x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merapi dan Orang Jawa

Sistem pengetahuan lokal masyarakat terhadap perilaku gunung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Merapi dan Orang Jawa

Penulis: Lucas Sasongko Triyoga

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Grasindo

Tebal: xxiv + 186

ISBN: 978-979-081-383-0

 

Gunung berapi membawa berkah dan sekaligus bencana bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Karena tanah di sekitar gunung berapi sangat subur, maka banyak manusia yang memanfaatkannya untuk membangun pemukiman. Mereka tidak surut meski sering kali dilanda bencana saat sang gunung murka. Alih-alih meninggalkan gunung, manusia yang tinggal di sekitar gunung berapi malah mengembangkan hubungan yang unik dengan tempat hidupnya. Demikian pula dengan masyarakat di sekitar Gunung Merapi di Jawa Tengah.

Kepercayaan masyarakat gunung adalah sistem pengetahuan yang mereka gunakan untuk beradaptasi dari karakter gunung dimana mereka tinggal (hal. 166). Persepsi dan kepercayaan terhadap gunung dibangun oleh interaksi beratus tahun antara manusia dengan perilaku sang gunung. Kepercayaan yang dibangun tersebut sebenarnya adalah pengetahuan akan pribadi sang gunung sehingga manusia yang tinggal di sekitarnya bisa berdamai dengan sang gunung. Kepercayaan sering dibungkus dalam bentuk cerita, legenda dan diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual serta perilaku tertentu dari masyarakat. Kepercayaan tersebut menjadi bagian dari budaya masyarakat gunung. Melalui pelaksanaan budaya tersebut, masyarakat gunung telah berhasil beradaptasi dengan perilaku gunung sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat dari sang gunung itu sendiri.

Interaksi antara manusia dan gunung sudah berlangsung beribu tahun. Di Indonesia, interaksi tersebut tergambar dari pandangan/persepsi masyarakat terhadap gunung. Sebelum Hindu/Budha masuk ke Nusantara, masyarakat gunung di Nusantara mempersepsi puncak gunung adalah tempat bersemayamnya roh-roh orang mati. Roh-roh tersebut berperan untuk melindungi atau menghukum masyarakat yang tinggal di gunung. Ketika orang Nusantara memeluk agama Hindu/Budha persepsi tentang gunung bergeser. Puncak gunung tidak lagi menjadi (hanya) tempat tinggal para roh, tetapi (juga) menjadi tempat tinggal para dewa. Kepercayaan India ini terbawa ke Nusantara bersama dengan masuknya agama Hindu/Budha.

Di era Islam dan zaman modern, persepsi ini bergeser lagi. Beberapa kepercayaan tentang gunung diwarnai oleh agama Islam. Tokoh-tokoh legenda yang beragama Islam mulai ada di kepercayaan masyarakat gunung. Persepsi masyarakat gunung juga mulai diwarnai oleh pengetahuan modern bersama dengan masuknya ilmu pengetahuan tentang gunung (vulkanologi). Namun kepercayaan lama tersebut tidak serta-merta terhapus dalam sikap dan perilaku masyarakat gunung dalam interaksi mereka dengan lingkungannya.

Triyoga melakukan penelitian Antropho-ekologi di tiga desa di wilayah selatan Gunung Merapi, yaitu Desa Kawastu, Korijaya dan Wukirsari. Ketiga desa ini dipilih karena desa-desa ini adalah desa lama dan memiliki peran yang sentral bagi masyarakat Merapi. Di ketiga desa ini tradisi budaya yang berbasis persepsi dan kepercayaan lokal masih dipelihara. Ketiga desa ini juga memiliki hubungan dengan Keraton Ngayogjakarta dan Surakarta. Desa ini berhubungan dengan ritual-ritual Kasultanan Ngayogjakarta dan Kasunanan Surakarta.

Dari ketiga desa tersebut Triyoga berhasil mendeskripsikan pandangan penduduk lereng Merapi tentang Gunung Merapi, serta cikal-bakal kampung. Menarik sekali bahwa tidak semua cikal-bakal ini beragama Budha atau Hindu. Ada satu tokoh yang beragama Islam, yaitu Sjech Jumadil Qubro. Tokoh yang diyakini berasal dari Majapahit ini bahkan memiliki hubungan yang mesra dengan Sultan Agung Mataram (hal. 46). Meski Sjech Jumadil Qubro beragama Islam, namun tokoh ini digambarkan dengan perilaku yang sangat Jawa. Sjech Jumadil Qubro yang telah wafat masih bisa bertemu dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Hal lain yang berhubungan dengan tokoh adalah Kyai Petruk. Kyai Petruk adalah keturunan Mentowiji pelarian Majapahit. Saat akhil balik, Kyai Petruk akan diislamkan. Namun dia menghilang. Bagi saya pandangan ini menunjukkan sikap penduduk lereng Merapi yang bersedia menerima hal baru, namun tidak menghilangkan pandangan lamanya.

Masyarakat lereng Merapi meyakini bahwa mereka tidak hidup sendiri di sana. Di Merapi juga hidup para jin dan lelembut yang memiliki kerajaan, lumrahnya manusia (hal 65). Keraton makhluk halus ini memiliki sistem pemerintahan dan memiliki hubungan dengan Keraton Mataram (baik Jogja maupun Solo). Keraton makhluk halus ini juga memiliki hubungan dengan Keraton Kidul di Samodra Indonesia. Kepercayaan akan adanya penghuni lain menjadi landasan bagi masyarakat Merapi untuk menjelaskan hal-hal yang mereka alami. Warga yang meninggal mendadak dipersepsi bahwa ornag tersebut dibutuhkan karyanya di keraton lelembut. Masyarakat Merapi mencoba untuk hidup berdampingan secara damai dengan para lelembut. Dalam menentukan lahan pertanian dan pekarangan mereka selalu menghindari wilayah yang sudah dikuasai oleh para lelembut. Kalaupun terpaksa harus ‘menggusur’, penduduk Merapi memiliki ritual untuk mengambil alih lahan yang dibutuhkannya. Keraton makhluk halus juga berperan dalam memperingatkan akan datangnya bencana.

Ketiga desa yang dipilih Triyoga memiliki hubungan yang erat dengan Keraton Mataram (baik Jogja maupun Surakarta). Upacara-upacara labuhan baik oleh Keraton Ngayogjokarto mau Surakarta masih secara rutin dilakukan. Saat Keraton Surakarta menghentikan upacara labuhan karena kekurangan anggaran, penduduk Merapi mengalami bencana. Upacara labuhan ini menjadi sarana pendamai antara penduduk Merapi dengan sang Gunung.

Dari paparan persepsi dan pandangan masyarakat Merapi terhadap gunung bisa disimpulkan bahwa mereka berupaya memahami perilaku gunung dimana mereka tinggal. Kepercayaan dan tradisi budaya adalah sebuah sistem pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat untuk hidup berdamai dengan sang Gunung. Sistem pengetahuan itu telah terbukti mampu memelihara masyarakat Merapi dari bencana yang sewaktu-waktu timbul.

Sayangnya sistem pengetahuan ini sering tidak diperhatikan oleh pemerintah dalam membantu masyarakat Merapi. Pemerintah Belanda maupun Pemerintah Indonesia yang mengandalkan ilmu pengetahuan modern lebih suka mempersepsi bahwa Merapi adalah berbahaya untuk ditinggali. Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan pemerintah lebih banyak berupaya memindahkan masyarakat dari Merapi. Namun upaya-upaya ini kurang memberi hasil.

Mengingat bahwa sesungguhnya masyarakat Merapi bisa menerima pengetahuan baru (misalnya dalam hal masuknya Agama Islam), maka sesungguhnya mereka juga akan menerima pengetahuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan modern (sain). Oleh sebab itu dalam kebijakan tentang masyarakat Merapi dan masyarakat gunung lainnya, sebaiknya pemerintah memperhatikan sistem pengetahuan yang sudah dan masih dianut oleh masyarakat gunung. Mengabaikan sistem pengetahuan mereka mengakibatkan gagalnya kebijakan yang diterapkan.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler