x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Kita Sulit Swasembada?

Miskin, tua, dan memiliki kapabilitas yang rendah tentu sebuah kombinasi yang buruk. Sulit rasanya kita bakal merengkuh swasembada di tengah kondisi sebagi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita memiliki harga diri yang tinggi sebagai negara agraris. Karena itu, importasi komoditas pangan, terutama yang bisa dihasilkan oleh petani kita, merupakan sebuah aib dan cela.

Tengok saja komoditas beras. Pro dan kontra di berbagai media acapkali mewarnai debat publik terkait importasi komoditas ini. Sebagai sumber utama pemenuhan karbohidrat masyarakat Indonesia, boleh dibilang beras merupakan komoditas pangan paling strategis yang kerap membikin gaduh negeri ini.

Data statistik memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Itu artinya, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok dan sumber karbohidrat. Tidak mengherankan kalau ungkapan “bukan makan namanya, kalau tanpa nasi” acap kali kita dengar untuk menekankan pentingnya posisi beras dalam pola diet masyarakat Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Impor beras tidak hanya menyangkut harga diri sebagai bangsa agraris, tapi juga nasib belasan juta rumah tangga petani padi yang kepulan asap dapurnya sangat bergantung pada perkembangan harga gabah.

Jika impor beras dilakukan saat produksi padi petani kita melimpah, harga gabah bakal jatuh. Hasil panen padi pun bisa jadi tidak mampu menutupi biaya produksi. Kalaupun untung, keuntungan yang diperoleh kemungkinan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Karena itu, slogan swasembada beras merupakan harga mati dan selalu menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan swasembada beras juga tidak main-main. Triliunan rupiah telah digelontorkan pemerintah hanya untuk sekadar meningkatkan produksi padi nasional.

Sayangnya, meski pemerintah telah berupaya maksimal dengan mengalokasikan sumber daya yang tidak sedikit, swasembada beras masih jauh panggang dari api. Faktanya, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu impor beras nasional mencapai 0,86 juta ton. Tahun ini angkanya dipastikan lebih tinggi lagi. Betapa tidak, realisasi impor beras sepanjang Januari-April saja sudah menyentuh 1,02 juta ton.

Persoalan yang terjadi pada komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan kedelai juga setali tiga uang. Swasembada baru sekadar mimpi. Untuk komoditas kedelai bahkan masalahnya lebih akut. Bayangkan, 60 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor. Kita mungkin bangga dengan panganan lokal tempe-tahu. Tapi apalah artinya kebanggaan itu jika bahan bakunya diimpor dari Amerika Serikat, transgenik pula.

Mengapa swasembada beras dan juga komoditas tanaman pangan lainnya begitu sulit kita rengkuh? Artikel singkat ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan salah satu kendala utama yang merintangi jalan menuju swasembada: daya dukung petani yang rendah.

Tak bisa dimungkiri, petani kita sejatinya merupakan aktor utama dalam mewujudkan swasembada pangan. Tanpa mereka, tak usah bermimpi untuk swasembada. Sayangnya, dewasa ini daya dukung mereka tidak optimal karena jeratan kemiskinan, umur yang kian tua, dan kapabiltas yang rendah.

Hingga kini, sektor pertanian masih menjadi pusat kemiskinan. BPS mencatat, sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini merupakan masyarakat pedesaan. Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan bahwa mayoritas rumah tangga miskin (67,26 persen) di daerah pedesaan merupakan rumah tangga dengan lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

Kondisi kemiskinan di sektor pertanian sejalan dengan fakta bahwa selama ini tingkat kesejahteraan petani kita cenderung stagnan. Tengoklah perkembangan indeks nilai tukar petani (NTP). Indikator yang dinggap menjelaskan perkembangan tingkat kesejahteraan petani itu dalam sepuluh tahun terakhir angkanya seolah begitu-begitu saja: stagnan.

Konsekuensinya, kultur dan hastrat bertani kian tergerus. Karena identik dengan kemiskinan, bertani merupakan pilihan terakhir bagi penduduk perdesaan untuk bertahan hidup. Pendek kata, sektor pertanian tak lagi menarik secara ekonomi dan kian ditinggalkan. Hasil Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan bahwa sepanjang 2003-2013, rumah tangga usaha tani berkurang sebanyak  5,10 juta rumah tangga (16,32 persen).

Transformasi struktur ekonomi memang tak bisa dilawan. Mau tak mau kita harus beranjak dari negara yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian (agraris) menuju negara yang bertumpu pada sektor industri dan jasa. Namun, ada yang patut didawaspadai dari tren penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian tersebut.

Jika dicermati, penurunan jumlah petani dalam sepuluh tahun terakhir ternyata sebagian besar terjadi pada kelompok usia muda. Itu artinya, selama ini regenerasi petani jalan ditempat. Tidak mengherankan bila kini petani kita didominasi kelompok usia tua.

Data BPS meunjukkan bahwa sepanjang 2008-2014 persentase petani padi sawah berumur di atas 50 tahun meningkat tajam dari 20,19 persen menjadi 52,07 persen, sementara pada saat yang sama persentase petani padi sawah berumur di bawah 35 tahun justru menurun tajam dari 25,93 persen menjadi 8,14 persen. Pola yang sama juga terjadi pada petani jagung dan kedelai.

Jika tren seperti ini terus berlanjut, tentu sangat berbahaya. Bagaimana caranya kita memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri kalau tak ada lagi yang menjadi petani? Ini bukan lagi sebatas persoalan harga diri sebagai negara agraris, tapi kedaulatan dan keberlangsungan produksi pangan kita.

Persoalan semakin pelik karena selain didominasi kelompok usia tua, mayoritas petani kita memiliki tingkat kapabilitas yang rendah. Bayangkan, sekitar 70 persen petani tanaman pangan negeri ini hanya tamatan SD atau tidak tamat SD. Tak mengherankan jika produktivitas dan efisiensi usaha tani mereka relatif rendah.

Miskin, tua, dan memiliki kapabilitas yang rendah tentu sebuah kombinasi yang buruk. Sulit rasanya kita bakal merengkuh swasembada di tengah kondisi sebagian besar petani kita seperti demikian. Karena itu, pemerintah jangan hanya berkutat pada peningkatan produksi komoditas pertanian namun mengabaikan pembangunan pedesaan.

Selain berfokus pada peningkatan produksi untuk mewujudkan swasembada, pada saat yang sama pemerintah juga harus mendorong regenerasi dan peningkatan kapabilitas petani melalui perangkat kebijakan yang mendukung  peningkatan taraf hidup petani dan masyarakat pedesaan. Dengan demikian, pertanian tetap menjadi lapangan pekerjaan yang menarik, terutama bagi generasi muda, dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kapabilitas yang mumpuni. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB