Pandangan Pemerintah: Upaya Mengakhiri Kesenyapan 1965

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kasus 1965 menjadi penting karena korbannya yang masif, luasnya pelanggaran HAM, serta proses diskriminasi dan stigmatisasi atas para korban dan keluarga,

Sinyal positif bahwa negara hadir di tengah para korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu terjadi ketika pemerintah Jokowi-JK bekerja sama dengan komunitas korban, penyintas, dan gerakan masyarakat sipil menyelenggarakan "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan" pada 18-19 April lalu di Jakarta. Peristiwa ini menjadi langkah awal untuk mengakhiri kesenyapan dan mendengarkan banyak aspirasi untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan 1965.

Presiden Jokowi menyadari bahwa dalam kesenyapan tersebut ada tragedi kemanusiaan yang diabaikan, bahkan sengaja dilupakan. Presiden ingin semua luka bangsa di masa lalu yang terkait dengan pelanggaran HAM harus diselesaikan dan dicari jalan keluarnya. Komitmen pemerintah ini juga ditunjukkan dengan perintah Presiden kepada Menko Polhukam untuk membongkar makam para korban sebagai bukti keseriusan jalan mengungkap kesenyapan.

Dalam konteks ini, Presiden Jokowi memberi budaya baru yang mengubah cara "politik kekuasaan" dengan "politik kemanusiaan" dalam menangani para korban pelanggaran HAM masa lalu. Cara berpikir dan budaya baru ini dibutuhkan untuk melihat dan memulihkan luka-luka bangsa agar generasi masa depan tidak menanggung beban sejarah yang berkelanjutan.

Di sinilah dibutuhkan komunikasi politik dan dukungan seluruh kekuatan sosial-politik yang ada, termasuk TNI dan Polri, pada proses rekonsiliasi bangsa itu. Ini bertujuan agar tidak disalahtafsirkan atau dipolitisasi untuk kepentingan politik pragmatis.

Untuk mengawali proses penyelesaian kasus HAM di masa lalu, pemerintah berjanji menyelesaikan tujuh kasus, seperti peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; kasus Talangsari-Lampung 1989; penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; serta Wasior-Wamena 2001-2003.

Dari tujuh kasus tersebut, penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965 adalah yang paling krusial. Kasus 1965 menjadi penting karena korbannya yang masif, luasnya pelanggaran HAM, serta proses diskriminasi dan stigmatisasi atas para korban dan keluarga yang masih berlangsung hingga kini.

Mekanisme penyelesaian kasus HAM di masa lalu harus memenuhi empat prinsip, yakni pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan untuk tidak terulang. Tapi prinsip-prinsip ini juga harus dilihat secara dinamis dan realistis dalam ruang politik yang nyata di sebuah negara.

Presiden Jokowi menyadari tidak mungkin menjalankan mekanisme tunggal dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu karena sangat dipengaruhi oleh waktu, kasus, wilayah, sosial-budaya, dan suasana psikologis para korban. Sebenarnya, Presiden Jokowi telah meletakkan fondasi pertama bagi "Jalan Indonesia" untuk penyelesaian kasus HAM di masa lalu dengan memulai mengadakan Simposium 1965 untuk mendengarkan aspirasi dan mekanisme penyelesaian dari perspektif semua pihak, terutama korban.

Dari simposium ini, pemerintah dapat memberikan rekomendasi yang tepat tentang mekanisme apa saja yang menjadi aspirasi para korban, baik di jalur yudisial maupun non-yudisial. Dalam konteks ini, pemerintah tidak mau terjebak dalam dikotomi yudisial dan non-yudisial. Pemerintah melihat keduanya bisa menjadi jalur penyelesaian atas tragedi kemanusiaan tersebut.

Dari Simposium 1965 ini pemerintah melihat bahwa rekonsiliasi juga ditafsirkan secara beragam. Tidak perlu terburu-buru mengambil formulasi, perlu dialog yang komprehensif dengan semua pemangku kepentingan, terutama perspektif korban.

Dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah (2015-2019) dinyatakan perlunya dibentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu, yang langsung di bawah Presiden. Komite ini diharapkan dapat mengklarifikasi berbagai laporan yang sudah dihasilkan oleh badan resmi, korban, maupun organisasi non-pemerintah. Komite juga harus mendengarkan testimoni dan meminta klarifikasi yang komprehensif. Komite diharapkan dapat menguangkan hasil kerjanya dalam laporan utuh atas temuan yang diperoleh dan membuat program pemulihan korban pelanggaran HAM.

Pada akhirnya, kerja komite ini diharapkan bisa membuat pemerintah rendah hati dan jujur mengakui telah terjadi pelanggaran HAM dalam tragedi kemanusiaan 1965. Ini sekaligus untuk memenuhi harapan bahwa penyelesaian kasus ini menjadi proses penyembuhan bagi korban dan bangsa.

Simposium 1965 dan rekomendasi yang dihasilkan adalah babak baru dalam penyelesaian tragedi kemanusiaan 1965. Dalam simposium ini pemerintah juga telah mendengarkan berbagai aspirasi tentang mekanisme penyelesaian yang adil untuk korban. Tentu saja, ini baru langkah awal mengakhiri kesenyapan 50 tahun. Masih butuh banyak dialog dan pertemuan dengan para korban untuk menggapai keadilan dan rekonsiliasi. Masyarakat pun harus realistis bahwa penyelesaian kasus ini juga membutuhkan kesepahaman semua pihak akan pentingnya rekonsiliasi bangsa agar generasi besok tidak tersandera oleh utang kemanusiaan masa lalu.

Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 9 Mei 2016

Bagikan Artikel Ini
img-content
Eko Sulistyo

Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

0 Pengikut

img-content

Populisme Jokowi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler