x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memilih Tito, Jokowi Berpikir Beda

Tito agaknya merupakan jalan keluar bagi Presiden dari persoalan yang membelit institusi kepolisian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ramalan banyak orang dan harapan elite politik perihal siapa yang akan dipilih Presiden Joko Widodo untuk jadi Kapolri pengganti Jenderal Badrodin Haiti buyar sudah. Skenario yang disusun agar Wakapolri Komjen Budi Gunawan ‘secara alamiah’ menggantikan Jenderal Haiti bila ia pensiun telah dimentahkan. Tiga nama yang diusulkan Wanjakti Polri pun tidak dipilih oleh Presiden.

Jokowi justru memilih sosok di luar para jenderal senior yang menunggu momen untuk menjadi orang nomor satu di Polri. Di antara para Komjen, Tito yang termuda dari segi angkatan pendidikan (lulusan Akpol 1987) maupun usia. Tito ‘melewati’ seniornya dari angkatan 1982 sampai 1986—bahkan belum ada satupun perwira angkatan 1986 yang sudah memperoleh bintang tiga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila Tito dilantik sebagai Kapolri, pangkatnya akan naik jadi jenderal bintang empat. Dua kali kenaikan pangkat luar biasa pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mendorong laju karier Tito lebih cepat dibanding teman-teman seangkatan. Dengan ditunjuk sebagai Kapolri, Tito menyandang pangkat Komjen hanya selama 4 bulan (Maret-Juli 2016). Tito rupanya sudah ‘diincar’ oleh Jokowi sebagai jalan keluar. Lagi pula, Tito berada pada momen sejarah yang tepat—sebab, tidak setiap orang yang berprestasi dapat berada pada momen yang tepat untuk dapat melejit lebih tinggi lagi.

Di samping mempertimbangkan prestasi Tito, Presiden sangat mungkin memilihnya sebagai jalan keluar dari pusaran kompetisi di antara para jenderal senior. Dengan cara ini pula, Jokowi berusaha berkelit gesit dari pusaran kepentingan yang melibatkan banyak pihak di luar institusi kepolisian. Jokowi berusaha menghindari kegaduhan yang menguras sumber daya—energi, pikiran, dan waktu—dalam menentukan siapa orang yang tepat untuk jabatan tertinggi itu.

Dengan memilih jenderal termuda, Jokowi berpikir beda dari kelaziman yang berlaku selama ini bahwa jabatan Kapolri mesti ditempati oleh perwira paling senior secara berurutan. Jikalaupun melompati angkatan, tidak lebih dari satu angkatan. Ini adalah sebuah cara yang lazim untuk memelihara kohesivitas di jajaran tertinggi institusi kepolisian. Namun Jokowi menerobos kelaziman ini karena ia menaruh harapan kepada Tito terkait perubahan mendasar di institusi ini. Di samping, secara politis, Jokowi memerlukan ‘kawan seiring’ yang relatif tidak terbelit rupa-rupa masalah.

Sangat mungkin, sebagian orang berpikir seperti Presiden. Namun, walaupun berpikir sama, dalam konteks manajemen masih diperlukan beberapa langka lagi yang dapat menjadi pembeda, yaitu pengambilan keputusan dan aksi atau tindakan. Memutuskan sesuatu berarti mengambil risiko terkait keputusan itu. Begitu pula, tindak lanjut berupa tindakan pasti akan mengundang reaksi dan konsekuensi.

Jokowi agaknya sudah mempertimbangkan soal ini atau mungkin ia sudah berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait lebih dulu sebelum memutuskan. Betapapun begitu, semuanya kembali kepada Presiden sebagai orang yang harus memutuskan. Dalam konteks inilah, sebagai manajer dan pemimpin tim, Jokowi telah menunjukkan keberanian dan kemampuannya untuk berpikir beda. (Foto: Tito Karnavian/tempo) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler