Politik Bahasa

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini bermaksud untuk mengupas tentang politik bahasa di balik pengajaran membaca "Ini Budi".

Jasa mendiang Siti Rahmani Rauf sebagai pencetus metode peraga membaca “Ini Budi” patut dikenang. Sebab dengan metode itu anak-anak di sekolah dapat belajar bahasa Indonesia dengan konstruksi dan rekonstruksi keluarga dan kemudian bangsa. Artinya, pengajaran itu bukan sekadar menghafal kalimat-kalimat tentang seorang anak lelaki bernama ”Budi” yang bermakna “akal”, “pikiran, atau “pemikiran yang benar”, tetapi juga mengenalkan bagaimana bangunan keluarga yang dibentuk dalam ruang kelas bersama ibu, ayah dan saudara-saudaranya.
 
Itulah pengamatan mendalam yang dikerjakan Saya Sasaki Shirashi dan dipaparkan dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (KPG, 2001). Jadi, pengajaran yang sejak zaman Sukarno dilandaskan pada bangunan keluarga telah memberi pengetahuan yang berimplikasi, bukan hanya secara linguistik tetapi juga secara politik, dengan relasi-relasi kuasa dalam keluarga dan dunia di sekelilingnya. Hal itu ditunjukkan melalui studi perbandingan antara zaman kolonial dengan era Orde Baru.
 
Di zaman kolonial desa dan keluarga ditampilkan sebagai tempat kebodohan. Maka di dalam kelas anak-anak selalu diajarkan untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan mereka dididik dan dibimbing sebagaimana layaknya ”pribumi” yang masih jauh dari peradaban. Tetapi di era Orde Baru pengajarannya justru dikembalikan pada keluarga dan jaringan perluasannya yang dari hubungan-hubungannya menciptakan suatu bangsa. Dengan konstruksi seperti itu, pendidikan Orde Baru selalu menghindar dari kejutan-kejutan yang disebabkan oleh hal dan masalah yang tak dapat dikenali. Masuk akal jika nilai-nilai harmoni selalu dijaga dengan ketat agar tidak terulang kisah yang mengguncang seperti Adam yang telah dibujuk ular untuk memakan buah khuldi.
 
Menarik bahwa konsep tentang keluarga di Indonesia dibangun melalui buku pelajaran di sekolah. Pelajaran ”Ini Budi” adalah bentuk dari bangunan keluarga yang di era Orde Baru dimanfaatkan untuk menjalankan kekuasaan di bawah kontrol ”bapak”. Model kekuasaan ini sesungguhnya pernah dijalankan oleh Ki Hajar Dewantara dalam gerakan pendidikan nasional Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1920. Inilah bentuk organisasi atau lembaga pertama yang menggunakan sistem kekeluargaan atau famili-isme sebagai dasar pengelolaan manajerialnya. Tetapi unsur yang ditonjolkan bukanlah figur kebapakannya, melainkan seorang ”kakak” terhadap ”adiknya” yang rela berkorban dan memikul tugas dan tangggjawabnya. Sedangkan peran bapak, sebagaimana dirumuskan Ki Hajar Dewantara, adalah Ing ngarsa sung tuladha (di depan menjadi contoh yang baik), Ing madya mangun karsa (di tengah menjadi pendorong dan pemberi semangat), Tut wuri handayani (di belakang, membimbing dengan memberi kebebasan dan inisiatif).
 
Di masa Orde Baru bapak ditempatkan sebagai pusat yang ditopang oleh anak-buah yang membutuhkan perlindungan dari bapak. Tak heran bapak bisa menjadi sangat kejam dan sewenang-wenang, tetapi juga dapat tampil sebagai sosok yang murah hati dan toleran. Maka selama Orde Baru berkuasa, tak ada yang berani menentang bapak, namun sebaliknya memperbolehkan bapak bilang, begitulah! Kenyataan politik yang terinspirasi dari pelajaran ”Ini Budi” di atas telah menjadi bahasa pengantar yang membawa masyarakat Indonesia pada kekosongan yang mengerikan. Supersemar contohnya, adalah buah dari pelajaran berbahasa yang pada intinya tanpa makna. Artinya, surat yang diyakini mengandung kesaktian itu sesungguhnya hanyalah untuk menutupi kenyataan berdarah yang melahirkan Orde Baru.
 
Tentu bukan semata-mata salah pelajarannya jika bahasa politik yang dihasilkan justru menghalalkan kekerasan. Tetapi, juga lantaran politik bahasa yang diberlakukan melarang untuk berbahasa di luar bahasa resmi. Dengan kata lain, pendidikan di era Orde Baru telah menciptakan ruang-ruang kelas yang tertib dan teratur berdasarkan daftar nama dengan bahasa (Indonesia) yang resmi. Itulah mengapa suara lain di luar bahasa resmi itu yang sering disebut suara gaduh atau celoteh bebek selalu diabaikan. Suara kolektif yang biasanya terdengar keras itu tidak didiamkan, tetapi juga tidak dianggap.
 
Pelajaran bahasa ”Ini Budi” memang merupakan warisan orde baru yang, sadar atau tidak, telah menciptakan pendidikan yang membatasi. Batasnya adalah pemisahan antara suara resmi dengan suara gaduh yang tak terduga. Maka bukan kebetulan jika seorang dosen yang pernah melakukan riset di sebuah kota kecil di Sumatera Utara ketika memperkenalkan diri di hadapan warga di sana dengan nama Budi, kontan disambut dengan reaksi yang menggelikan. Sebab baru pertama kali itu mereka dapat berjumpa dan bertatap muka dengan sosok ”Budi” yang diajarkan di sekolah dalam pelajaran bahasa Indonesia. Itulah sesungguhnya momen penting saat batas yang memisahkan sekolah dengan dunia hidup sehari-hari dilanggar. Hanya sempat menimbulkan kegaduhan, namun sama sekali tidak menghasilkan kekacauan. Apakah momen seperti ini dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk mematahkan pewarisan bahasa Orde Baru di luar ”Ini Budi”?
 
A. Windarto
Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
A. Windarto

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Yang Tidak Biasa

Selasa, 9 Agustus 2022 15:56 WIB
img-content

Impian Arimbi

Jumat, 19 November 2021 06:25 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler