Menggugat Efek Jera Pidana Mati

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut Komite Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup merupakan hak tertinggi yang tidak boleh diderogasi pada saat keadaan darurat publik.

NAMA Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kembali mencuat dalam pemberitaan berbagai media massa seiring dengan rencana eksekusi mati tahap ketiga. Eksekusi ini akan dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung. Meski belum ada informasi pasti kapan eksekusi akan dilaksanakan. Eksekusi tahap pertama dilaksanakan pada 18 Januari 2015 dan tahap kedua pada 29 April 2015.  Di era modern, gerakan menghapus pidana mati menguat pada abad ke-18. Gerakan ini mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak menusiawi dan tidak efektif.    

Nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi itu pun belum dirilis secara resmi oleh Kejaksaan Agung. Meski sudah beredar nama-nama terpidana mati kasus narkoba yang dikabarkan masuk dalam daftar eksekusi. Mereka adalah Ozias Sibanda (warga negara Zimbabwe), Obina Nwajagu (Nigeria), Fredderikk Luttar (Zimbabwe), Humprey Ejike (Nigeria), Seck Osmane (Afrika Selatan), Zhu Xu Xhiong (Tiongkok), Gang Chung Yi (Tiongkok), Jian Yu Xin (Tiongkok), Freddy Budiman (Indonesia),  Zulfikar Ali (Pakistan), Suryanto (Indonesia), Agus Hadi (Indonesia), dan Pujo Lestari (Indonesia).

Menurut Komite Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup merupakan hak tertinggi yang tidak boleh diderogasi pada saat keadaan darurat publik. Untuk merespon bentuk penghormatan terhadap hak untuk hidup tersebut, maka dibuatlah Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang ditujukan pada Penghapusan Pidana Mati. Instrumen nasional pokok HAM juga menegaskan negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, serta keadilan.  

Berbagai instrumen HAM yang dimiliki negara Indonesia, antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Filosofi pemidanaan dapat dimaknai sebagai pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh mencederai hak-hak asasinya yang paling dasar, serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah, meskipun terpidana berada di lembaga pemasyarakatan tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.

Filosofi itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menekankan narapidana bukan objek, melainkan subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana.

Michael Foucault telah merumuskan pisau analisis untuk melihat fungsi pidana (mati) dalam sebuah sistem politik-hukum dan keterkaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat (Foucault 1977:23). Yang terutama menurut dalil Foucault adalah, masyarakat harus membuang jauh ilusi bahwa tujuan (eksklusif) pemidanaan adalah mengurangi kejahatan.

Menurut Foucault, hal ini disebabkan oleh karena hukuman mengacu pada kondisi sosial, sistem politik, dan kepercayaan agama, sehingga tindak hukum dapat sangat toleran, atau dapat sangat keras dan kejam, yang dapat diarahkan pada seorang individu, kelompok atau sebuah komunitas, dan terakhir dapat membuat sebuah pertobatan (efek jera) bagi individu atau komunitas.

Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1998 dan tahun 2002 secara konsisten menunjukkan tidak ada korelasi efek jera dengan pidana mati. Di Amerika Serikat yang masih menerapkan vonis mati, angka kejahatan sadistis tidak menurun. Sebaliknya di Kanada, yang telah menghapus pidana mati, angka kejahatan serupa justru menyusut. Kanada adalah satu di antara 88 negara yang sudah menghapus pidana mati. Terdapat 30 negara yang masih mencantumkan pidana mati tapi menghentikan penerapannya. Ada pun Indonesia termasuk dalam 68 negara yang masih menerapkan jenis pidana mati.     

Benny Sabdo, peneliti Respublica Political Institute dan Pengajar Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Bagikan Artikel Ini
img-content
Benny Sabdo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Memperkuat Peran Bawaslu

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler