x

Saeni, penjual nasi di kawasan Pasar Induk Rao, Kota Serang, yang warungnya dirazia Satpol PP. TEMPO/Darma Wijaya

Iklan

Erna Rushernawati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibu Saeni dan Toleransi

Toleransi dalam Islam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu Saeni, pedagang warung makan di kota Serang Banten menjadi 'selebriti' baru yang mengundang simpati, bahkan kepala negara kita pun memberi bantuan sejumlah dana. Bantuan datang bukan hanya dari kepala negara, tapi juga sejumlah masyarakat yang peduli terhadap ibu ini. Ibu Saeni terkena razia satpol PP saat membuka warung makan miliknya di siang hari bulan Ramadhan. Ibu Saeni dianggap telah melanggar Perda kota Serang terkait larangan berjualan makanan selama bulan suci Ramadhan. Tentu kita juga turut prihatin terhadap kasus ini, ibu Saeni sebagai representasi  wong cilik yang selalu menjadi 'korban' di negeri kapitalis ini.

Tapi tentu kita harus bersikap proporsional dan bijak dalam menyikapi hal ini, bukan dengan perasaan empati yang mengesampingkan nalar dan logika kita. Perda daerah tentu menjadi payung hukum yang harus ditaati oleh warga daerah tersebut. Dalam hal ini, ibu Saeni jelas telah melanggar perda tersebut dan bersalah karena berjualan makanan di siang hari selama bulan suci Ramadhan. Sebagai contoh, perayaan hari raya Nyepi di Bali juga berdampak kepada warga non-Hindu di wilayah tersebut. Tentu hal ini harus ditaati oleh warga non-Hindu yang tinggal di Bali karena itu berkaitan dengan hukum yang ada disana. Kalau tidak bersedia, maka jangan tinggal di Bali selama perayaan Nyepi. Demikian kurang lebih analoginya.

Islam kembali menjadi tertuduh dan dianggap intoleran terhadap kemajemukan negara ini. Umat Muslim yang berpuasa harus menghormati orang lain yang tidak berpuasa, baik dia Muslim ataupun non-Muslim. Demikian barangkali yang diinginkan oleh para penguasa negeri ini. Inilah wujud toleransi yang diharapkan oleh mereka. Apakah ini bukan logika terbalik? Seharusnya orang-orang yang tidak berpuasalah yang menghormati orang yang  berpuasa, sebagaimana umat non-Hindu menghormati umat Hindu yang merayakan Nyepi di Bali. Bukankah seharusnya demikian? Jangan lagi ajari kami makna toleransi sementara kalian juga tak memahami toleransi terhadap umat Muslim mayoritas di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang benar orang berpuasa tak butuh penghormatan dalam menjalankan ibadahnya. Namun demikian sebagai negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim, hal tersebut sudahlah sepantasnya. Itulah seharusnya toleransi yang harus ditunjukkan umat non Muslim terhadap umat Muslim.  Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana toleransi beliau terhadap umat non Muslim di Madinah, dengan  membiarkan mereka melaksanakan ibadahnya dan memberikan perlindungan kepada mereka.  'Laakum diinukum waliyadiin', bagimu agamamu, bagiku agamaku adalah prinsip toleransi dalam Islam.

Wahai para penguasa negeri ini, takutlah hanya kepada Allah SWT, zat yang memberi kalian kehidupan. Ingatlah akan kematian yang bisa kapan saja datang menjemput. Sungguh jabatan adalah amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Maka kembalilah kepada sistem Allah yang satu yang akan melindungi umat Muslim dan non-Muslim yakni sistem Khilafah yang agung. (Susi Noval, Bogor)

 

Ikuti tulisan menarik Erna Rushernawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB