Pedagogi Kritis di Zaman Edan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBArtikel ini berupaya menunjukkan pentingnya pedagogi kritis di zaman edan. Hanya dengan demikian, kehidupan tidak terjebak dalam perangkap kapitalisme.
”...menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak ikut (gila), tidak akan mendapat bagian.”
Itulah ungkapan terkenal yang tersalin dalam Serat Kala Tida-nya Ronggowarsito. Melalui itu, sang “pujangga penutup” Jawa mengungkap sebuah ketajaman dan ketandasan atas apa yang sedang dialami masyarakat, Jawa khususnya, pada akhir abad ke-19. Zaman yang memperlihatkan bagaimana sebuah “kemustahilan” bukan merupakan akhir dari segala-galanya, melainkan justru suatu “kemungkinan” yang dapat menyediakan jalan keluar (Benedict R. O’G Anderson, “Sembah Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” dalam Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, MataBangsa, 2000).
Jalan keluar yang bersifat ironis itu juga dimanfaatkan dengan cerdas oleh para pengamat pendidikan yang sadar bahwa di masa kini relasi-relasi sosial, termasuk kuasanya, dalam hidup masyarakat sudah semakin terperdaya oleh kapitalisme. “Isme” yang sejak Karl Marx dan Frederich Engel sudah diramalkan akan mendatangkan zaman kehancuran (kalabendu) telah dikaji dan dirumuskan ulang sebagai zaman yang penuh tipu muslihat dengan kapitalisme sebagai panglimanya. Itulah temuan mencekam dari Peter McLaren yang dituangkan dalam pengantar dari buku berjudul Critical Education in the New Information Age (1999).
McLaren yang menulis “Traumatizing Capital: Oppositional Pedagogies in the Age of Consent” memberi tanda-tanda penting berkait dengan semakin merajalelanya kapitalisme yang telah “membunuh ribuan kali” daya atau kekuatan hidup manusiawi yang seharusnya dibangun dan dirawat melalui pendidikan (Lingkar Studi USD, 7 April 2016). “Pembunuhan” besar-besaran itu ditunjukkan dalam berbagai gejala atau simptom yang membuat orang tak bisa mengelak dari apa yang disebut dengan konsumerisme misalnya. Bahkan seorang yang mengklaim sebagai aktivis anti-globalisasi, barangkali tidak bisa lepas dari kegemarannya untuk mengkonsumsi mi instan. Hal itulah yang ditandai oleh McLaren sebagai “trauma” yang justru selalu dicari, tapi direpresi agar tidak tampak menjadi wacana yang histeria. Maka, di zaman ini kapitalisme yang bertindak sebagai wacana tuan bukan sekadar memuaskan apa yang menjadi hasrat dari para konsumennya, tetapi juga menunjukkan cara untuk menemukan hasrat tersebut.
Cara yang sesungguhnya menggiring konsumen untuk tidak hanya menjadi konsumtif, namun sekaligus “consummate” (menghabisi segalanya), mampu membentuk masyarakat masa kini semakin tergila-gila pada kapitalisme. Kegilaan yang telah diperingatkan Ronggowarsito berabad-abad lalu kini hadir kembali dalam subjek yang relasi-relasi sosialnya sudah dibentuk ulang oleh trauma. Hanya subjek yang mampu mencari sumber kekuatan dari trauma itulah yang dapat membangun kesadaran diri untuk melawan. Perlawanan itu adalah upaya untuk menghidupkan kembali apa yang sudah “dimatikan” oleh kapitalisme. Maka, seperti yang ditemukan Ronggowarsito di Zaman Edan, bahwa sesuatu yang “mustahil” masih mungkin untuk dituliskan asalkan memakai media yang tepat untuk masyarakat yang tidak kuasa mencegah kalabendu.
Dalam konteks pendidikan, di Indonesia khususnya, tradisi pedagogi yang berakar pada Zaman Edan cenderung lebih mampu menemukan sesuatu yang “memukau”. Pramoedya Ananta Toer misalnya, melalui berbagai novel atau cerpennya, telah menunjukkan bahwa sastra dapat menjadi wahana pedagogi yang berperan dalam menghadapi beragam peristiwa (in)toleransi. Demikian pula dengan Eka Kurniawan yang salah satu novelnya berjudul Man Tiger (Verso, 2016) atau Lelaki Harimau (Gramedia, 2015) belum lama ini masuk dalam nominasi penghargaan sastra internasional (Man Booker International 2016) membuktikan betapa masih ajaibnya pedagogi (sastra) Indonesia masa kini. Itulah mengapa pedagogi dari Zaman Edan menjadi salah satu keutamaan untuk menciptakan subjek didik yang kritis dan akademis yang mampu melawan ketidaksadaran terhadap segala tipu daya kapitalisme.
Pedagogi macam ini menjadi peluang dan tantangan agar selalu jeli dan waspada (eling lan waspada) terhadap segala bentuk kemajuan yang ditawarkan dalam dunia pendidikan. Salah satunya gagasan tentang manajerialisme di perguruan tinggi yang lebih banyak menghasilkan laporan daripada perubahan (Retorika, Vol. 4, No. 1, Januari 2016). Apakah gagasan itu merupakan suatu bentuk otorianisme baru, mari telusuri jaring-jaring traumatiknya yang dihasilkan dari relasi-relasi kuasa dalam dunia pendidikan di masa kini.
A. Windarto
Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Yang Tidak Biasa
Selasa, 9 Agustus 2022 15:56 WIBImpian Arimbi
Jumat, 19 November 2021 06:25 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler