x

Iklan

Sumarno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menghapus Kekerasan dalam MOPD

MOS atau MOPD sarana untuk mengenalkan siswa baru pada lingkungan sekolah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah mengikuti proses pendaftaran dan seleksi, di awal masuk sekolah siswa baru mengikuti program Masa Orientasi Siswa (MOS) atau sekarang disebut Masa Orientasi Peserta Didik (MOPD). Kalau di tingkat perguruan tinggi disebut Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).

MOPD merupakan kegiatan tahunan di setiap sekolah. Hingga kini MPOD identik dengan kekerasan. Setiap menghadapinya peserta dihantui rasa takut dihukum, ditekan, dipermalukan atau dilecehkan. Maka, ketika oleh seniornya diberi tugas atau disuruh membawa apapun berusaha keras untuk memenuhinya.

Cara memberi tugas pun aneh-aneh, tak menggunakan bahasa yang lugas. Melainkan menggunakan teka-teki ala anak muda atau cara gaul yang tak mengandung nilai-nilai edukasi. Misalnya, disuruh membawa “buah yang adanya pada malam minggu,” artinya membawa buah apel. Atau membawa jenis makanan dan alat tulis dengan merek yang ditentukan. Jadi MOPD dimaknai sebagai peloncoan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pola-pola dalam MOPD seperti itu seolah menjadi tradisi yang harus dilestarikan. Sebagian pihak beranggapan MOPD cara begitu bertujuan untuk malatih berfikir kreatif dan menggembleng mental peserta. Padahal yang sibuk menyiapkan segala tugas atau barang bawaan adalah orang tuanya. Belum lagi biaya untuk keperluan yang harus dibawa setiap hari selama MOPD. Bagi orang tua yang berkecukupan tak masalah, tapi bagi keluarga yang berkekurangan walau tak seberapa terasa berat.

Sejarah MOPD atau Ospek sudah ada sejak zaman kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Pada masa itu, mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas. Perserta Ospek haruh menuruti perintah senior, seperti membersihkan ruangan senior. Dan hal itu berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942).

Pada era Orde Baru diganti dengan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Materinya antara lain; Pancasila, UUD 1945, GBHN, Wawasan Nusantara, ditambah Wawasan Wiyata Mandala. Penatran P4 berlaku bukan hanya bagi siswa atau mahasiswa baru, tetapi juga calon pegawai negeri sipil, calon pejabat (lurah, camat, bupati), kader PKK dan elemen masyarakat lainnya.

Padahal sesuai tujuannya,  MOPD untuk mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri peserta didik, dan kepramukaan sebagai pembinaan awal ke arah terbentuknya kultur sekolah yang kondusif bagi proses pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Pasal 2 Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014).

Karena MOPD rentan tindak kekerasan, maka pada Pasal 3, Ayat (1) ditegaskan; Sekolah dilarang melaksanakan masa orientasi peserta didik yang mengarah kepada tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar sekolah.

Bahkan untuk mengantisipasi terjadinya tindak kekerasan di awal tahun pelajaraan 2015/2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Permendikbud Nomor 21 tahun 2015 dianataranya berisi bahwa orang tua wajib mengantar anaknya di hari pertama masuk sekolah. Apalagi akhir-akhir ini marak terjadi tindak kekerasan terhadap anak.

Namun, aturan-aturan tersebut seolah diabaikan. Dharapkan pada tahun pelajaran 2016/2017 ini, MOPD jauh dari kekerasan dan tidak terlalu merepotkan orang tua peserta didik. Dari itu perlu sosialisasi aturan tersebut dan ada kontrol dari pihak-pihak terkait, Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Kepala Sekolah, guru, dan masyarakat/orang tua siswa.

Kekerasan simbolik

Tindak kekerasan terjadi dalam kegiatan MOPD, baik di tingkat SD, SMP maupun SMA/SMK. Selama ini oleh masyarakat umum kekerasan dipahami sebatas kekerasan fisik. Karena kekerasan fisik mudah diidentifikasi atau kasat mata. Akibat yang ditimbulkan dari kekerasan fisik, misalnya luka-luka pada tubuh, bahkan hilangnya nyawa.

Selain kekerasan fisik, ada kekerasan psikologis. Yaitu, kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa. Kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan termasuk kekerasan psikologis. Akibatnya membuat obyek yang diperlakukan demikian mengalami rendah diri atau pasif. Disadari atau tidak, kekerasan jenis ini banyak terjadi dalam kegiatan MOPD.

Berikutnya adalah kekerasan simbolik. Menurut sosiolog asal Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002) kekerasan simbolik yaitu bentuk pemaksaan budaya kelompok tertentu kepada kelompok lain. Misalnya, cara sapaan yunior kepada senior, atau kewajiban memakai pakaian seragam/atribut tertentu. Kekerasan simbolik nyata-nyta banyak terjadi dalam kegiatan MOPD.

Tentang kekerasan simbolik Bourdieu mendasarkan pada teori habitus. Ia mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Seperti budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, pola senior-yanior dalam MOPD sangat berpotensi menimbulkan terjadinya kekerasan simbolik.

Hampir semua bentuk kekerasan menimbulkan dampak negatif. Dengan mengenal bentuk-bentuk kekerasan seperti di atas setidaknya dapat mengidentifikasi mana bentuk kekerasan yang berakibat fatal dan mana yang tidak. Sehingga dapat memilah dan memilih metode yang paling tepat untuk diterapkan dalam kegiatan MOPD.

Untuk hal ini pelaksanaan kegiatan MOPD di sekolah jangan diserahkan sepenuhnya kepada siswa senior atau pengurus OSIS. Mengingat mereka juga belum cukup matang dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, kegiatan MOPD kadang dijadikan arena “nampang”, pamer kesenioran, ajang gengsi, ajang balas dendam oknum siswa senior.

MOPD tahun ini dapat dijadikan momentum untuk menghapus kekerasan di sekolah, apapun bentuknya. Maka, Kepala Dinas Pendidikan harus mengontrol kegiatan di sekolah. Kepala Sekolah dan guru sebagai pelaksana berbagai kegiatan di sekolah. Sedangkan siswa senior diposisikan untuk membantu saja.[*]

Sumarno, guru aktif di Koalisi Guru Banten

Ikuti tulisan menarik Sumarno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB