x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Antologi Puisi: Ambarawa Seribu Wajah

Antologi Puisi 271 halaman ini ditulis oleh 172 orang berumur kurang dari 13 tahun sampai dengan lebih 70 tahun, dari aneka kalangan penduduk Ambarawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Setelah berbulan-bulan bekerja, pada April 2016, Penarawa berhasil menerbitkan sebuah antologi puisi berjudul Ambarawa Seribu Wajah. Buku 271 halaman itu ditulis dan “ditulis” oleh 172 orang berumur  kurang dari 13 tahun sampai dengan lebih 70 tahun. Dari usia anak-anak sampai usia nenek kakek.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Penarawa adalah sebutan singkat  para penulis Ambarawa dan sekitarnya, Kabupaten Semarang, yang tergabung dalam Komunitas Penulis Ambarawa. Begitu buku ini terbit, Penarawa segera berterimakasih kepada Tuhan yang memberi keajaiban-keajaiban saat mereka mengetuk hati para penderma.

 

Ditulis dan “ditulis” artinya  Ambarawa Seribu Wajah ditulis oleh penulis dan calon penulis  serta  “penulis”. Kaum “penulis” adalah penjual tahu campur, pedagang buah, guru ngaji keliling, sopir, tukang parkir, mantan TKW, camat, legislator, tukang cukur, polisi, tentara, satpam, guru, anak-anak sekolah, dll, dll, pendeknya nyaris menampilkan seribu wajah Ambarawa.

 

Dalam proses  pengumpulan puisi, para pegiat Penarawa suatu hari mendatangi ibu penjual lotek. Sang ibu berkata:  “Sampeyan ki ana-ana wae, mas. Apa kuwi puisi? Cekelanku ya wajan, sothel, lha kok kon nulis puisi! (Anda ini ada-ada saja, mas. Apa itu puisi? Saya ini pegangnya ya wajan, sothel, kok disuruh nulis puisi!)”

 

Para pegiat itu dicuekin. Hehehe. Tidak kapok. Mereka terus berkeliling jam ke jam, hari ke hari, bulan ke bulan. Mengunjungi sopir, penjual ayam bakar, ke tempat fitness, rumah sakit, toko, sekolah-sekolah. Mendatangi polisi, tentara, dan para pejabat. Mereka keluar masuk  tempat  ibadat beberapa agama yang ada.

 

Mereka bukan hanya mendatangi dan membujuk orang bikin puisi, tetapi juga membawa alat tulis di lapangan. Sambil jajan sate, sambil minum jamu, sambil makan serabi, mereka “membantu para korban” untuk menulis puisi. Wujud bantuan itu tergantung dari mood mereka yang didatangi. Jika yang didatangi hanya bisa dan sudi bercerita, ya tinggal didengarkan, dicatat, yang nantinya digubah menjadi “puisi”.  Tapi tidak sedikit yang bisa bikin puisi, pantun, dan bersedia mengarang cerita sendiri.

 

Artinya, para aktifis Penarawa tinggal menunggu. Ada yang dikirim lewat email. Ada yang menyetorkan tulisan dengan secarik dua carik kertas yang tentu saja harus diketik ulang. Yah, lumayan heboh upaya mengumpulkan dan menyusun puisi-puisi tersebut. Apalagi, yang mereka himpun adalah pemikiran, perasaan dan sepenggal kisah dari jiwa-jiwa berbeda karena latar belakang, profesi, dan pengalaman hidup masing-masing. Semua berkisah tentang Ambarawa. Nuansanya. Yang terjadi di Ambarawa. Lintas zaman Ambarawa. Nyaris apa saja.

 

Penarawa lega. Buku sudah terbit. Tapi mereka mengakui, baru taraf semacam itulah yang bisa mereka capai. Masih jauh dari sempurna meski mereka sudah bekerja semampu mereka. Dan bertekad masih akan terus belajar.

 

Harapan

Dengan antologi puisi Ambarawa Seribu Wajah ini, Penarawa merindukan paling sedikit mendapatkan pemenuhan atas tiga pengharapan yang besar.

 

Pertama, semoga buku tersebut membawa kerinduan bagi para perantau untuk pulang ke kampung halaman dan kota kelahiran, dan Puisi Ambarawa Seribu Wajah mampu menebar berkah, inspirasi dan perubahan untuk kemajuan.

Kedua, semoga antologi puisi tersebut menjadi laut yang mendeburkan ombak sastra, digemari masyarakat dan membawa manfaat.

 

Ketiga, semoga buku antologi puisi Ambarawa Seribu Wajah sampai ke Taman Baca Masyarakat, ke sekolah-sekolah dari SMP sampai SMA sekabupaten Semarang. Syukur bisa lebih luas lagi.

 

 

Sastra bisa tumbuh dari mana saja. Juga dari tempat-tempat kecil.  Bukan hanya tumbuh dari klik-klik sastra  pendaku pemegang kanon entah di Palmerah, Utan Kayu, Taman Ismail Marzuki, Oxford, Oslo, Leiden, Ithaca, atau di Broadway New York. Yang menjadi soal, apakah penduduk di tempat kecil itu sendiri punya perhatian atas upaya bersastra yang dilahirkan oleh sanak kadang, handai tolan dan tetangga mereka sendiri?

 

Berniat membaca dan memiliki buku Ambarawa Seribu Wajah? Silakan piknik ke Ambarawa. Selain demi puisi, Anda bisa menikmati Ambarawa yang kaya dengan bukan hanya seribu wajah. Nyaris apa saja ada di Ambarawa. Sungguh!

 

Atau hubungi: penulisamb92@gmail.com

 

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

 

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB