x

Sejumlah hakim mengikuti Pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Ruang Prof. Mr. Kusumah Atmadja, Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 24 maret 2016. Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

Agung Hendarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Permasalahan Agung Mahkamah Agung

Permasalah muncul setelah sistem satu atap diberlakukan, dari belum tersedianya sistem organisasi, administrasi dan finansial yang mumpuni.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya, sejak tahun 1999 Indonesia telah memberlakukan sistem kekuasaan kehakiman menjadi sistem satu atap atau sering disebut one roof system. Pengertian sistem satu atap adalah suatu sistem kekuasaan kehakiman di mana kewenangan teknis yudisial dan kewenangan organisasi, administrasi, serta finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA). Pada tahun yang sama status kepegawaian hakim di semua tingkatan badan peradilan berubah statusnya dari status pegawai negeri sipil (PNS) menjadi pejabat Negara.  Penyatuan badan peradilan dalam satu atap dan perubahan status hakim dimaksudkan untuk menciptakan badan peradilan yang mandiri dan terlepas dari campur tangan pemerintah (eksekutif) sehingga badan peradilan sebagai lembaga yudikatif dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian realisasi pengalihan kewenangan organisasi, administrasi, dan finansial dari pemerintah ke MA baru dilakukan pada tahun 2004.

Sejak penyatuan atap, MA memiliki tanggung jawab yang sangat besar, di mana sebelumnya hanya mengelola teknis yudisial (memeriksa, mengadili, dan memutus perkara) dan administrasi di tingkat MA, setelah satu atap maka MA harus mengelola teknis yudisial dan organisasi, administrasi, serta finansial di MA dan Badan Peradilan di bawahnya. Sejak saat itu, MA menjadi salah satu lembaga Negara terbesar di antara lembaga Negara yang lain. Mahkamah Agung memiliki kantor hampir di setiap provinsi di Indonesia, yaitu kantor pengadilan tingkat banding serta kantor di hampir setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia, yaitu kantor pengadilan tingkat pertama. Jumlah satuan kerjanya hampir 800 kantor. Sementara dari sisi sumber daya manusia (SDM) juga mengalami penambahan yang sangat besar. Sebelumnya hanya terdiri dari hakim agung, panitera MA, dan pegawai sekretariat MA, tetapi sejak diberlakukan satu atap maka jumlah SDM yang dikelola MA bertambah menjadi hakim, panitera, dan pegawai sekretariat MA serta hakim, panitera, dan sekretariat di pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia. Jumlah total SDM MA menjadi lebih dari 33.000 orang.

Permasalah pertama yang muncul setelah menganut sistem satu atap adalah belum tersedianya sistem organisasi, administrasi dan finansial yang dapat mengintegrasikan sistem di MA dan empat badan peradilan. Solusi yang dilakukan MA ternyata hanya bersifat menggabungkan organisasi yang ada di MA dan badan peradilan, bukan membangun sistem organisasi yang terintegrasi dan komprehensif sebagai konsekuensi diterapkannya sistem satu atap. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan lain dari pemberlakuan sistem satu atap, yaitu supaya pengelolaan badan peradilan dapat lebih efisien dan efektif. Akibatnya, penggabungan MA dan empat badan peradilan menimbulkan membengkaknya organisasi dan berlakunya banyak sistem yang menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan fungsi kerja serta keruwetan pengelolaan MA.

Permasalah kedua adalah terkait status hakim yang sebelumnya berstatus PNS berubah menjadi Pejabat Negara. Perubahan ini tentu saja memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan SDM hakim. Pengelolaan SDM hakim tidak lagi bisa disamakan dengan pengelolaan SDM PNS. Mahkamah Agung membutuhkan sistem pengelolaan SDM hakim yang dapat menciptakan hakim-hakim yang baik demi terciptanya sistem peradilan yang baik. Mengutip kata-kata mantan Menteri Kehakiman Belanda Odette Buitendam bahwa good judges are not born but made, yang dapat diartikan bahwa hakim yang baik tidak lahir dengan sendirinya tetapi harus dibentuk melalui rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Kriteria hakim yang baik itu sendiri adalah hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Sedangkan profesionalisme hakim dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain; penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridis, kemahiran yuridis, kesadaran serta komitmen professional. Hal ini sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region dengan tiga pilar profesionalisme hakim yakni kecakapan, kejujuran dan kemerdekaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perubahan status hakim menjadi pejabat Negara belum diikuti dengan perubahan aturan dan kebijakan yang menyangkut pengelolaan SDM hakim. Peraturan perundang-undangan yang perlu disesuaikan cakupannya sangat luas dan menyangkut semua aspek pengelolaan SDM; mulai dari rekrutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, pola pengembangan karir termasuk di dalamnya sistem promosi dan mutasi, membangun manajemen kinerja, membangun mekanisme reward and punishment.  Hal penting lain terkait SDM hakim adalah membangun sistem pengawasan dan penegakan kode etik hakim. Namun sampai saat ini pengelolaan SDM hakim dan pegawai MA masih mengikuti sistem pengelolaan PNS dan MA belum cukup berusaha untuk melakukan pembenahan..

Permasalahan organisasi dan pengelolaan SDM di atas tentu saja berakibat pada kinerja hakim. Saat ini kinerja hakim pada seluruh badan peradilan sangat memprihatinkan. Hal itu dapat ditunjukkan oleh peningkatan pengaduan dari waktu ke waktu terhadap kinerja hakim yang diterima Komisi Yudisial (KY). Pada tahun 2010 Komisi Yudisial menerima 862 pengaduan, 1.377 pengaduan tahun 2011,  1.638 pengaduan tahun 2012, 2.193 pengaduan tahun 2013 dan 1.693 pengaduan pada tahun 2014. Kasus yang mendominasi pengaduan ke KY pada tahun 2009 sampai dengan 2012 adalah kasus suap, sedangkan pada tahun 2013 sampai dengan 2014 adalah kasus perselingkuhan. Permasalahan pengadilan juga terjadi terkait putusan, di mana terdapat banyak putusan pengadilan yang dibatalkan oleh pengadilan lebih tinggi atau diputus bebas pada tahap Peninjauan Kembali (PK). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan kualitas putusan hakim di MA dan badan peradilan.

Sedangkan pengaduan yang diterima oleh Badan Pengawasan MA (Bawas) pada tahun 2011 adalah 6.464 pengaduan, tahun 2012 menerima 4.752 pengaduan, dan tahun 2013 menerima 4.518 pengaduan. Dari pengaduan yang diterima Bawas lebih dari 60% pengawai badan peradilan yang mendapatkan hukuman adalah hakim. Peningkatan pelanggaran yang dilakukan hakim dan peningkatan sanksi bagi hakim menunjukkan bahwa kinerja hakim di Indonesia perlu dibenahi.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa terdapat dua permasalahan agung (besar) dan mendasar yang dihadapi MA saat ini, yaitu terkait organisasi dan pengelolaan SDM. Permasalahan organisasi menyangkut belum terintegrasinya sistem dan prosedur MA dan empat badan peradilan di bawahnya. Sedangkan permasalahan pengelolaan SDM terkait belum terbangunnya sistem pengelolaan SDM hakim dan pegawai yang mandiri. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menimpa pejabat MA, Panitera Pengadilan Negeri di Jakarta, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, dan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu serta aparat pengadilan lainnya yang terjadi belum lama ini, merupakan salah satu bukti masih terdapat celah bagi mafia peradilan untuk menjalankan kebiasannya. Hal itu masih dan akan mungkin banyak terjadi apabila MA tidak segera memperbaiki sistem pengawasannya serta melakukan pembenahan secara mendasar pada dua permasalahan mendasar di atas.

 

Jakarta, 25 Mei 2016

Penulis,

 

AGUNG HENDARTO

Peneliti

Ikuti tulisan menarik Agung Hendarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler