x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rahasia di Balik Menu

Dapatkah kamu membayangkan berapa harga makan malammu dengan menghitung jumlah kata dalam menunya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Dalam tradisi kita, pada akhirnya makanan adalah sesuatu yang suci. Ini bukan tentang nutrisi dan kalori. Ini perihal berbagi, kejujuran, dan identitas.”

--Louise Fresco (Ilmuwan, 1952-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah yang dapat kita bicarakan perihal makanan? Kelezatannya? Aromanya yang menggoda selera? Atau penyajiannya yang memikat mata? Bukan hanya itu, bahkan lebih dari itu. Kata-kata yang kita pakai untuk makanan sehari-hari memuat petunjuk tentang asal-usulnya dan tanda-tanda mengenai perjalanan makanan itu di masa lampau. Inilah yang dipahami seorang linguis terhadap menu dan nama makanan. Bagi seorang linguis seperti Dan Jurafsky, nama-nama makanan lebih dari sekedar gambaran akan cita rasa, aroma, maupun bahan.

Makaroni, kata yang kita kenal cukup akrab, mengalami evolusi yang panjang hingga sampai kepada ejaan dan pengertian yang kita kenal sekarang. Dari kata macaroon, terbentuklah kata macaron, dan kemudian menjadi macaroni—dan evolusi ini menggambarkan sejarah perjalanan makanan ini ketika melewati berbagai wilayah budaya: Persia, Arab, dan Romawi.

Perubahan-perubahan ini seakan membentuk silsilah—dari sumber yang awal untuk kemudian beranak-pinak dengan berbagai variasi. Dari satu lidah ke lidah yang lain, dalam budaya yang berbeda-beda, hidangan yang awal mengalami modifikasi, penambahan dan pengurangan bahan dan bumbu. Terjadilah proses adaptasi terhadap cita rasa komunitas tertentu.

Dalam karyanya yang unik, The Language of Food: A Linguist Reads the Menu, guru besar Stanford University, AS, Dan Jurafsky memberi contoh perjalanan panjang yang ditempuh kecap. Selama berabad-abad, kecap dipakai orang Cina, khususnya yang menetap di pantai selatan. Di abad ke-17, pelaut serta pedagang Inggris dan Belanda berlayar ke Asia dan di China mereka menjumpai ketchup—saus ikan. Pulangnya, mereka membawa banyak sekali ketchup. Kata tchup berarti saus dalam dialek China, tulis Jurafsky, sedangkan ke bermakna ‘ikan yang dihidangkan’—kata Hokkian.

Saus ikan bernama ketchup ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru bumi dan mengalami modifikasi. Di Inggris, cita rasanya berubah ketika di sini kecap kehilangan ikannya dan berganti dengan tomat, dan selanjutnya orang-orang Amerika menambahkan gula. Inilah yang dimaksud Jurafsky dengan penuturannya: “Kata-kata yang kita pakai untuk makanan sehari-hari mengandung isyarat tentang asal-usulnya dan petunjuk mengenai perjalanan yang ditempuh makanan ini dari satu wilayah ke wilayah lain.

Jurafsky bukan hanya berbicara tentang pelajaran sejarah di balik nama-nama makanan. Ia juga berkisah tentang mengapa restoran-restoran mahal memilih nama-nama tertentu untuk makananya, dan restoran-restoran yang lebih murah memakai nama-nama berbeda. Menurut Jurafsky, nama makanan juga menggambarkan berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan dari dompet untuk menikmati hidangan itu.

Semakin mahal restoran, semakin mereka cenderung bercerita tentang asal usul makanan yang mereka sajikan. Restoran mahal juga menggunakan kata-kata yang sukar, meskipun umumnya lebih ringkas. Restoran menengah menambahkan kata sifat, seperti segar, kaya, ringan, garing (krispi), dan empuk—seakan untuk menambah kepercayaan diri. Restoran murah lebih suka memakai kata yang positif tapi samar, seperti lezat, enak, dan gurih. Tak kalah menarik ialah penglihatan Jurafsky bahwa menu dan nama-nama hidangan yang disajikan restoran mahal mencerminkan siapa chef yang bertanggung jawab atas kualitas hidangan itu.

Sebagai linguis, Jurafsky bekerja keras untuk menyingkapkan rahasia di balik nama-nama makanan dan menjadikan karya ini begitu mengasyikkan untuk dibaca. Nama-nama ini membantu kita untuk memahami hubungan di antara berbagai peradaban manusia. Dan, tidak seperti yang kita sangka, globalisasi sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lampau—melalui makanan. Semua ini terjadi lantaran hasrat manusia yang sangat dasar: menemukan sesuatu yang lezat untuk disantap. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler