x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Abad XXV (7)

Di Indonesia abad xxv, lembaga keluarga bukan hanya pernikahan versi dogma purba. LGBT bisa membangun jalan hidup berkeluarga sendiri sesuai nurani ybs.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: m.tempo.com)

 

Petugas Dinas Perkawinan  Kota telah ikrar. Ia akan menyukseskan upacara pernikahan Kotir dengan Ikem. Dalam pada itu, masih banyak urusan yang harus dibereskan  calon pengantin baru. Waktu jalan terus. Tak bisa mundur. Mereka hanya punya maksimal 24 jam untuk berbuat ini dan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Begitu urusan di kantor Dinas Perkawinan usai, Kotir menghubungi Ikem. Dengan telpon genggam. Tevepon masih digunakan Halo ayahnya, berbincang dengan sang paman, Holi. Kotir elus-elus telpon genggam.

 

 

“Halo?” Ikem menyahut.

 

“Ini saya.”

 

“Aduh, syukurlah. Sejak tadi saya hubungi, Kotir. Tevepon sibuk terus.”

 

“Ayah dan paman  sibuk. Mereka ngobrol soal-soal alam abadi.”

 

Ikem tertawa. Kotir tersenyum. Setelah reda tawanya, Ikem lalu menceritakan beberapa urusan yang telah beres. “Saya juga  beritahukan hal ini pada ayahmu. Rasanya tak enak jika tidak cerita padamu. Bagaimana hal-hal yang kau urus?”

 

“Semua lancar,”  sahut Kotir. Lalu  ia ceritakan semua yang ia alami. Tiba-tiba ia bertanya:  “Bagaimana dengan upacara keagamaan?”

 

“Lancar. Saya sudah menghubungi Hyang Ibu dan Hyang Bapa. Nantinya Hyang Ibu yang akan memimpin upacara ibadat.”

 

Kotir mengangguk-angguk. Hyang Ibu dan Hyang Bapa adalah pemimpin jemaah Hyang, salah satu faham hidup yang eksis di Indonesia zaman adil makmur. Sebagian Hyang  selibater. Sebagian menikah. Sebagian Hyang selibater hidup dalam komunitas-komunitas  biara dan sebagian hidup membaur dalam masyarakat biasa.  Kotir bertanya:  “Apa pesan Hyang Ibu?”

 

“Hyang Ibu akan menyesuaikan diri dengan situasi kita. Beliau berpesan, begitu upacara negara selesai, langsung bisa diteruskan dengan upacara agama. Beliau bersedia jam berapa saja.”

 

Kotir berdesah terharu  akan kesediaan tiada tara itu. Bagi kalangan Hyang di seluruh Indonesia, itu biasa saja. Setiap Hyang mempunyai jam kerja tak terbatas bebas merdeka. Dewan Kerukunan Nasional Semua Agama dan Faham Hidup tidak mau ikut campur. Kementerian Agama? Sejak akhir abad XXI di Indonesia sudah tidak pernah ada Kementerian Agama.

 

Yang jelas, setiap Hyang umumnya bekerja tanpa kenal waktu.  Ada yang 24 jam sehari-semalam. Itu mereka lakukan berdasarkan kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan pribadi  sendiri-sendiri. Hal tersebut sudah tertanam dalam dan sudah mendarah-daging dalam diri para Hyang. Hal itu menjadi salah satu mata kuliah terpenting di PTCH: Pendidikan Tertinggi untuk Calon Hyang.

 

“Para calon Hyang Ibu dan Hyang Bapa,” kata seorang Hyang Ibu senior, profesor  di PTCH  dalam mata kuliah Moralitas Kerja Alam  Raya,“sebagai Hyang Ibu dan Hyang Bapa, tugas kita adalah mengurusi hal ihwal perkara rohani. Kita di baris terdepan dalam perkara-perkara Tuhan. Padahal, kita tahu, mereka yang mengurus perkara jasmani saja, semisal para pegawai negeri, telah bekerja sepenuh jiwa raga demi kepentingan rakyat. Maka wajarlah, apabila kita bekerja lebih total dan lebih habis-habisan. Mari kita bersama memupuk  kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan sedemikian rupa, sehingga menjadi selalu bergairah melaksanakan tugas, di mana saja dan kapan saja. Jangan takut kecapaian karena bekerja. Yang capai hanya raga, tapi suksma kita  segar-bugar karenanya. Jangan terlalu dihantui  jam kerja. Jangan risau soal istirahat. Tidak sedikit orang malah mati, karena terlalu banyak beristirahat. Soal hidup-mati, soal sakit-sehat, serahkan bulat-bulat kepada keagungan Tuhan dan keajaiban semesta alam.”

 

Selanjutnya, kuliah Hyang Ibu senior, sang profesor Moralitas Kerja, adalah tentang 5W-1H kaum Hyang pada intisarinya. Dalam beberapa rangkaian kuliah para mahasiswi dan mahasiswa harus membuat laporan tertulis tentang apa yang dikuliahkan menurut versi masing-masing. Rata-rata mereka membuat ringkasan, renungan, tanggapan, hasil kontemplasi.

 

Berikut, contoh lima hasil kontemplasi  mahasiswi dan mahasiswa para calon Hyang, sebagai tanggapan atas kuliah sang profesor.

 

Pertama:  kita, calon-calon Hyang, calon pemuka dalam jemaah Hyang, jangan pernah lupa, telah merasa terpanggil dan terpilih untuk melangsungkan karya-karya Tuhan  di dunia nyata. Maka harus konsekuen. Ini terwujud kalau ungkapan hidup kita menunjukkan kehadiranNya, kalau perlu, melawan arus, tapi tetap di jalan Tuhan, tidak menimbulkan huru-hara, tidak meneror, tidak memaksa, tidak sok benar sendiri. Itu bisa terjadi, intinya, karena berdasar akalbudi yang sehat.

 

Kedua: ujung dari jalan hidup kita sebagai Hyang, adalah mendatangkan rasa tentram dan damai sekitar kita di manapun kita berada. Namun kita juga harus mampu menunjukkan, segala sesuatu yang tidak mungkin menurut perhitungan manusia, ternyata bisa menjadi mungkin. Harus mampu mengungkapkan, yang biasa-biasa saja di mata manusia, semisal cita-cita menjadi kaya dalam harta benda, menjadi tidak biasa bagi kita, sebab kita tidak memperhatikannya. Kita tidak antikekayaan tetapi menunjukkan bukti terdapat sisi lain dalam kehidupan yang tidak bisa dibeli dengan hartabenda.

 

Ketiga:  kita, para calon kalangan Hyang, adalah komunitas cintakasih yang menjunjung tinggi segala hal alamiah yang masuk akal. Dengan demikian, secara analog, secara mutatis mutandis,  semangat hidup miskin sebagai kenyataan alamiah yang tidak mustahil,  juga berlaku bagi hal-hal fitri alamiah dalam lembaga-lembaga keluarga. Hidup selibater, hanya salah satu dari banyak bentuk hidup berkeluarga. Hidup keluarga bukan hanya hidup pernikahan menurut dogma-dogma purba yang konyol. Kaum LGBT akan selalu bisa membangun  jalan hidup berkeluarga masing-masing, sesuai hati nurani kaum itu sendiri. Fanatisme hetero bertumpu maskulinisme patriarki gagal faham dan gagal nalar, berdasar azas-azas artifisial zaman pertengahan yang tidak masuk akal, tidak lagi mendapat tempat di negara kami, Indonesia adil makmur di abad XXV ini.

 

Keempat: kita, calon-calon kaum Hyang, sang komunitas cintakasih, akan selalu berusaha keras menunjukkan,  bekerja 24 jam sehari-semalam bukanlah hal luar biasa, sebab kita yakin, Tuhan, Sang Paring Gesang, selalu mendampingi kita. Jadi sebagai Hyang, baik Hyang Ibu atau Hyang Bapa, jalan hidup dan tugas kita adalah gampang-gampang sukar, berat ringan. Menggairahkan. Membahagiakan.

 

Kelima: kita, kelompok rohani kaum Hyang, adalah lingkaran pembelajar rohani selama hidup yang tidak pernah bimbang atau ragu. Yang bimbang, dimohon sekarang juga pulang ke tempat asal, mengambil keputusan mencari jalan lain. Jangan paksakan diri. Menjadi Hyang itu hanya salah satu dari sejuta jalan hidup lain. Semua jalan hidup sama mulia dan sama berharga. Yang pasti,  jalan hidup menjadi Hyang yang bakal kita tempuh, akan penuh kendala. Semua kendala itu, bagi yang mampu menghidupinya,  menjadi Taman Abadi di Bumi penuh daya juang. Berbahagialah yang mengerti. Bagi yang tidak mengerti hendaknya rendah hati tak segan bertanya tiada henti pada yang mengerti.”

 

Tentu saja Kotir tidak pernah mendengar kuliah semacam itu. Ia bukan mahasiswa PTCH.  Ia hanya menikmati hasilnya sekarang. Upacara nikahnya makin lancar. Berkat kesediaan sang Hyang Ibu menjalankan tugas di sembarang waktu.

 

“Halo? Halo! Kotir?” terdengar suara Ikem gelisah.

 

“Ya?”

 

“Kok lalu diam saja?”

 

“Oh, tidak apa-apa, Kem. Saya amat terharu sehingga terbungkam macam ini. Belum begitu mengerti betapa habis-habisan pengabdian kaum Hyang.”

 

Sejenak mereka terdiam.

 

“Kotir? Kotir?” ujar Ikem.

 

“Ya?”

 

“Besok malam, jam berapa upacara negaranya?”

 

“Sudah kubilang, jam tujuh!”

 

“Maksudku selesainya. Kita  mesti memberi tahu Hyang Ibu!” Ikem menjelaskan.

 

“Ah, tadi lupa nanya!” Kotir menepuk dahi sendiri. “Baik, segera kutanyakan!”

 

Kotir memutuskan hubungan telpon dengan Ikem dan menghubungi Kantor Perkawinan. Berulang kali Kotir jari-jari Kotir pencet-pencet nomer, tetapi setiap kali hanya terdengar sahutan suara robot: “Maaf. Harap bersabar. Petugas masih bekerja. Selamat malam.”

 

Robot tidak berbohong. Saat Kotir berusaha menghubungi, sang petugas Dinas Perkawinan lagi sibuk. Tadi, begitu Kotir menghilang di balik pintu ruang kerja, ia langsung meneruskan kerja, membereskan  urusan. Bagi pegawai negeri semacam dia, menunda pekerjaan dinilai kekanak-kanakan. Mereka yang suka menunda pekerjaan,  sebab ini masih dianggap cacat ringan, memang tidak dipecat. Oleh kepala bagiannya, kadang-kadang oleh rekan-rekan sekerja,  yang bersangkutan tiap hari akan diberi kembang-gula kesukaan anak-anak. Lama-lama malu juga. Yang bersangkutan segera bertobat menurut keyakinan agama dan faham hidup masing-masing dan tidak berani lagi menunda-nunda pekerjaan.

 

Begitulah. Si petugas, saat tadi Kotir meninggalkan gerbang Kantor Perkawinan, segera menghubungi pelbagai instansi lain. Dia memencet-mencet tevepon. Terjadilah hubungan antara Dinas Perkawinan dengan Dinas Kesejahteraan.

 

“Selamat sore. Ini Dinas Perkawinan Kota.”

 

“Halo, mas!” seru petugas Dinas Kesejahteraan Kota. Suaranya hangat bersahabat. “Selamat sore. Ada yang bisa dibantu?”

 

“Besok malam, jam tujuh, ada perkawinan.”

 

“Kodenya?”

 

“Calon pengantin pria: RK-3/SLTG/24300. Pasangannya: RI-3/KDS/24350.”

 

“Siap! Segera saya siapkan segala sesuatunya.”

 

“Trimakasih.”

 

Setelah memutuskan hubungan tevepon, petugas Dinas Perkawinan lalu pencet-pencet sebuah alat lain. Penuh tombol-tombol. Dinding di hadapan alat itu penuh  bola lampu aneka-macam bentuk dan warna. Saat itu ada tujuh buah bola lampu yang menyala. Ada tujuh instansi negara yang siap menampung data.

 

Sang petugas lega melihat nyala tujuh bola lampu. Dari bentuk dan warnanya, dia tahu Dinas Perumahan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Semua Agama dan Faham Hidup, Dinas Pendidikan, Dinas Kotapraja, Kepolisian, dan Dinas Tentara Kota siap menampung dan menindaklanjuti informasi. Di depan sebuah mike ia berkata: “Dinas Perkawinan. Laporan. Besok malam, jam tujuh, diselenggarakan perkawinan antara RK-3/SLTG/24300 dengan RI-3/KDS/24350.  Mohon bisa dipergunakan menurut kepentingan masing-masing instansi.”

 

Dan begitulah. Dengan sekali gerak kerja, perihal perkawinan Kotir dengan Ikem segera tercatat pada tujuh instansi negara. Bersama Dinas Kesejahteraan Kota, menjadi delapan. Semua lalu sibuk. Setiap instansi masih akan meneruskan ke pelbagai instansi lain yang dianggap memerlukan informasi tersbut. Jadi perihal perkawinan Kotir dengan Ikem, malam itu juga datanya sudah bisa ditelusuri di semua lembaga pemerintahan di seluruh Indonesia.

 

Juga begitulah. Di samping meneruskan informasi, setiap instansi juga mulai sibuk mengurus hal-hal mendesak. Dinas Kesejahteraan mempersiapkan uang tunjangan yang berhak diterima pengantin. Dinas Perumahan sibuk meneliti rumah-rumah kosong yang bisa ditempati mereka. Dinas Kotapraja menyiapkan selembar Kartu Keluarga baru bagi calon keluarga baru tersebut. Dinas Tenaga Kerja menjajaki kemungkinan pekerjaan yang bisa ditawarkan. Instansi-instansi yang lain sibuk dengan urusan-urusan yang lain. Singkat kata,  semua instansi berlomba-lomba untuk membahagiakan sang pasangan pengantin baru.  

 

*******

*******

 

Pasrah tetap dengan dasar rencana membuahkan hasil bagus. Itu berlaku bagi Kotir dan Ikem. Semua jalan lancar. Upacara nikah cara negara lancar. Upacara keagamaan lancar. Resepsi lancar dan bahkan meriah. Dalam tinjauan prestasi, perkawinan Kotir dengan Ikem boleh disebut sukses.

 

Para tamu berdatangan. Jarang yang memakai jas sebab kebanyakan yang datang kaum terpelajar, rata-rata berbusana tradisional. Semua tampak  bahagia. Yang membawa kado bergairah. Yang tidak membawa kado juga merasa oke saja. Di jaman Indonesia adil makmur, orang tidak merasa punya kewajiban moril bawa kado dalam undangan apa saja. Para pembuat gosip karena tamu tidak membawa kado, bisa celaka. Dengan teknologi supramodern, seluruh udara Indonesia diatur begitu rupa, mengakibatkan reaksi kimiawi antara udara dengan mulut-mulut pembuat gosip, jadi gatal-gatal tak terperikan atau mulut menjadi miring. Itulah sebabnya di Indonesia tidak pernah dijumpai gosip perkara kado.

 

“Selamat ya Kotir?”

 

“Selamat Ikem!”

 

“Selamat, selamat, selamat!”

 

Tamu-tamu bergiliran antri memberi ucapan selamat dengan segala macam cara mirip bhinneka tunggal ika. Cium-mencium pipi, salam-salaman berjabat tangan, peluk memeluk, saling menunjukkan tangkupan tangan di depan wajah, saling tempelkan hidung, dan masih banyak cara lagi. Pendeknya komplit.

 

Resepsi perkawinan  meriah. Ramai, penuh gelak-tawa, tertib. Lebih semarak lagi, dengan acara hiburan seni, menampilkan sejumlah penyanyi terkenal yang merasa diri tidak terkenal. Suara mereka merdu sekali. Sebagian mampu menirukan kicau semua jenis burung. Mereka nyanyi dan lenggak-lenggok dengan kepekaan artistik tingkat tinggi. Seluruh penampilan mereka di panggung menyedapkan mata dan membuat semua hadirin bahagia. Maklumlah. Artis-artis Indonesia di zaman Indonesia adil makmur semuanya terpelajar dan sebagian besar lulusan pendidikan tinggi kesenian. Mereka menghayati seni lahir batin. Itu membuat tingkah laku para artis, bukan saja di panggung melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari,

selalu sedap dan indah dipandang mirip warna-warni pelangi di angkasa biru. Selaras dengan kesenian Indonesia yang bermartabat peradaban Indonesia.

 

Itu membuat resepsi pernikahan Kotir - Ikem berwatak Indonesia tulen, bertumpu pada azas-azas luhur kepribadian bangsa. Begitu pula para tamu undangan. Mereka dewasa memahami arti undangan. Tanpa pura-pura, mereka memang berhasrat ambil-bagian dalam kebahagiaan sang pengundang. Sebab sang pengantin bersama keluarganya berbahagia, para tamu ikut bahagia lahir batin. Mereka menyadari benar fungsi  sebagai tamu yang diundang: bebas, hadir karena kemauan sendiri, serta dikuasai gairah untuk menunjukkan simpati tulus murni. Maklumlah. Saat itu orang tidak akan hadir jika suatu undangan terasa menyiksa. Jadi setiap tamu adalah tamu sejati, sama luar dan dalamnya.

 

Begitulah adanya. Tamu-tamu itu dengan polos dan los canda-ria. Hati mereka puas menikmati kebahagiaan sang pengantin. Perut mereka juga puas berkat sapi bakar, kambing guling, lidah kalkun goreng, dan segala macam makanan dari laut. Kue-kue aneka jenis yang menggoyangkan lidah tidak henti mengalir memenuhi meja pesta yang dihiasi warna-warni kembang. Minum-minuman botol paling top yang biasanya dihidangkan dalam perjamuan antar pemimpin negara, wedang kecap jahe, tidak henti diedarkan oleh para petugas yang cantik dan tampan.

 

Resepsi sampai jauh malam. Gegap gempita, pesta-pora, anehnya, tidak melukai perasaan masyarakat . Bila keesokan harinya perihal perkawinan itu dimuat di nyaris semua jenis media, masyarakat menerimanya sebagai hal wajar. Tidak ada yang menggugat atau kecewa. Tak ada yang berteka-teki. Tak ada yang bertanya, misalnya, dari mana asal duit yang dipergunakan untuk pesta pora itu?  Di mata masyarakat, segala terang-benderang. Halo kaya-raya. Uangnya yang bertumpuk-tumpuk diperoleh secara halal. Jadi apa salahnya jika ia merayakan perkawinan anak tunggalnya itu dengan cara yang gemerlapan? Memang tidak ada salahnya. Juga tidak ada orang menyalahkan. Bahkan sebaliknya, masyarakat menaruh simpati pada pesta pora yang meriah itu.

 

Bagaimana tidak?

 

Halo bukan saja terkenal karena kaya raya. Ia populer, karena justru dengan kekayaannya  ia sangat patriotik, patriotiknya pedagang. Ia  membayar pajak melebihi jumlah yang ditentukan. Tokonya semakin besar, meringankan tugas Kementerian Tenaga Kerja, semakin banyak tenaga kerja terserap ke tokonya. Singkat kata, Halo adalah manusia dengan reputasi baik. Kini dengan pesta perkawinan yang meriah itu, reputasi baiknya meningkat setingkat.  Ia lalu dikenal sebagai orangtua pemurah dan tidak kikir.  Dampak perkawinan serba mewah itu serba positip. Membuat publik luas bergembira belaka.

 

Lebih bergembira ria adalah karyawan-karyawan toko Halo. Untuk menghormati perkawinan anaknya, Halo meliburkan tokonya. Tiga hari. Semua karyawan dapat ganti rugi. Tiga hari kerja itu dihargai sepuluh hari kerja. Ini bukan hal luar biasa. Untuk kesejahteraan karyawan, Halo selalu royal. Dia sudah tua dan selalu berpikir harta-bendanya tidak akan dibawa ke liang kubur. Jadi, mumpung masih hidup, Halo berpikir  tidak ada salahnya sebagian kekayaannya bisa dipergunakan untuk memanjakan para karyawan.

 

Tanpa karyawan, aku adalah debu, gampang tertiup angin lalu!

 

Begitulah tulis Halo dalam puisinya. Puisi satu kalimat tersebut, adalah satu-satunya puisi yang berhasil ia tulis sampai akhir hayatnya kelak.

 

Keroyalan Halo berbuat amal, juga karena persoalan warisan yang sudah menemui jalan buntu. Pikiran mewariskan kekayaan pada Kotir, sudah sirna. Anak tunggal itu, dengan cara mengejutkan dan tiba-tiba, ternyata bakal memenuhi harapannya. Kotir bertekad akan menjadi abdi negara mengikuti jejak sang paman. Dengan cita-cita itu, Kotir melepaskan hak warisannya. Kotir menyatakan maksudnya itu, tadi pagi, sebelum dia berangkat berbulan madu dengan istrinya.

 

“Jadi, sebagai pegawai negeri nanti,”  ujar Halo ternganga-nganga penuh kekaguman, “kamu tidak boleh menerima warisan?”

 

“Betul, pak!” sahut Kotir sambil menutup kopor yang akan dibawanya ke tempat bulan madu di kota kecil pinggir pantai yang berhawa hangat-hangat sejuk itu.

 

“Aneh juga ya?” Halo bergumam, masih kurang mengerti.

 

“Bukan aneh! Justru harus begitu!”

 

“Kenapa?”

 

“Adanya warisan hanya akan membuat rancu prinsip pemerintah. Prinsip yang melarang pegawai negeri kaya. Mengenai apa alasannya, tentunya bapak sudah tahu. Paman Holi sudah berulang kali berbincang dengan bapak mengenai hal itu.”

 

Kotir terdiam sejenak. Tiba-tiba timbul keinginannya untuk bersendau-gurau. Dia tersenyum nakal dan berkata. “Sekarang, mari pak, kita bermisal-misal! Misalnya saja, para pegawai negeri diijinkan kaya. Nah, apa  bakal terjadi?”

 

“Tentunya banyak pegawai negeri akan menjadi kaya.”

 

“Mengapa?” tanya Kotir seperti penguji. Lagi-lagi tersenyum nakal.

 

Setelah berpikir sejenak, Halo menyahut: “Sebab di mana-mana tersedia peluang dan kesempatan-kesempatannya.”

 

“Ternyata bapak sudah paham betul situasinya. Apa wujud peluang dan kesempatan itu?”

 

“Banyak!” Halo menyahut asal bunyi.

 

“Banyak itu apa?”

 

“Menguji ayahmu ya? ” Halo  mendongkol. Toh akhirnya dia menjawab juga:  “Peluang menjadi kaya memang banyak. Misalnya dengan menyalahgunakan kekuasaan, korupsi, dagang terselubung, menerima suap, kongkalikong dengan para cukong, menanda-tangani kwitansi palsu, memalsukan anggaran, bermain komisi, dan lain-lain.”

 

“Apa ada orang yang mau dituduh melakukan hal-hal terkutuk itu?”

 

‘Tidak ada, dong.”

 

“Lalu?”

 

“Lalu mereka yang menjadi kaya, antara lain akan mengaku-aku telah menerima warisan dari orangtuanya, paman, bibi, kakek, nenek, pakde, bude, sepupu, kakak ipar, mantan-mantan majikan, atau nenek moyangnya.”

 

“Artinya, mereka berbohong. Ini berbahaya. Bagaimana nasib sebuah negara yang mempunyai abdi-abdi negara pembohong? Bisa runyam. Jadi jelas pada gilirannya, kekayaan bisa menjadi biang-keladi kebohongan. Maka agar para abdi rakyat tetap bermental bersih, sikat dulu biang keladinya: kekayaan! Betul tidak?”

 

Kotir mengakhiri kata-katanya dengan mengangkat bahu, mengembangkan tangan, seperti pelawak. Halo terpingkal-pingkal. Hatinya bersorak gembira. Perihal larangan kaya di kalangan pegawai negeri,  semakin ia resapi dan pahami. Halo sudah rela serela-relanya,  biarlah kekayaannya tidak diwarisi anak tunggalnya. Dalam tempo dekat ia akan membuat surat wasiat. Kalau ia kelak mati, semua harta bendanya langsung menjadi milik negara. Mudah-mudahan bisa menjadi bagian kecil bantuan, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

 

Yak! Hati Halo melonjak gembira. Dengan kerelaannya, berarti dia membantu program negara dalam mempertahankan, membangun, dan terus menciptakan mental bersih di kalangan abdi rakyat.

 

(Bersambung)

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

 

*****

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB