x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Timur Tempo Doeloe

Catatan perjalanan di Indonesia Timur selama 500 tahun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Indonesia Timur Tempo Doeloe

Judul Asli: To the Spice Island and Beyond, Travels in Eastern Indonesia

Penyusun: George Miller

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Maria Agustina

Tahun Terbit: 2012

Penerbit: Komunitas Bambu                                                                                       

Tebal: xxx + 410

ISBN: 978-602-9402-01-8

Perjalanan ke pulau-pulau di Nusantara sangat didambakan oleh orang-orang Eropa di abad 16 sampai abad 20. Perjalanan yang dilakukan dengan kapal laut tersebut penuh harapan untuk mendapatkan kekayaan dari bisnis rempah-remah. Perjalanan ke Nusantara oleh orang Eropa juga diikuti dengan keyakinan untuk menyebarkan kabar baik (Agama Kristen). Selain itu, upaya untuk meneliti, khususnya tumbuh-tumbuhan yang ada di Nusantara dan berbagai sumber alam lainnya juga merupakan motivasi untuk menuju Nusantara. Namun perjalanan tersebut juga penuh bahaya.

Sejak Kapten Garcia yang memimpin armada Portugis mencapai Maluku pada tahun 1511, berbondong-bondong kapal-kapal Eropa mengunjungi Nusantara. Pala, cengkeh, lada dan bunga lawang adalah rempah-rempah yang saat itu harganya lebih mahal dari emas. Itulah sebabnya para penguasa dan pengusaha Eropa membiayai perjalanan kapal-kapal ke Nusantara. Semangat untuk menyebarkan agama Kristen (Katholik dan Protestan) yang saat itu menggebu di Eropa ikut menyemangati perjalanan kapal ke timur. Selain itu pelayaran ke Nusantara juga dipakai untuk memenuhi keinginan untuk meneliti tumbuhan, yang mungkin bisa menjadi bahan obat. Buku ini memuat catatan perjalanan dari pelaku pelayaran dengan berbagai tujuan tersebut.

Persaingan kerajaan-kerajaan kecil dan masyarakat lokal untuk menjadikan para pelayar Eropa sebagai sekutu banyak terjadi di Maluku. Antonio Galvao diterima oleh Sultan Ternate untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan Belanda pada tahun 1536 (hal. 3). Kapal Francis Drake misalnya dicegat oleh bangsawan Ternate saat akan berlayar ke Tidore (hal. 10). Kapal Inggris ini dibujuk untuk bersekutu dengan Kesultanan Ternate. Kapal-kapal ini kemudian berbelok dan dijamu oleh Sultan Ternate pada tahun 1579. Hal yang sama dialami oleh Thomas Forrest di Raja Ampat. Saingan Sultan Bacan memberikan informasi yang berbeda kepadanya tentang Papua Nugini (hal. 68). Walter Lennon mengisahkan Sultan Nuku dari Tidore mengajak armada Inggris bersekutu dengan mereka untuk melawan Belanda pada tahun 1796 (hal. 110). Sultan Ibrahim (Nuku) mengaku sebagai calon penguasa Ternate. Sementara saat itu wilayah Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Seram berada dalam kekuasaan Sultan Saidul Jehad, paman dari Sultan Nuku yang bertahta di Tidore. Owen Stanley mendapat permintaan dari salah satu pemimpin di dekat pelabuhan Dobbo untuk membantunya memerangi kelompok lain (hal. 131).

Meski negara-negara Eropa saling bermusuhan, namun di lapangan sesama awak armada saling memberi pertolongan. Demikian halnya dengan penduduk setempat. Suasana saling klaim atas wilayah oleh negara-negara Eropa membuat pelayaran semakin berbahaya. Mereka bisa saling serang jika bertemu di laut, atau saat kapal mereka merapat di pulau yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh negara lain. Peperangan terutama terjadi antara Belanda dengan Portugis dan Belanda dengan Inggris. Suasana ini membuat para awak armada kapal menjadi sangat hati-hati untuk mencari pertolongan, meski kapalnya rusak, para awaknya sakit, atau sedang mendapat bencana kekurangan bahan pangan. Namun banyak kisah dalam buku ini menunjukkan betapa kemanusiaan berada di atas klaim politik.  

Rombongan Kapten William Blake, armada Inggris yang kapalnya dibajak oleh anak buahnya, diterima oleh Gubernur Belanda di Kupang, meskin sang Gubernur sedang dalam keadaan sakit keras (hal 76). Padahal saat itu Inggris sedang bersaing keras dengan Belanda untuk memperebutkan wilayah Maluku. Demikian juga dengan Louis de Bougainville yang terpaksa mendarat di Pulau Buru karena awaknya sedang sakit dan kelaparan. Armada Inggris ini diterima baik oleh penguasa Belanda yang ada di Pulau Buru (hal. 31).

Keramah-tamahan penduduk setempat juga banyak dilaporkan. Seorang pangeran bernama Kaitji Rade menerima dengan ramah pasukan Kapten Antonio Galvao (hal 3). Pasukan David Woodard ditahan dengan penuh kebebasan di sebuah kampung di dekat Donggala Sulawesi (hal 87).

Pada abad 16-20, perkembangan Islam dan Kristen sangat pesat di Nusantara. Islam bahkan lebih awal menyebar di Nusantara. Laporan-laporan yang dimuat dalam buku ini menunjukkan bahwa para ulama dari negeri Arab sudah banyak mengajarkan agama Muhammad di wilayah timur Indonesia. Para penyebar agama Islam ini pada umumnya ramah kepada para pendatang Eropa. Bahkan beberapa dari mereka memegang lisensi sebagai perwakilan Kerajaan Inggris. Catatan Francis Fletcher, seorang pendeta di kapal Francis Drake menggambarkan bahwa seorang haji dari Mekah menjadi perantara kapalnya dengan penduduk setempat di Maluku. Demikian juga dengan catatan Domingo Navarrete, seorang biarawan Katholik yang terdampar di Makassar. Dominggo bahkan bercerita tentang pertemuan untuk membahas tentang Muhammad, saat salah seorang Portugis Katholik mengatakan bahwa dia seperti hidup di neraka. Alih-alih dihukum, para pemimpin lokal di Makassar bahkan tidak mengambil tindakan terhadap orang tersebut, meski sangat menyingungnya (hal 28). Thomas Forrest juga melaporkan Tuan Haji yang sangat membantu bernegosiasi dengan masyarakat yang menganut agama Muhammad yang menahannya (hal. 64). D. H. Kolff melaporkan kebaktian Jemaat Kristen di Aru yang sangat meriah (hal. 117), dan minat penduduk sekitar Pulau Aru untuk memeluk agama Kristen sangat tinggi (hal. 121). Owen Stanley menemukan jemaat di sekitar Pantai Dobbo yang gerejanya rusak (hal. 132) dan di Pulau Kisar (hal. 143).

Tercatat nama-nama Wallace, Nikolai Miklouho-Maclay, Joseph Banks, David Nelson, Henry Forbes dan istrinya Anna Forbes adalah nama-nama kaum naturalis yang ikut dalam pelayaran untuk meneliti tumbuhan yang ada di Nusantara. Deskripsi tentang berbagai tanaman dihasilkan oleh mereka. Wallace bahkan membuat garis biologi imajiner berdasarkan jenis hewan yang ditemuinya dalam kunjungannya ke Nusantara. Wallace menulis: “Jika kita ,emgalihkan perhatian pada kepulauan lain di Nusantara, kita akan menemukan bahwa seluruh pulau mulai dari Sulawesi dan Lombok hingga kea rah timur menunjukkan kemiripan dengan Australia dan Papua Nugini, sebagaimana kepulauan di bagian Barat menyandang persamaan dengan Asia (hal. 150). Pendapat Wallace ini masih dipakai sampai sekarang untuk menjelaskan perbedaan flora-fauna di bagian barat dan timur Indonesia. Nikolai mendeskripsikan dengan sangat rinci variasi wajah orang-orang Papua dan menggugat pengelompokan ras a la barat (hal. 168). Forbes membuat koleksi flora yang sangat banyak serta membuat ilustrasi tentang jenis-jenis tumbuhan tersebut.

Selain dari para pelayar Eropa, wilayah timur Nusantara sudah berdagang dengan orang-orang Bugis, Makassar dan China. Banyak tulisan dalam buku ini yang melaporkan perdagangan penduduk setempat dengan orang-orang Bugis, Makassar dan China. Tidak ada laporan tentang peperangan penduduk setempat dengan ketiga kelompok pedagang tersebut. Paling-paling para pedagang ini menyampaikan bahwa orang lokal tak bisa dipercaya. Namun banyak sekali laporan peperangan antara penduduk setempat dengan bangsa-bangsa Eropa.

Di abad 20, perjalanan ke pulau-pulau di Indonesia Timur lebih banyak bertujuan untuk berwisata. W. Douglas Burden mengisahkan kunjungannya ke Pulau Komodo pada tahun 1926. Foto-foto yang dihasilkannya dimuat dalam Majalah National Geography edisi Agustus 1927 (hal. 217). Theodora Benson menuliskan perjalanan wisatanya ke Sulawesi pada tahun 1968. Theodora secara khusus menguraikan orang Toraja yang dikunjunginya (hal 229).

Harry Wilcox (Toraja), Maslyn Williams (Sulawesi), Wyn Sargent (Puncak Jaya), Marika Hanbury Tenison (Pulau Seram), Shirley Deane (Ambon) melakukan perjalanan ke timur pasca perang dunia II. Mereka mengisahkan alam, masyarakat dan bagaimana kemerdekaan Indonesia di masyarakat yang dikunjunginya. Menariknya, pengelana ke timur pasca perang dunia II sudah lebih banyak perempuan.

Bagian akhir dari buku ini menceritakan catatan yang berisi tentang perang. W Cool menulis tentang pertempuran antara orang Bali dan orang Sasak di Lombok. Bernard Callinan dan Robert Domm menulis tentang Timor Timur. Sedangkan Herlina menulis tentang pertempuran perebutan Irian Barat.

Tulisan yang dikumpulkan dalam rentang hampir 500 tahun ini (dari 1544-1992) menunjukkan bahwa wilayah timur Indonesia masih tidak banyak berubah, kecuali Sulawesi. Era kejayaan rempah-rempah tak mampu mengubah wajah Indonesia Timur. Padahal era rempah-rempah tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk membuat wilayah ini menjadi maju dan modern. Namun perang yang terus menerus dan persaingan dagang antar bangsa Eropa telah melupakan pembangunan wilayah ini. Di era Republik Indonesia, bagian timur negeri ini juga seakan tidak diperhatikan. Di era ini, dimana Papua masih memiliki kekayaan alam. Pulau-pulau di Indonesia Timur memiliki pantai-pantai yang indah yang sangat potensial untuk wisata bahari.  Semoga kekayaan alam yang tersisa ini bisa menjadi pemacu pembangunan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat di Indonesia Timur.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu