x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pernikahan yang Merdeka dari Peradaban Gelap

Pernikahan di negara kita menjadi ruwet dan repot karena produk-produk hukum positif warisan tiran-tiran feodal purba yang sampai kini masih diberlakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: creditqoqo.com)

 

Memang negara kita sudah merdeka. Betul. Merdeka. Berdasar banyak tahyul. Maka, hidup berbangsa dan bernegara di negara kita terkini menjadi hiruk pikuk. Lantaran irasionalitas banyak sektor kumpul kebo dengan mekanisme politik yang kacau balau, lahirlah tradisi-adat-tatacara pembikin repot pernikahan. Ini terwujud dalam produk-produk hukum positif  warisan tiran-tiran feodal purba yang sampai kini masih diberlakukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Empat Perkara

Dalam konteks hukum positif  warisan  tiran-tiran feodal purba tersebut, sepasang manusia hetero Indonesia yang tidak punya agama “resmi” akan kalang kabut saat mau meresmikan hal cinta mereka dalam kelembagaan “peradaban”. Kita tahu, pelembagaan urusan cinta yang sedang berkobar, disebut pernikahan. Jika cinta sedang amburadul dan mau dilembagakan juga, namanya perceraian.

 

Hal di atas membuat kepala pusing karena, minimal, empat perkara.

 

Pertama, soal agama resmi. Agama itu diresmikan atau tidak, bagi pemeluknya,  tetap saja membawa nilai yang sulit digeser begitu saja. Agama adalah ihwal HAM, keyakinan pribadi yang tidak bisa dihapus meski distempel “tidak resmi” oleh kekuasaan model apa pun. Mereka tidak bisa digiring untuk pindahan, supaya bisa menjadi “resmi”.

 

Kedua, jika sepasang pencinta tidak beragama “resmi” semisal berpaham hidup agama tradisi, aliran kepercayaan, atau tidak bisa beragama, lalu bagaimana? Apa mereka harus “berzinah” selama hidup? Padahal, sifat dasar  hakikat pernikahan itu lebih individual  katimbang sosial. Yaitu, sepasang individu saling mencintai dan mau bersatu, berpadu secara sadar tanpa paksaan dari unsur luar. Jadi, individu di tempat pertama, dan yang lain-lain, unsur-unsur sosial semacam hukum, agama, adat, tradisi, dan apa pun, nomer yang kesekian.

 

Ketiga, dalam mengatur dan “mengurus” pernikahan, terbukti sistem warisan tiran-tiran purba itu keliru. Secara peradaban melecehkan pluriformitas. Secara politis memberlakukan hukum yang mencampur-adukkan urusan agama dengan negara dengan cara  ngawur  bagi sistem sipil demokratis yang bhineka. Artinya, memaksakan pemberlakuan legalitas yang salah dan buruk.

 

Keempat, tugas berat bagi peradaban reformasi RI ialah membenahi legalitas yang salah dan buruk  tersebut di dalam hukum positif undang-undang negara. Sebab legalitas hukum positif warisan para tiran bengis zaman purba tersebut hanya bertumpu formalitas yang mengabaikan keniscayaan pluriformitas. Ia tidak mencipta keteraturan sosial, tapi memaksakan kesimpang-siuran, ialah merecoki kebahagiaan individu saat mengurus pelembagaan pernikahannya.

 

 

Akar Masalah

Dalam keruwetan “pengabsahan” yang disebut pernikahan, biang keladinya bukan pasangan nikah, tetapi pihak luar, antara lain birokrat agama dan birokrat negara. Birokrat negara, ironisnya, justru sedang menjalankan tugas, yaitu memberlakukan UU. (Biang keladi lain birokrat agama tidak dikupas di sini.)

 

Perkara jadi makin kucel gara-gara UU sendiri kurang adaptif terhadap perkembangan zaman. Problem dalam legalitas alias formalitas warisan tahyul-tahyul purba itu memberi bukti kegagalan UU-peraturan dalam menata pernikahan. Legalisme ternyata gagal melayani kebutuhan dan tak mampu menangani problematika warga negara.

 

Dalam spektrum lebih luas, itu berarti ketidakmampuan negara membahagiakan warga. UU-peraturan itu dalam praktek telah terjebak dalam formalisme, sehingga tujuannya tidak tercapai. Tujuan undang-undang yang semestinya demi tata atau order sosial itu justru membuat repot warga, memproduksi kebingungan sosial dan ketidakbahagiaan personal.

 

Kebutuhan warga negara sepasang pencinta itu sederhana. Mau kawin alias nikah. Apa sulitnya? Secara moral prinsip kebahagiaan personal, sejauh menyangkut pasangan nikah berdasar saling cinta dan kehendak bebas, bahkan tanpa tambahan apapun dari unsur luar, itu sudah absah dan “tercipta” dengan sendirinya. Tapi  ini ekstrim dan agaknya “mustahil”. Sebab manusia itu tak hanya personal melainkan juga sosial. Sekalipun demikian, unsur sosial itu harus muncul berimbang, korelatif, sehingga tidak menindas unsur personal. Dalam bingkai ini, maka hakikat pernikahan adalah proklamasi pengukuhan relasi cinta dua lawan jenis, misalnya A dan B, kepada masyarakat.

 

Jadi, yang paling berwenang mengabsahkan pernikahan adalah A dan B sendiri. Mereka paling tahu-menahu mengenai “urusan” mereka hingga merasa perlu melembagakannya. Dengan kata lain, pengabsah pernikahan bukan pihak luar, tapi mereka sendiri. Dengan demikian istilah “mengawinkan” atau “menikahkan” itu sebetulnya juga tidak tepat. Sebab, pernikahan itu bebas hirarki. Istilah itu lahir akibat penilaian kelewat tinggi terhadap hirarki kelembagaan dan segala faktor luar, yang  hakikatnya sekadar nilai tambah “hiburan” dalam substansi pernikahan.

 

Jelasnya, “pencipta” pernikahan itu sang pasangan nikah dan bukannya birokrat dari sirkuit apapun. Dalam pernikahan, pasangan nikah saling menikahkan diri dan karenanya sakral bagi yang bersangkutan. Pernikahan jadi lebih sakral sebab “diproklamasikan” dan dihadiri pihak luar (wali, saksi, orang tua, birokrat religi dan birokrat negara, dan hadirin lain). Fungsi pihak luar itu terbatas sebagai saksi, pemberi restu dan supporters yang tak ada sangkut pautnya dengan keabsahan substansial pernikahan.

 

(Catatan –  dalam Gereja Katolik Roma pasca Vatikan II terdengar istilah “saling menerimakan sakramen pernikahan”, yang dulunya adalah “menerima sakramen pernikahan”. Jika dulu imam/pastor “mengawinkan”, sekarang imam/pastor cuma menjadi saksi sepasang pencinta yang “saling mengawinkan diri”. )

 

Terpenting,  seluruh kesimpangsiuran dalam formalisme dan legalisme itu sebenarnya terbatas dalam bingkai nilai tambah “hiburan”. Secara sosial, nilai tambah memang berharga, tapi ia tetap bukan substansial sekalipun bermodal hal-hal angker dan seram seperti UU, peraturan, nilai adat, ayat-ayat Kitab Suci dan apapun. Mengherankan bahwa ihwal tambahan itu telah begitu banyak menyita enersi dan pikiran kita, dan toh masih belum produktif, ialah jadi kesimpangsiuran sosial dan kebingungan individual. Itu semua, biangnya adalah tirani dogmatisme dan legalisme. Dari mana genesis kepatuhan terhadap tirani tersebut?

 

Pemerdekaan Sikap Pikir

Akar kepatuhan pada formalisme dan seluruh ikutannya di atas adalah budaya pikir yang masih terkungkung tahyul-tahyul primitif.   Itulah budaya yang grogi memerdekakan diri dari perbudakan ciptaan sendiri. Memang, sebagai makhluk sosial, manusia harus masuk dalam wacana legalitas. Tapi jika legalitas itu buta dan jadi tirani legalisme hingga mekanisme proses kebahagiaan individual terancam, harus digugat, sebab mengganggu akal sehat.

 

Secara filosofis, kesimpangsiuran dalam proses pengabsahan pernikahan di dalam rangka legalisme adalah “sedang berlangsung mitos sakral satu-arah menindas realitas multi-arah”. Legalitas dan atau formalitas memang berharga, tapi jika tidak disikapi secara benar, bisa mengaburkan substansi pernikahan itu sendiri. Di banyak literatur tercatat: dari rimba fenomena pernikahan, formalisme itu paling miskin secara moral. Para pemikir pernikahan yang serius bahkan menganggap formalisme “bisa diabaikan” jika merecoki hal yang substansial.

 

Dengan demikian hakikat pernikahan harus dipahami komprehensif. Formalitas hukum dalam pernikahan bukan segalanya. Ia cuma pelengkap bagi hakikat pernikahan. Formalitas UU-peraturan adalah ihwal-perkara obyektif sosial-hukum yang nilai dan ukurannya tergantung praktik politik temporal. Ia lugas, horizontal, material, empirik-fenomenal, eksternal dan harus rasional. Itulah sebabnya ia menjadi hak dan kewajiban negara. Hakikat pernikahan sebaliknya. Ia  lentur, vertikal, spiritual, metafisik, internal dan emosional, memuat ihwal subyektif martabat dan hak-kewajiban individu yang multi nilai, relatif dan mengatasi ruang-waktu. Maka, hakikat ini, yang nilainya lebih tinggi katimbang ihwal dan perkara,  sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban individu.

 

Manusia, Agama, Hukum

Ukuran dan nilai pernikahan adalah “perkara abadi” sejak era sebelum sejarah tertulis. Sejarah pernikahan (baca: seksualitas sosial) lebih tua katimbang sejarah agama apa pun, yang pada waktu dan zamannya, adalah sejarah manakala pikiran, perbuatan, perasaan termasuk pernikahan sebagai bagian seksualitas, diatur dengan pedang berdasarkan dugaan, dogma dan prakonsepsi para penguasa agama.

 

Tetapi spirit amat  purba  itu masih laku menjadi sikap pikir. Antara lain mewujud dalam hukum positif negara, tidak penting nomor dan tahunnya dan bagaimana rumusannya, terpenting adalah ternyata tetap tidak mampu membantu problem kemajemukan warga. Ia cuma menjadi “bantuan” semu yang hakikatnya adalah pemaksaan atas nama order sosial yang melecehkan martabat individu.

 

Terbatas dalam konteks itulah, RI kita menziarahi nilai pernikahan. Budaya kita gagap menampilkan hakikat pernikahan yang sesungguhnya. Ia macet berputar-putar di sekitar kontroversi artifisial melayani formalisme. Kemacetan itu makin memprihatinkan saat kita berani maju selangkah mempersoalkan korelasi wewenang negara dan agama, sebagai sebuah negara hukum. Kasus-kasus dalam “peresmian” sepasang pencinta yang kerepotan karena tidak beragama “resmi”, menunjuk diskriminasi hukum, saat kebijakan negara berani melahirkan terminologi agama “resmi yang diakui” – yang pada gilirannya menimbulkan kesimpangsiuran tentang keabsahan pernikahan.

 

Singkatnya, korelasi raksasa antara keabsahan, pernikahan, agama dan negara itu hanya terpecahkan dengan tekad politis yang konsekuen sebagai negara hukum. Yaitu, sungguh-sungguh memisahkan wewenang negara dengan wewenang agama. Niat baik ingin menciptakan keabsahan integral dari sudut negara dan agama sekaligus dan pada waktu yang bersamaan, memang ideal. Tapi banyak kasus menunjukkan ia cuma utopia, saat dihadapkan pada kasus-kasus pasangan berbeda agama dan atau pasangan dari agama “tidak diakui”.

 

Jadi, penanggungjawab atas kesimpangsiuran pengabsahan pernikahan adalah sikap pikir “purba yang tidak masuk akal” yang melatarbelakangi kelahiran perangkat, alat, hukum dll yang tidak pas. Dalam hal hukum positif misalnya, maka UU yang pas bagi negara hukum, mestinya berdasar pada sikap rasional manusiawi yang meletakkan manusia di tempat pertama, apa pun agama dan keyakinannya. Sebab yang mau kawin itu manusia, bukan agama.

 

Memberi Daya Hidup

Jadi, terkurung jerat budaya yang gagu menggugat formalisme, bisa bikin rancu persepsi khalayak mengenai hakikat pernikahan. Jerat itu membuat pernikahan jadi wacana alot  penuh rambu. Padahal, pernikahan adalah rahmat dan martabat individu yang positif, membahagiakan dan memberi daya hidup.

 

Itulah pekerjaan rumah raksasa bagi RI Reformatoris dalam mencetak individu-individu masa depan yang manusiawi menyikapi pernikahan. Lebih khusus, PR raksasa itu akan jadi tantangan dunia pendidikan dan hukum untuk memproduksi garis-garis kebijakan yang pas untuk abad ke-21 ini.

 

Jadi, pernikahan yang merdeka adalah pernikahan yang terjadi dalam peradaban terang.  Ihwal perkara pernikahan menjadi alot dan ruwet karena peradaban masih gelap direcoki peradaban tiran-tiran feodal zaman purba jahiliyah penuh tahyul.

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB