x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Martir (kampung) Kota dan Relasi Kuasa

Kampung Kota sebagai manifestasi akumulasi beragam sumberdaya, seperti modal, sosial dan etnis terus mengalami konstruksi-dekonstruksi dalam pembangunan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kampung Kolase (Foto oleh Frans Prasetyo-2015)

Kota merupakan akumulasi modal ekonomi, modal sosial, budaya dan perjuangan (kelas) manusia. Menurut Aristoteles, kota adalah “politik yang dibangun” : disana terdapat interaksi yang kuat antara bentuk dan nilai-nilai politiknya yang mendominasi penyelenggaraannya. Politik yang dibangun untuk akumulasi-akumulasi tersebut. Pembangunan perkotaan semakin kuat, semakin bersaing dan semakin meningkatkan kerjasama yang didorong oleh roda-roda pembangunan kota itu sendiri. Pembangunan ini harus dimenangkan sebagai perjuanganuntuk mewujudkan kota menjadi lebih menarik bagi masyarakat dan modal.

Pertumbuhan ekonomi, relasi produksi-konsumsi dan kebebasan sebagai alasan yang mendasari sebagian besar masalah dilingkungan perkotaan, namun meskipun demikian, hal tersebut merupakan titik sentral etos politik dari pasar dan demokrasi yang terserap. Hal ini didukung oleh akselerasi desentralisasi dan investasi perkotaan melalui  paket-paket kebijakan pembangunan. Menyeimbangkan kebijakan dalam implementasi perkotaan dan ordonansi “top-down” dan prakarsa “buttom-up”  menjadi pijakan penting dalam pembangunan (lingkungan) perkotaan. Tetapi aras ini mengalami jalan terjal bahkan kegagalan singkronisasi dan mutualisme dari kemajuan perkotaan yang diharapkan bahkan cenderung menciptakan segregasi tajam dari pembangunan itu sendiri. Salah satunya menciptakan apa yang disebut sebagai sisi gelap dari pembangunan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika kemajuan perkotaan sangat pesat sekalipun secara geografis dan sosial tidak seimbang telah tampak dalam masalah-masalah yang timbul di perkotaan diseluruh  Indonesia dan dunia, termasuk yang terjadi di Jakarta dan Bandung. Identifikasi beragam agenda, prioritas dan solusi yang bersaing yang bergerak kearah legitimasi politik dan kekuasaan politik.  Agenda yang bersaing, kepentingan yang berkompetisi, ketegangan politik memberikan stimulus dalam silang sengkarutnya atmosfer (pembangunan dan pengelolaan) perkotaan yang tentu saja menyediakan martir kota, salah satunya yaitu kampung-kampung kota. (Penghilangan) Kampung kolase sebagai martir di kota Bandung dan Kampung Pulo dan Pasar Ikan di Jakarta merupakan contoh nyata, bagaimana kuasa kota dimenangkan dalam upaya mewujudkan kota menjadi lebih menarik bagi masyarakat kelas lainnya, penilaian-penilaian tertentu berdasarkan standarisasi indeks-indeks perkotaan, agenda-agenda pembangunan kota serta penetrasi modal (perkotaan) yang telah atau akan bekerja. Tukar guling Kampung Kolase dengan pembangunan ampliteater termasuk bagian dari rencana pembangunan taman kota dan ruang terbuka hijau, termasuk tukar guling kampung-kampung di Gedebage dan lahan produktif pertanian menjadi kawasan Teknopolis dan pemukiman elit. Hal yang sama terjadi di Kampung Pulo, Pasar Ikan dan BukitDuri dijakarta untuk dijadikan lahan-lahan hijau, yang sebenarnya akan menjadi lahan ekonomi tinggi dimasa depan untuk kelancaran pembangunan dan arus modal, karena kalau hanya berupa kampung, itu tidak berharga. 

Kampungkota akan selalu diasosiasikan dalam bentuk perkampungan kumuh legal (slums) dan perkampungan kumuh illegal (squatters). Keduanya tetap saja memiliki kepincangan dalam sudut pandang (pembangunan) kota. Sebagai slums, kampungkota dianggap sebagai infrastruktur hunian tidak layak karena faktor kebersihan dan kesehatan lingkungan yang disertai dengan terbatasnya akses air bersih dan sanitasi. Sedangkan sebagai squatters kampung kota akan dianggap sebagai pemukiman illegal yang berdiri diatas lahan-lahan legal sehingga merupakan pelanggaran dalam sudut pandang hukum. Kepincangan ini yang coba dimanfaatkan untuk mendorong akselerasi pembangunan untuk mendapatkan image kemajuan kota. Peran pemerintah (kota) melalui paket-paket kerja pembangunan kota akan berupaya menyelesaikan kampung-kampung kota ini dengan atau tanpa penggusuran.

Kampung-kampung kota ini sebagai salah satu bagian dari rona kepadatan perkotaan coba untuk diuraikan atau diselesaikanmelalui inovasi pembangunan menuju kota dan masyarakat berkelanjutan. Proses penyelesaian atau penguraiannya salah satunya melalui proses relokasi. Proses relokasi ini bisa terjadi beragam cara dan beragam tempat, salah satunya adalah relokasi ke rumah susun dengan atau tanpa penggusuran dan paksaan. Skema relokasi, menurut sudut pandang pembangunan kota diasosiasikan sebagai proses akan menuju ke tempat atau situasi legal serta lebih baik dalam segi infrastruktur hunian dan akses.  Namun proses relokasi ini bukan tanpa masalah, karena terkesan mencabut hak (warga) kota  walaupun hanya sekedar kampung kota. Terdapat akumulasi modal lainnya yang dimiliki masyarakat kampungkota yang hilang secara historis dan kultural. Maka, sebagai slums ataupun squatters, kampung-kampung kota sangat rentan untuk ‘hilangkan’ sebagai martir (pembangunan) kota. Kampung Kolase di Bandung telah mengalaminya dan telah hilang dalam peta kota, bahwa pernah ada kampung dan kehidupan disana. Kampung-kampung kota lainnya dan wilayah slums ataupun squatters lainnya yang berada di kota, yang tidak 'sedap' dipandang mata kekuasaan dan menjadi kerikil roda pembangunan kota.  Maka, siap-siap saja akan segera hilang dalam peta kota, sama dengan hilangnya sebagian peradaban kota untuk membentuk peradaban lainnya sesuai dengan logika kekuasaan dan kapital. 

 

Frans Ari Prasetyo

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler