x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemal Idris, Jenderal yang Mengarahkan Meriam ke Istana

Nasib jenderal yang idealis ini disisihkan dari peranan dalam kekuasaan pemerintahan Soeharto dengan cara-cara yang tidak elegan. Inilah kisahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat kelompok perwira Angkatan Darat berkonfrontasi dengan Presiden Soekarno, seorang perwira muda 29 tahun mengarahkan moncong meriam tanknya ke istana. Perwira muda itu belakangan dikenal bernama Kemal Idris, berpangkat letnan kolonel.

Kejadian yang berlangsung tanggal 17 Oktober 1952 itu terjadi sewaktu rakyat berdemonstrasi di Istana Presiden, Jakarta, menuntut pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru, serta agar segera dilaksanakan pemilihan umum.

Akan tetapi, pemicu utama peristiwa itu sesungguhnya terjadi karena terlalu jauhnya campur tangan politisi terhadap masalah intern militer saat itu (Angkatan Perang Republik Indonesia). Sehingga Markas Besar Angkatan Darat di bawah Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman berinisiatif melancarkan demonstrasi tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pelaksanaan demonstrasi diorganisir oleh Kolonel dr. Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Letnan Kolonel Kemal Idris Komandan Garnisun Jakarta.  

Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pimpinan AD dan rakyat yang bergerak kantor parlemen (waktu itu masih di Lapangan Banteng Timur) dan kemudian ke Istana Presiden, mendesak presiden agar membubarkan parlemen.

Presiden menolak tuntutan pembubaran Parlemen dengan alasan ia tidak mau menjadi diktator. Saat itulah Letkol Kemal Idris dengan pasukan tanknya mengarahkan moncong meriamnya ke istana.

Peristiwa itu akhirnya dapat diselesaikan dalam Rapat Collegial (Raco) yang diselenggarakan 25 Februari 1955 di kemudian hari. Rapat pun akhirnya melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29 perwira senior Angkatan Darat.

Pada tanggal 11 Maret 1966, sekali lagi Kemal Idris berada dalam pusat pusaran sejarah. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet. Presiden Soekarno was-was mengenai faktor keamanannya.

Soekarno berkali-kali memastikan jaminan keamanan kepada Panglima Kodam Jaya Amirmahmud. Panglima pun menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya ‘pasukan yang tak dikenal’ berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung.

Brigjen Saboer meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab hanya melalui gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat tak terjadi ada apa-apa. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud, Saboer akhirnya menyampaikan langsung memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan kepemimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Dengan menggunakan helikopter, Soekarno dan Soebandrio meninggalkan Jakarta menuju Istana Bogor.

Kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ yang dikerahkan Brigjen Kemal Idris itu, telah menimbulkan kejutan terhadap Soekarno yang pada akhirnya berbuah lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto. Dengan surat itulah, keesokan harinya Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya.

Amirmahmud sendiri saat itu mungkin tak mengetahui mengenai kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ itu. Pasukan yang bergerak di bawah komando Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris ini telah membuat panik Presiden Soekarno dan sejumlah menterinya dan menjadi awal dari ‘drama’ politik lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Siapa Kemal Idris?

Soeharto tidak sendiri ketika menggulingkan rezim Nasakom Soekarno. Ada sederet jenderal dan perwira yang berperan menentukan proses perubahan negara di masa transisi kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai idealisme bahwa kekuasaan baru yang akan ditegakkan menggantikan orde lama adalah sebuah kekuasaan demokratis.

Paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah tiga jenderal, yakni Sarwo Edhie Wibowo, Hartono Rekso Dharsono dan Achmad Kemal Idris, yang ketiganya di akhir karir mereka ‘hanya’ mencapai pangkat tertinggi sebagai Letnan Jenderal.

Idealisme dan kepopuleran tiga jenderal ini di kemudian hari juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali.

Rabu, 28 Juli 2010 pukul 03.30 dinihari, Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Kepergian Letnan Jenderal Kemal Idris ini menjadi kepergian terakhir yang melengkapi kepergian tiga jenderal idealis perjuangan 1966. Ketiganya pergi dengan kekecewaan mendalam terhadap Jenderal Soeharto.

Sebelum meninggal dunia, Seperti nasib Letnan Jenderal HR Dharsono yang sempat dipenjarakan beberapa tahun oleh Soeharto dan Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Kemal Idris berkali-kali disisihkan dari peranan-peranan dalam kekuasaan dan pemerintahan oleh Soeharto dengan cara-cara yang tidak elegan dan mengecewakan.

Kemal Idris bersama kelompok Petisi 50-nya pernah ‘mengarahkan moncong meriamnya’ kepada Presiden Soeharto. Petisi itu berisi keprihatinan mereka atas pidato Soeharto di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha (sekarang Kopassus) di Cijantung pada tanggal 16 April 1980.

Dua pidato itu dinilai kelompok Petisi 50 telah "membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya."

Kini Sang Jenderal yang selalu mengarahkan moncong meriamnya pada kekuasaan yang dianggap tidak amanah itu telah pergi. Selamat jalan, Jenderal....

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler