x

Ilustrasi Kereta Api Indonesia. Getty Images

Iklan

A. Windarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nasionalisme dari Kereta Api

Artikel ini mengupas tentang peranan kereta api dalam pembentukan nasionalisme di Hindia Belanda, atau Indonesia masa kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik bahwa pilihan terhadap kereta api sebagai angkutan massal modern tercatat sebagai ”penemuan nomor 11” dalam majalah Kopiist yang terbit pertama kali di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Itu artinya, kereta api akan segera menjadi kenyataan yang sebelumnya tak terbayangkan. Sama seperti jalan raya seperti Jalan Raya Pos Daendles yang disebut sebagai proyek ”Napoleonik” di Jawa, pembangunan rel-rel kereta api merupakan sebuah temuan baru yang menakjubkan (Rudolf Mrázek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, YOI, 2006).

Tak heran, sejak dekrit kereta api dikeluarkan untuk Hindia Belanda, seakan-akan ada semangat zaman baru yang sedang bertiup dan menggelora. Bahkan Raden Ajeng Kartini, sebagai putri bangsawan Jawa, turut terpanggil untuk merasakan sentuhan angin modernitas dengan menuliskan segenap pengalaman dan impiannya melalui surat-menyurat dengan para sahabatnya di Eropa. ”Andai aku anak laki-laki,” demikian tulis Kartini di tahun 1900, ”aku tak akan berpikir dua kali, untuk segera menjadi pelaut.” Sebuah impian yang cukup aneh di saat Jepara, tempat tinggal Kartini, masih jauh dari sentuhan peradaban jalan Hindia Belanda modern, termasuk kereta api yang sesungguhnya. Apalagi pesawat-pesawat udara, sedangkan bis saja belum ada, yang dibayangkan melintas di langit Jepara, mampu membawanya pada sebuah pernyataan emansipatorik: ”Saya seharusnya memang dilahirkan sebagai laki-laki.”

Memang tak dapat disangkal kereta api telah membawa perubahan yang amat menakjubkan di Hindia Belanda. Dari laporan sebuah komisi di tahun 1904 diketahui ada peningkatan jumlah penumpang kereta api selama tiga tahun terakhir, baik di kelas satu (”Eropa”), kelas dua (”Eropa berpendapatan rendah dan pribumi kelas atas”) maupun kelas tiga (”pribumi/kelas kambing”). Terutama di kelas tiga, disebutkan penggunaan kereta api dan trem oleh orang kecil (kleine man) ”naik lebih cepat dari dugaan semula.” Dan alasan bepergian dengan menggunakan kereta api itu lebih dominan bersifat ekonomis (pasar, mencari kerja) daripada yang lainnya.

Tetapi, lambat laun ada kekhawatiran pula dari pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap para penumpang pribumi. Terlebih terhadap para santri, murid, dan pengajar Islam yang dicurigai sebagai ”calon-calon pemimpin kerusuhan”, meski menurut laporan para kondektur justru merekalah yang paling sering menggunakan jasa kereta api dan trem. Masuk akal jika dalam salah satu novel terkenal di Hindia Belanda berjudul De Stille Kracht (Kekuatan yang Tak Nampak) di pergantian abad ke-20 terdapat adegan yang mengisahkan suatu rombongan haji sepulang dari Mekah sedang disambut ramai oleh masyarakat di sebuah stasiun kereta api di Jawa Barat. Namun di tengah-tengah keramaian itu, konon ada seorang haji yang membumbung tinggi dan putih sembari menyeringai terhadap para penguasa kolonial yang memata-matai dari kejauhan tapi tak mampu melihatnya (Nancy K. Florida, ”Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri.dalam Dunia Kepujanggan ”Klasik” di Keraton Surakarta” dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, LSR & Kanisius, 2008)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah benih nasionalisme yang tumbuh dari gemerlap modernitas di Hindia Belanda yang dikerjakan melalui proyek pembangunan kereta api. Unsur yang oleh Mas Marco Kartodikromo mampu dibahasakan dalam jurnal politiknya, Doenia bergerak, sebagai suatu upaya untuk menyambung lidah dan suara boemiputra, yang selalu mengalami beragam ketidakadilan di jalan modern dan stasiun kereta api. Dari rasisme yang dialami seorang bapak Jawa yang ”dijadikan seperempat manusia” karena tidak dapat masuk dan duduk di bangku stasiun akibat lenyapnya tiket peron, kecuali untuk keturunan Belanda atau Cina. Hingga para wanita yang dilecehkan para kondektur sepanjang perjalanan di kereta api, sehingga menjadi pucat, malu dan takut untuk melapor kepada pimpinan kereta api. Kesemuanya itu mirip seperti berada di garis pertempuran, namun dibentengi dengan amat kuat hingga tak kuasa untuk melawannya.

Tentu saja Indonesia bukan lagi Hindia Belanda. Meski sebagian besar stasiun dan rel kereta api merupakan warisan zaman kolonial, namun ketidakadilan seperti yang pernah diberitakan di jurnal atau koran Mas Marco hanya ada dalam sejarah. Apalagi pemogokan pekerja kereta api pada tanggal 10 Mei 1923 yang dikenal dengan sebutan spoor tabrakan (”tabrakan kereta”) tak lebih dari momen penting atas kegagalan proyek kolonialisme di masa lalu.

Tapi, tunggu dulu. Bukankah dampak kolonialisme tidak hanya terpancang pada ruang dan waktu sejarah? Dengan kata lain, meski negara-negara yang dulu pernah terjajah, seperti Indonesia, setelah 70 tahun merdeka toh masih juga mengalami neokolonialisme yang dari sudut pandang tertentu bisa dilihat sebagai globalisme yang merupakan alih fungsi dari kolonialisme (Melani Budianta, ”Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial” dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, LSR & Kanisius, 2008). Hal itu dapat ditemukan pada jenis optimisme dalam perkereta-apian yang masih mengusung soal ketepatan dan kelancaran (on time and oily), bahkan kejelasan dan keamanan (distinct and safe), dalam setiap perjalanan, termasuk wisatanya. Bagaimanapun juga soal itu sudah dicanangkan sejak tahun 1939, atau 16 tahun setelah pemogokan para pekerja kereta api kolonial ditaklukkan. Jadi, bukankah ironis jika optimisme dalam wacana perkereta-apian belum juga beranjak seperti jalannya kereta api kolonial? Maka, agaknya benih nasionalisme yang pernah menjadi arus bawah dalam dunia perkereta-apian perlu ditumbuhkan lagi agar mampu membangkitkan semangat menjadi Indonesia, bukan kembali ke era Hindia Belanda lagi.

 

A. Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik A. Windarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler