x

PDIP Bakal Berkoalisi di Pilkada Takalar

Iklan

Dion Pare

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menimbang (Lagi) Anggota DPR/DPRD dalam Pilkada

Dalam percakapan yang terjadi di ruang publik, terjadi tarik menarik yang kuat soal persyaratan menyangkut calon yang berasal dari anggota DPR/DPRD

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu isu yang menjadi diskusi publik yang hangat dalam pembahasan revisi RUU Pilkada adalah soal asal muasal calon dan persyaratan yang menyertainya.  Asal muasal calon adalah masyarakat umum, TNI,  Polri, PNS, pegawai  BUMN, serta calon dari anggota DPR/DPRD. Ketentuan yang mengatur calon yang berasal institusi TNI, Polri, PNS dan BUMN, lebih mudah disepakati karena persyaratannya juga tercantum dalam peraturan perundangan lain.

Namun demikian, terjadi tarik menarik yang kuat soal persyaratan menyangkut calon yang berasal dari anggota DPR/DPRD. Menurut Keputusan MK No. 33/PUU-XIII/2015, setiap anggota DPD, DPR, dan DPRD harus mundur dari keanggotaan setelah ditetapkan sebagai pasangan calon. Sementara, dalam revisi RUU ini, DPR hendak menegasikan keputusan MK tersebut. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni, meminta agar pemerintah dan DPR menjelaskan argumen hukum dan meyakinkan masyarakat tentang kembalinya beleid tersebut (Koran Tempo, Senin, 25 April 2016). Tulisan ini merupakan satu respons atas ajakan diskusi tersebut.

 

Soal Netralitas

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa calon dari lembaga seperti TNI, POLRI, PNS, dan BUMN harus mengundurkan diri ketika mereka hendak menjadi calon pejabat dalam Pilkada?

Keempat lembaga tersebut harus tunduk pada aturan netralitas terhadap berbagai komponen masyarakat dan politik. Karena itu, personilnya yang hendak terjun dalam kontestasi politik semacam itu harus memutuskan hubungan formal dengan lembaga yang harus dijaga netralitasnya. Pertama, agar mereka tidak memanfaatkan jaringan lembaga yang harus netral tersebut ke dalam urusan politik. Kedua, personil dari keempat lembaga itu akan terkontaminasi kepentingan politik ketika kembali ke lembaga-lembaga tersebut apabila mereka tidak terpilih. Kontaminasi politik dipastikan akan mengganggu profesionalisme yang dituntut oleh lembaganya.

Sementara, anggota DPR/DPRD adalah hasil dari rekrutmen politik.  Seluruh urusan mereka sejauh mungkin merupakan upaya untuk mengakumulasi kepentingan politik dan menggapai jabatan-jabatan publik yang diperoleh melalui mekanisme politik, seperti pemilihan. Anggota DPR/DPRD dan lembaga tersebut tidak dituntut untuk menjaga netralitas semacam itu.

Dengan kata lain, meraih jabatan publik, seperti kepala daerah, merupakan jalur logis dari keanggotaan seseorang dalam sebuah partai politik. Menjadi anggota DPR/DPRD dicapainya melalui kontestasi politik. Ketika ada peluang untuk meraih jabatan politik yang lain, yang membuat pengabdian hidup mereka lebih nyata, mereka pun ingin melakukannya juga. Ini bukanlah suatu aksi “lompat pagar” ke bidang yang berbeda. Capaian para politisi yang menjadi anggota DPR/DPR dan kemudian berikhtiar ke jabatan bupati, walikota atau gubernur merupakan kelanjutan yang wajar dari karier hidup mereka, sebuah upaya menjiwai pilihan hidup mereka: jalan politik.

Soal beleid mundur dari posisi mereka sebagai anggota DPR/DPRD, MK mempertimbangkan asas keadilan yang disamakan dengan PNS, anggota TNI/Polri atau BUMN. Pertimbangan tersebut kurang melihat perbedaan yang esensial antara lembaga DPR/DPRD dan lembaga-lembaga TNI, POLRI, PNS dan BUMN. Lembaga DPR/DPRD tidak dituntut untuk bersikap netral dalam kontestasi politik Pilkada.

 

Soal Implikasi

Satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun beleid adalah apakah aturan tersebut memberikan dampak positif atau negatif terhadap masyarakat dan negara.

Apa keuntungan jika anggota DPR/DPRD mundur dari kedudukan mereka saat ini? Tidak banyak, kecuali memberi kesempatan kepada calon urut di bawahnya untuk menduduki kursi DPR/DPRD. Mengenai pertimbangan bahwa anggota DPR/DPRD bisa memanfaatkan birokrasi, alasan itu tidak cukup kuat karena anggota DPR/DPRD  tidak memiliki pengaruh atas jaringan tersebut, tidak seperti calon dari petahana atau pun calon dari keempat lembaga yang disebut di atas.  

Kalau ditinjau dari segi ini, implikasi dari anggota DPR/DPRD yang tidak mundur tidaklah sama dengan implikasi yang ditimbulkan oleh calon dari TNI/POLRI, PNS dan BUMN. Karena implikasinya berbeda, asas keadilan yang menjadi pertimbangan dalam keputusan MK tersebut tidak bisa menjadi alasan dalam hal ini.  

Malahan, sebaliknya, seperti terjadi dalam pemilihan kepala daerah tahun lalu, beleid tersebut membuat tersanderanya salah satu sumber daya politik karena pertaruhannya terasa terlalu berat bagi anggota DPR/DPRD. Kalaupun ada yang berani, mereka melakukannya dengan terpaksa.

Kedua, implikasi negatif lainnya adalah calon tunggal di beberapa daerah. Fenomena calon tunggal merupakan ekstrem lain dari calon yang jumlahnya terlalu banyak. Namun, karena demokrasi harus juga efisien dan efektif, pelaksanaannya harus tunduk kepada regulasi. Namun, pengaturan tidak boleh menihilkan esensi demokrasi yang mengandaikan adanya beberapa pilihan yang setara. Calon tunggal melanggar prinsip tersebut. Secara sosio-politik, calon  tunggal adalah ironi dalam sistem multipartai seperti  ini.

 

Dion Pare, Peminat Masalah Sosial Politik

Ikuti tulisan menarik Dion Pare lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler