itu dengan berbagai perjanjian. Intinya, pemerintah dan investor akan sama-sama memperoleh keuntungan sesuai rentang waktu yang disepakati.

Terkait reklamasi Teluk Jakarta yang meliputi 17 pulau itu, Pemprov DKI Jakarta juga mengundang investor untuk melakukan reklamasi sesuai kebutuhan, berdasar perjanjian yang disepakati bersama. Sebuah perjanjian yang tentunya harus tertuang dalam produk hukum resmi yang menguntungkan kedua belah pihak, dalam rentang waktu yang disepakati bersama.

Masalahnya adalah, apakah perjanjian dan pola kerja sama itu tidak ‘sangat mirip’ dengan dengan HP3 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 oleh Mahkamah Konstitusi? Inilah yang harus dikaji lagi. Salah satu tolok ukurnya misalnya, pulau hasil reklamasi tidak serta merta menjadi hak ‘eksklusif’ investor yang ingin membangun kawasan ekonomi khusus untuk orang-orang khusus pula.

Ada makna ‘kepentingan umum yang lebih luas untuk menata Jakarta ke depan’. Jelas kepentingan itu tidak sama dengan kepentingan investor semata. Kepentingan umum juga menyangkut kepentingan para nelayan di Teluk Jakarta, yang  juga berhak menikmati dan mendiami pulau-pulau hasil reklamasi itu. Sebagai warga pesisir Jakarta, mereka sudah seharusnya diberi hak mendiami sebagian kawasan pesisir dari pulau hasil reklamasi itu.

Inilah yang membedakan semangat reklamasi di Jakarta dengan reklamasi di Dubai Uni Emirat Arab, misalnya. Reklamasi Teluk Jakarta bisa dilakukan berdasar kepentingan umum, kepentingan para nelayan, dan kepentingan investor. Ketiga kepentingan ini harus beriringan. Jika hanya kepentingan investor itu berarti pemberian HP3. Jika hanya kepentingan nelayan, tidak akan pernah ada reklamasi. Jika hanya kepentingan umum yang dimandatkan kepada Pemprov, apa Pemprov DKI mampu membiayainya.

Pandangan semacam itu tentu tidak memuaskan kalangan pegiat hak nelayan yang ingin raklamasi berhenti total dari menganggap kawasan pesisir adalah hak tradisional nelayan, seperti sawah dan ladang mereka (meski tak pernah ada sertifikat model begini). Menurut penulis, kawasan pesisir tetap dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat banyak dan tak hanya kalangan nelayan.

Pilihan pembangunan memang selalu menimbulkan akibat positif dan negatif. Kalau warga Kedung Ombo --yang rumah, tanah, makam leluhurnya, dan sebagian sejarah hidupnya tenggelam di dasar waduk—ditanya tentang program pembanguna waduk itu, mereka  tak akan pernah serta merta menyatakan ikhlas.  Juga bagi warga yang tanahnya jadi objek pembangunan lain. Yang paling ringan, apakah ikhlas rumah anda terkena debu terus-menerus selama berbulan-bulan atau lebih lama lagi, akibat pembangunan jalan, misalnya?

Itulah pilihan pembangunan. Reklamasi Teluk Jakarta adalah pilihan pembangunan, yang tentunya mempunyai konsekuensi yang harus ditanggung. Nelayan jelas akan rugi karena kawasan tangkapan ikannya terusik. Sedimentasi berupa lumpur yang sudah tercemar, bisa terangkat selama proses reklamasi, berakibat ikan dan hewan laut lain mati, mabok, atau kabur ke wilayah lain.

Lalu lintas kapal pengangkut material urukan reklamasi, bisa mengganggu kapal-kapal nelayan yang bisa menimbulkan konflik fisik. Pengambilan material reklamasi juga pasti menimbulkan dampak di tempat asalnya. Banyak dampak lain terkait kepentingan nelayan, ekosistem laut, dan keanekaragaman hayati di kawasan Teluk Jakarta dan sekitarnya.

Sebuah perencanaan yang matang bisa meminimalkan dampak negatif ini. Sebaliknya,  reklamasi yang dilaksanakan investor tanpa kontrol, bisa berakibat lain. Investor yang umumnya lebih mengedepankan keuntungan finansial. Perlu dipikirkan, apakah Pemprov DKI Jakarta selaku pemegang kuasa reklamasi, sesuai undang-undang, telah melaksanakan kajian dan kontrol atas reklamasi itu.

Pembangunan sesuai UUD 45, menempatkan rakyat sebagai subjek utama kepentingan pembangunan. Artinya, pembangunan  dilaksanakan dengan pertimbangan utama kepentingan rakyat, bukan atas dasar kepentingan pemilik modal saja. Ini yang mungkin membedakan kapitalisme Indonesia dan kapitalisme lain di dunia. Investor sebagai pemilik modal menempati poisisi penting namun sama pentingnya dengan posisi rakyat secara keseluruhan.

PENCEMARAN DAN MASA DEPAN NELAYAN

Teluk Jakarta tak bisa dipungkiri telah terjangkit pencemaran yang parah, baik akibat sampah domestik maupun kiriman 13 sungai dari wilayah hulu. Fakta ini cukup serius. Revitalisasi kawasan Teluk Jakarta (tak perlu diperdebatkan lagi) mutlak perlu dilakukan. Kandungan logam berat, termasuk mercury, sudah mencapai tahap yang tak bisa ditoleransi lagi.

Kasim Moosa, peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (sebagaimana dikutip dari tempo.co 21 Oktober 2013) menyatakan kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta mencapai 1,8-2 ppm. Kandungan ini sangat tinggi dan berlipat-lipat besarnya  dari ketetapan Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya, baik kerang maupun ikan yang berada di Teluk Jakarta sangat tidak aman dikonsumsi.

Kementerian KLH menetapkan, batas maksimum logam berat di wilayah biota laut sebesar 0,01 ppm, di wilayah pelabuhan 0,03 ppm, dan di wilayah bahari 0,02 ppm. Ikan atau kerang yang bisa dikonsumsi manusia adalah yang hidup di perairan dengan ketetapan itu. “Tidak hanya kerang, semua jenis ikan jadi tidak aman dikonsumsi,” jika hidup di perairan dengan kandungan logam beratnya melebihi batas itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah sikap Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, juga Kementerian Kesehatan  yang tidak proaktif mensosialisasikan hal ini. Rakyat berhak tahu kondisi nyata Teluk Jakarta dan pengaruhnya terhadap produk kerang-kerangan dan ikan yang ditangkap dari kawasan itu.

Tidak ada dalil hukum manapun yang membenarkan rasa kasihan kepada nelayan membenarkan beredarnya produk kerang dan ikan hasil tangkapan nelayan yang tercemar logam berat. Tidak ada dalil yang membenarkan orang tua atas dasar kasihan kepada pedagang, membiarkan anaknya mengkonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan.

Inilah salah satu fakta yang tak boleh diabaikan ketika membicarakan Teluk Jakarta. Fakta bahwa perairan itu telah tercemar sehingga baik kerang maupun ikannya tak layak dikonsumsi. Hingga akhir November 2015 lalu, masyarakat bisa melihat pencemaran itu masih sangat mengkhawatirkan dengan adanya jutaan ikan yang mati misterius di kawasan pantai Jakarta.

Jika kerang atau ikan yang tercemar logam berat ini dikonsumsi manusia, dampaknya akan sangat serius terhadap kesehatan. Berbagai gangguan kesehatan mulai dari penyakit syaraf, kerusakan sistem fisiologis tubuh, seperti pernafasan, sirkulasi darah,  yang bisa merusak organ reproduksi, ginjal, dan tulang. Pada ibu  hamil, akibat fatal bisa menimpa janin yang dikandungnya. Bayi bisa mengidap lemah mental dan penyakit lain.

Itulah kondisi perairan Teluk Jakarta yang telah tercemar logam berat jauh di atas ambang batas aman. Artinya, Teluk Jakarta memerlukan pembenahan atau revitalisasi. Artinya lagi, pemerintah tidak bisa membiarkan nelayan tetap menangkap dan membudidayakan kerang di kawasan Teluk Jakarta dan menjualnya secara bebas ke masyarakat. Kalau terjadi, itu berarti pemerintah mengabaikan keselamatan konsumen produk kelautan.

Masalahnya, langkah apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kandungan logam berat yang sangat besar itu. Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemprov DKI Jakarta yang punya kewajiban ini.  Kementerian Lingkungan Hidup tidak bisa hanya mengatakan ada indikasi kerusakan lingkungan terkait reklamasi, sementara masalah pokok pencemaran logam berat tak disentuhnya.

Demikian pula Kementerian Kelautan dan Perikanan tak bisa hanya mengatakan ekosistem kelautan dan hak nelayan terabaikan dalam reklamasi itu, tanpa menoleh ke masalah pencemaran logam berat yang ada di Teluk Jakarta.  Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta yang menjadi tangkapan ribuan kepala keluarga nelayan inilah seharusnya jadi titik awal melakukan pembangunan di kawasan ini.

RELOKASI NELAYAN DAN REKLAMASI

Membiarkan nelayan menangkap ikan dan membudidayakan kerang di perairan Teluk Jakarta yang tercemar logam berat di atas ambang batas, jelas tak bisa dibenarkan. Namun, melarang tanpa memberikan solusi akan mematikan ekonomi nelayan. Inilah yang seharusnya dipikirkan terlebih dahulu.

Pemprov DKI sudah merencanakan pembangunan apartemen di Pulau Tidung atau mungkin pulau lain di Kepulauan Seribu untuk merelokasi nelayan di kawasan Teluk Jakarta. Relokasi ini dinilai bisa mengatasi permasalahan itu. Di tempat baru itu, nelayan katanya akan diberi tambak, jaminan harga bahan pokok yang sama dengan di Jakarta, dan juga kemudahan transportasi.

Langkah itu bisa saja dinilai tepat untuk mengatasi persoalan nelayan di Teluk Jakarta. Memindahkan wilayah tangkapan ke area peraian yang relatif bersih di Kepulauan Seribu, jaminan kebutuhan pokok sarta kemudahan transportasi, bisa diterima. Namun, bisakah nelayan pesisir Jakarta menerima hal itu, mengingat ikatan mereka ke daerah asal masih sangat kuat? Itu masih ditambah lagi dengan faktor politik yang suka mengaburkan masalah itu.

Di sinilah kebijakan pemerintah diuji. Tidak bisa serta merta seluruh nelayan diminta pindah ke kawasan Kepulauan Seribu. Harus ada pilihan lain bagi yang tidak mau pindah tapi hendak beralih profesi. Namun, yang patut ditekankan adalah harus ada kesadaran bersama bahwa menangkap dan mengkonsumsi kerang dan ikan di kawasan Teluk Jakarta sudah tak aman lagi akibat logam berat.

Pertanyaan kemudian, di mana posisi pembangunan  17 pulau reklamasi dalam revitalisasi Teluk Jakarta? Pembangunan 17 pulau reklamasi memang tak serta merta ‘bim salabim’ bisa membersihkan Teluk Jakarta. Tidak pernah ada yang bisa melakukan hal itu. Hanya saja, reklamasi bisa memposisikan diri dalam penyelesaian masalah nelayan Teluk Jakarta dalam jangka pendek dan panjang.

Tak hanya penyerapan tenaga kerja saat pembangunan  berlangsung, namun hasil dari reklamasi itu juga harus bisa dinikmati oleh para nelayan. Mereka seharusnya bisa ikut memiliki secara fisik, pulau hasil reklamasi itu, dengan menempatkan mereka di sektor di luar perikanan. Misalnya saja sektor pariwisata dan UKM yang tumbuh berdampingan dengan penghuni kalangan  berduit yang menempati hunian lewat investor.

Karena itu, ulai sekarang, pikiran tentang pulau eksklusif hasil reklamasi hanya diisi oleh kalangan khusus sebagaimana yang dikehendi investor, dihilangkan saja. Pemerintah sebagai pemegang hak atas reklamasi bisa membuat peraturan perundangan terkait hal itu. Kalau nelayan bisa menikmati hasil reklamasi dan menjadi bagian dari kehidupan di pulau itu, dengan hunian yang layak dan tertata rapi, mengapa mesti harus menolak? Inilah reklamasi yang konstitusional.

 

Salam.

Bagikan Artikel Ini
img-content
mohammad mustain

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Ormas Intoleran Pasca Ahok Kalah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler