Klinik Opini: Jalan Pembebasan Kartini Melalui Pendidikan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini merefleksikan sebuah jalan pembebasan atas kedirian perempuan melalui pendidikan dalam surat-surat yang ditulis oleh Kartini.

Surat-surat yang ditulis oleh Kartini mengupas banyak hal. Sekumpulan surat yang nantinya menjadi buku inspirasi lintas zaman dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dari surat-surat itulah Kartini berkisah. Sebagai pembaca, saya dapat menggali beragam wacana yang bisa diangkat dari mulai ide-ide perubahan sosial, masalah sosial, adat istiadat Jawa, agama hingga feminisme. Menariknya, keseluruhan wacana itu tidaklah berdiri sendiri. Dan, penting untuk dicatat bahwa poin yang menghubungkan wacana tersebut adalah pendidikan.

Adalah suatu keasyikan tersendiri untuk mengulas bagaimana Kartini memaknai pendidikan. Secara garis besar, Kartini memandang pendidikan untuk dua hal: pembebasan dan kemanusiaan.

Ketika Kartini membicarakan pendidikan, ia menekankan bahwa sasaran pendidikan utama adalah untuk perempuan. Baginya, perempuan yang tinggal di Bumi Putera selalu berada dalam keadaan yang dilematis. Dominasi atas otoritas tubuh hingga pemikiran perempuan oleh laki-laki ditambah tekanan adat membuat perempuan tidak hanya teralienasi dari lingkungannya tetapi juga sulit untuk mengembangkan kemampuan diri. Dengan meminjam pemikiran Paulo Freire, Perempuan Jawa terjebak dengan apa yang disebut “kebudayaan bisu”.

Akses pendidikan yang lemah bagi perempuan menjadi titik kunci Kartini untuk menyuarakan ide-ide perubahannya. Kartini menyadari bahwa ada situasi sulit baik secara teknis hingga tekanan adat. Perempuan sulit bersekolah karena sedikitnya jumlah sekolah yang ada di wilayahnya. Pada tahun 1897, jumlah anak yang bersekolah di Sekolah Kelas Dua berjumlah 713. Pada tahun 1898, Jumlah keseluruhan anak perempuan yang bersekolah di sekolah partikulir berjumlah 2.891.

Tak lupa, pun demikian adanya adat istiadat yang patriarkis mempersempit ruang eksistensial perempuan, terkhusus dirinya. Kartini berkali-kali menegaskan kekhawatirannya pada persoalan pernikahan.  Pada surat yang ditulis pada bulan Agustus 1901 kepada Nyonya Van Kol berbunyi, “Jalan bagi gadis Jawa, dan terutama bagi gadis bangsawan hanyalah satu saja, yaitu nikah”.

Persoalan yang membuat hatinya gundah adalah ia mencermati bahwa proses pra pernikahan hingga setelah berlangsungnya pernikahan sama sekali tidak melibatkan perempuan. Tidak ada komunikasi dua arah apalagi pembicaraan tentang cinta. Dalam surat yang sama kartini berujar, “Betapa pikiran dan kehendaknya, itu tiada ditanyai, dia wajib saja menurut. Pada ketika kawin itu, gadis itu tiada perlu hadir dan tiada pula perlu izinnya”. Dan, lagi-lagi ia menemukan akar masalahnya bahwa ini semua terjadi akibat absennya pendidikan pada perempuan. Ia menyatakan dengan lugas, “.. Tiada kuasa dan tiada berdaya, karena tiada berkepandaian dan berpengetahuan”.

Mimpi Menjadi Guru

Kartini memang benar merefleksikan masalah sosial yang membelenggu perempuan dan mengurai mimpi-mimpinya di surat-surat awalnya, tetapi, ia tak berlama-lama larut dalam diksi sendu yang demikian. Kartini nantinya akan sampai pada fase tindakan “menuju terangnya” itu.

Satu sifat yang perlu kita teladani dari seorang Kartini adalah kerja keras. Ia tidak hanya menulis surat untuk berkisah sedih-sedu tetapi juga bekerja keras mendobrak celah kemungkinan untuk terciptanya akses pendidikan kepada perempuan yang telah menjadi cita-citanya sejak lama. Letak kerja kerasnya terlihat ketika ia semakin mantap untuk menjadi guru dan melihat urgensi bahwa pendidikan pada perempuan harus disegerakan.

Terbukti dari surat-surat yang ditujukan kepada pemerintah Belanda saat itu, khususnya kepada tuan Van Kol dan istrinya Nellie Van Kol serta J.H Abendanon tentang bantuan yang kira-kira bisa dilakukan untuk mendirikan sekolah dan memasukkan Kartini ke sekolah guru.

Seperti gayung bersambut, jadilah Kartini seorang guru dan sekolah kecil itu dibangun. Muridnya masih sedikit, hanya tujuh orang namun semakin banyak terlihat peminatnya. Hal ini cukuplah membuat hati Kartini berbunga-bunga.

Terlihat jelas dari suratnya yang ditulis kepada Dr. Adriani pada 5 Juli 1903, “Semuanya seolah membuktikan bahwa yang kami usahakan itu, sudah lama diharap-harapkan orang, oleh karena itu senanglah orang menerimanya... Indah dan murnilah kewajiban yang dipikulkannya kepada kami jadi tanda kehormatan: moga-moga dapatlah kami melakukannya dengan sebaik-baiknya, moga-moga kami patut dan tetap mendapat kepercayaan itu”.

Memang, horizon pendidikan yang dicitakan Kartini sangat erat kaitannya dengan perempuan. Baginya, perempuan adalah pemegang tanggung jawab peradaban bangsa. Ia menegaskan bahwa pendidikan bagi perempuan bukanlah untuk sekedar setara, apalagi sekedar untuk melawan laki-laki. Pendidikan ditujukan agar perempuan dapat keluar dari kungkungan adat yang membelenggu sekaligus memungkinkannya untuk bersuara, berkembang agar dapat memberdayakan dirinya sendiri.

Filosofinya tentang perempuan sebagai entitas yang merdeka nantinya akan sangat berpengaruh terhadap model pedagogi yang diterapkannya di kelas bersama muridnya. Tanpa disadari, Kartini adalah seorang guru yang memerdekakan peserta didik.

Model Pedagogi ala Kartini

Kartini tak hanya berangan menyoal pendidikan. Ia mencoba untuk mengkonsepsikan visi dan praktik pembelajaran yang kiranya dapat memberdayakan perempuan. Hal pertama yang ia cetuskan adalah sebuah prinsip kesetaraan dalam pendidikan antara laki-laki maupun perempuan. Dalam suratnya kepada Nyonya Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900, ia menekankan, “Ingin hatiku hendak beranak, laki-laki dan perempuan, yang akan kudidik, kubentuk jadi manusia sepadan dengan kehendak hatiku. Pertama-tama akan kubuangkan adat kebiasaan yang buruk, yang melebihkan anak laki-laki daripada anak perempuan”.

Selain itu, ada beberapa ilmu pengetahuan yang dianggap penting dipelajari oleh perempuan: ilmu kedokteran, ilmu mendidik, kesusateraan dan kesenian. Mengapa ilmu kedokteran? Ia beranjak dari masalah sosial di mana tingkat kematian Ibu sangat tinggi: Tiap tahun rata-rata 20.000 orang perempuan meninggal ketika melahirkan dan 30.000 anak mati pada saat lahir. Kesemuanya terjadi karena tidak adanya bidan yang mengerti ilmu kebidanan untuk proses kelahiran secara medis. Disinilah Kartini berpijak bahwa selain pembebasan, pendidikan haruslah berorientasi pada nilai kemanusiaan.

Ilmu kesusateraan dan kesenian pun direfleksikan sebagai pengasah budi. Kartini percaya bahwa pendidikan yang hanya berorientasi kepada kecerdasan saja tak cukup. Pendidikan budi pekerti sangatlah dibutuhkan karena betapapun perempuan akan menjadi seorang Ibu. Ibu adalah pendidik manusia pertama kali.

Terminologi “Ibu” bagi Kartini adalah suatu hal yang penting disorot. Ia memaknai Ibu bukan hanya sebagai sebuah identitas sosial yang nantinya disematkan kepada perempuan semata tetapi juga menjelaskan suatu simbol relasi antara guru dan murid di sekolah.

Kartini lebih memilih untuk mengganti konsep guru-murid menjadi Ibu dan Anak (atau ia menyebutnya “adik-adik perempuan”). Dengan strategi itu, Kartini ingin membuat suatu suasana belajar yang lebih hangat. Ia pun juga menekankan bahwa adik-adik perempuan yang belajar dengannya haruslah tanpa paksaan, dalam artian bahwa mereka belajar sesuai kehendak, pembelajaran sesuai konteks kultural dan mencoba berani mengatakan tidak untuk melakukan apa yang mereka tak kehendaki di kelas dan sekolah.

Terakhir, dengan nalar berpikir seperti itu, Kartini tak lupa untuk mengonsepsikan apa itu sekolah. Dengan menciptakan relasi “Ibu”-“Anak/Adik Perempuan”, sekolah dimaknai sebagai sebuah rumah yang berisi keluarga. Ia menulis surat kepada Dr. Adriani mengenai pemikirannya itu, “Janganlah sekolah kami itu berupa sekolah biasa, sedikitpun jangan hendaknya dan janganlah kami menyerupai guru sekolah, melainkan haruslah sekolah itu berupa kaum keluarga besar dan kamilah Ibunya”.

Sayang, setahun berikutnya, empat hari setelah Kartini melahirkan anaknya yang pertama, Kartini meninggal pada tahun 1904. Setidaknya, meski jasadnya sudah tiada, citanya terus terealisasi oleh waktu. Terbukti pada kurun waktu 1930an, semakin banyak sekolah yang dibuka dengan beragam jenis, semakin banyak pula anak perempuan yang bersekolah.

Benarlah, suara dalam surat-surat Kartini tak pernah sia-sia menggema. Hingga kini.

“Kata-kata dengan lisan boleh jadi tergores dalam jiwa, tetapi tentulah engkau akui, bahwa banyaklah kata yang dilenyapkan oleh waktu, sekalipun pokoknya masih tinggal tercantum jua; tetapi surat-surat dapat menanggulangi segala kata dengan sebenarnya bilamana saja dan sekerap yang dikehendaki”

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Luthfi Ersa Fadillah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler