x

Iklan

Mario Tando

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepakbola-ku Sayang, PSSI-ku Malang

Tentang borok dan karut-marut persepakbolaan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepakbola mempunyai daya tarik tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Ratusan juta rakyat Indonesia begitu terpikat oleh olahraga yang satu ini, olahraga merakyat, murah, yang (dahulu) hampir bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Anak-anak hingga kalangan dewasa umumnya bersatu padu untuk dapat bersama-sama memainkan olahraga ini. Olahraga yang membutuhkan kekuatan fisik, strategi, dan kekompakan tim yang utama. Jelas olahraga ini benar-benar menuntut harmoni persatuan dalam tim, menyatukan langkah gerak dan pikiran dalam tim, bertahan dan menyerang demi terciptanya sebuah gol. Filosofi yang amat dalam tertuang dalam olahraga ini. Walau harus diakui, olahraga ini pun seringkali menimbulkan keributan, tentu saja mereka-mereka yang tidak berjiwa besar, sportif, dan profesional pastinya seringkali menjadi saksi hidup sebagai pelaku keributan maupun provokator keributan. Karena nyatanya masyarakat tidak hanya terlibat secara langsung untuk memainkan olahraga ini, dukungan penuh pun selalu diberikan bagi setiap tim, klub-klub daerah kesayangan masing-masing serta Tim Nasional Republik Indonesia.

Sarana terpenting dalam olahraga ini ialah sebuah lahan yang cukup luas untuk menampung 22 orang sekaligus di dalam sebuah lokasi. Saking terpikatnya, lahan yang tak memadai pun tak jadi alasan bagi rakyat untuk tidak bermain. Tak disangka, seiring waktu berjalan lahan-lahan yang dulu tersedia melimpah ruah di setiap daerah di pelosok negeri ini nyatanya perlahan hilang ditelan proyek betonisasi pembangunan. Satu persatu lahan berubah menjadi perumahan, ruko, gedung-gedung perkantoran, dan lain-lain. Dilematis memang, namun tampaknya butuh pengaturan dari pemerintah sebagai pemimpin negeri ini untuk sedianya berfikir keras memikirkan solusi terbaik mengenai masalah ini. Karena bukan hanya sekedar sarana pertemuan rakyat untuk berkumpul berolahraga, namun disana juga lah muncul para bibit-bibit unggul yang siap membawa nama baik Negeri. Terakhir ada cukup harapan ketika Pemerintah (dalam hal ini Kemenpora) mencanangkan program ‘1 Desa – 1 Lapangan’. Sungguh luar biasa jika ini dapat benar-benar terealisasi. Semoga bukan sekedar candaan dan proyek bancakan, sehingga ini nyata bukan hanya impian.

Tentu saja Negeri ini perlu berbenah di berbagai lini jika ingin melihat dinamika persepakbolaan yang maju, Indonesia tentu saja memiliki peluang karena Sumber Daya yang begitu melimpah, baik dari potensi sarana prasarana maupun sumber daya manusianya. Hal pertama yang harus menjadi perhatian ialah fasilitas, sarana dan prasarana. Menyedihkan melihat Negeri ini yang katanya kaya dan punya lahan melimpah ternyata tidak mampu membangun satupun stadion berkelas dunia. Tentu saja ironi, jangankan untuk dimainkan, untuk dilihat saja terkadang amat memilukan, ketika para pemain harus bermain ditengah lapangan mirip selokan yang tentu saja begitu mempengaruhi permainan. Namun media tetap begitu bangga menyiarkan hal itu ke khalayak ramai, di sisi lain mungkin kita begitu ditertawakan, dipermalukan bangsa lain yang minim sumberdaya namun bisa efektif untuk membangun, baik fasilitas maupun sumber daya manusianya.

Belum lagi kita membicarakan profesionalitas para pemain dan supporter yang kadang merangsang kita untuk menghela nafas begitu dalam. Menyedihkan, perilaku mereka di lapangan kadang tak menunjukkan bahwa mereka seorang atlet, seorang yang memiliki jiwa besar dalam bertanding. Mereka tak segan adu jotos, baik dengan pemain lawan maupun sang pengadil, nampaknya banyak dari mereka lupa bahwa ini pertandingan Sepakbola, bukan Tinju. Mereka yang tega menipu rakyat untuk kepentingan mereka pribadi, jual beli pertandingan, skor, dan lain-lain untuk kepentingan bisnis. Belum lagi bicara supporter, yang tidak segan juga membela timnya dengan kekerasan, mungkin ini bagian dari pelajaran yang diberikan pemain yang kadang tidak segan juga melakukan aksi kekerasan, sehingga mereka dengan mudah meniru para idola mereka dilapangan. Tidak kalah jadi soal ialah kesiapan moral mereka dalam menjaga fasilitas, coba saja cek setiap stadion yang tersebar di Negeri ini, pastinya anda akan menemukan sekelompok coretan tak berguna berkumpul di dinding-dinding stadion. Kegagalan tim nasional akibat carut marutnya sistem pembinaan usia dini. Segala permasalahan akut, intrik yang begitu meracuni jantung persepakbolaan Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Racun itu bertambah ganas ketika mereka menyerang organisasi yang mengatur persepakbolaan professional di Indonesia, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sekelompok oknum pengacau lahir dan terjaga di dalam tubuh PSSI. Pemimpin demi pemimpin silih berganti, hampir tak ada satupun yang bisa memberikan solusi. Mereka seolah tak tahu apa yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia, atau mungkin mereka pura-pura tidak tahu dan menganggap hal ini bukan menjadi masalah penting di negeri ini. Atas dasar pembiaran ini, PSSI nyatanya begitu melekat dengan para pengacau, mereka sudah mendarah daging, sehingga sulit sekali rasanya membenahi organisasi ini (ini hanya satu organisasi, belum lagi organisasi lain yang dikelilingi penuh oleh oknum-oknum pengacau yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok semata). Yang lebih menjadi tertawaan, PSSI bangga dipimpin mantan narapidana bahkan juga buronan di periode ini.

Mungkin ini salah satu langkah nyata dari Pemerintah yang memiliki komitmen untuk membereskan masalah di segala lini yang ada di Negeri tercinta ini. Memang tidak ada kata terlambat, namun pastinya akan sangat sulit membereskan PSSI yang sudah begitu banyak meninggalkan borok, bahkan para belatung pun masih begitu erat menempel di borok tersebut. Penulis begitu setuju dengan langkah-langkah pemerintah yang membekukan PSSI. Memang setiap keputusan pasti menimbulkan dampak resiko, namun jika kita berkaca pada dinamika persepakbolaan yang ada, ini keputusan tepat, sepakbola professional harus segera berbenah, butuh pengorbanan, butuh kerja keras, butuh kesabaran. Rakyat tentunya tidak ingin melihat persepakbolaan professional Indonesia terus menjadi bahan tertawaan, melihat pemain dan supporter yang akrab dengan kekerasan, mungkin hanya di Indonesia juga supporter tidak memiliki tiket namun memaksa untuk dapat masuk lapangan. Problem lapangan tak layak, program pelatihan dan pembinaan usia dini yang tak kunjung membaik, sistem kompetisi dan tim yang tak kunjung professional, dan lain-lain. Rasanya pantas untuk diberhentikan sementara hiruk pikuk ini demi terciptanya masa depan yang lebih baik. Apalagi tidak sedikit pula uang Negara (pusat maupun daerah) habis dikucurkan untuk kepentingan ini.

Tentu saja Pemerintah juga harus benar-benar bekerja keras mencari solusi, bergerak cepat tidak kenal lelah mengobati borok PSSI, segera menyingkirkan para belatung yang senantiasa betah menjadi penyamun di PSSI. Jika tidak, hal ini akan terus berlarut-larut dan hanya akan menambah masalah baru. Semua elemen kebaikan harus bersatu, karena sampai kapanpun segelas air tak akan mampu memadamkan api segerobak. Biarkanlah sepakbola professional beristirahat sejenak untuk dapat benar-benar fit kembali dengan kondisi maksimal, namun tentu tidak dengan persepakbolaan rakyat di tengah-tengah pelosok negeri. Jangan cabut kebahagiaan anak-anak, rakyat di lapangan dengan pembangunan disana sini. Berikanlah mereka ruang untuk berekspresi, sambil tumbuh ke arah yang lebih positif di masa depan dengan sistem yang begitu mendukung kemajuan persepakbolaan Indonesia ke kancah Internasional. Sarana dan prasarana yang memadai, sistem pembinaan usia dini yang tepat, revitalisasi klub dan kompetisi secara professional, serta strategi pembinaan supporter.

Mario Tando

(Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia)

Ikuti tulisan menarik Mario Tando lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler