(Ilustrasi: archive.ivaa-online.org)
Sudah berabad-abad para Bijak mencari-cari Peradaban yang nyaman. Belum ditemukan. Padahal kita berada di dalamnya. Maka Akalbudi, Sang Acuan Peradaban, menangis di ujung Anugerah. Dia tidak mau lagi menari bersama Keindahan. Ia hanya ingin mati, mampir sebentar di Surga atau Neraka, menuju ke Keabadian Airmata Curahkan Lagu.
Mungkin bingung akan maksud paragraf di atas. Padahal maksudnya sekedar beritahu, akalbudi itu barangkali sedang menderita, merajuk, atau lagi rewel. Apapun soalnya, hasrat dan gerak Akalbudi segera ditangkap Kalbu, yang sertamerta muncul dalam kemelut ini. Ia memahami segala duduk soal, sebagaimana setiap hati jernih yang bersih memahami daun-daun gugur dan semi, silih ganti, selaras musim.
Yang jadi soal bagi Kalbu, mungkin juga bagi Matahari, Bulan, Bintang, Batu, Air, dan bagi Puasa Agama, di mana dan kapan bisa ditemukan Keabadian Airmata Curahkan Lagu?
"Tidak ada itu!"
"Sukar!"
"Mana mungkin?"
"Ah, mungkin saja!"
"Lho, lho, tunggu dulu."
"Benar, benar."
"Apa yang benar?"
"Lihat-lihat dulu kerangkanya!"
"Benar itu! Dalam kerangka agama?"
"Atau kerangka sastra?"
Maka ributlah. Siapa ribut? Tidak penting siapa. Inti dan kerak orang-orang bebal adalah pertanyaan bebal. Menjawab sebelum bertanya. Menukas sebelum ada bunyi.
Juga jangan mempersoalkan lebih jauh, misalnya, apakah agama itu bukan perkara sastra? Juga bagaimana jika ternyata, ia sekedar masalah teknik wawansambung = komunikasi? Akibatnya, Nalar lalu bergairah mencari tahu segala jenis duduk soal.
Segala jenis duduk soal yang dicari adalah 5W-1H terkait keabadian, airmata, ketercurahan, dan lagu. Ini adalah soal tentang bagaimana mampu memahami bahwa akalbudi = kalbu = otak = hati = nalar = iman = agama = sastra = rasa = naluri = tradisi = patuh = buta = melek = goblok = pintar = semua kata apa saja.
Jadi, soal kita yang sungguh-sungguh nyata adalah tentang ada tidaknya hal tersebut. Pasti sukar untuk bisa dijawab sekarang. Pasalnya, airmata dari sumber rasa sudah meratap. Menangisi keindahan mata yang bahagia karena berair. Pikirkan. Sekali lagi pikirkan! Jangan rasakan. Sekali lagi jangan rasakan! Maka dengan sertamerta kita bisa mereguk, bahwa, kebahagiaan sungguh-sungguh bergantung dari hal-hal kecil.
Wah, jadi repot sekarang. Mengapa sampai pada kebahagiaan segala? Pasalnya, penjelasan tentang kebahagiaan ada pada kemampuan pribadi menangkap adat, tradisi, kebiasaan, dan seluruh kecerdasan dan kebodohan ikutannya. Ikutan ini panjang, lebar, luas, dan mencaplok seluruh tatapikir yang pernah dibangun apa dan siapa saja. Ini menyangkut banyak soal besar terkait ihwal perkara kawin, keluarga, UUD, negara, bangsa, kekuasaan, perang, korupsi, kudeta, bencana alam, juga soal-soal tidak penting menyangkut kata-kata benda dan kata-kata keadaan semisal suci, dosa, surga, neraka, dll sejenis itu berdasar segala jenis khayal dan dongeng. Semua itu agaknya cuma tetes-tetes embun dalam seluruh lekuk liku tata udara.
Dengan kata lain, meski sudah kita baca semua tulisan orang-orang bijak, sudah kita selami seluruh rahasia filsafat, tetapi selama kita tidak mampu menangkap keabadian dalam ketercurahan nada, maka wuuus: segalanya berantakan. Itulah sebabnya, semua ucapan para bijak, jika diringkas, kira-kira akan berbunyi: "pintar-pintarlah menjadi manusia!"
Masih lanjutan kata-kata orang-orang bijak. "Jika manusia pintar-pintar menjadi manusia, memanusia, menjadi insan, yang uraiannya butuh waktu sepanjang sejarah, maka searah logika takdir semesta, insan yang tak lebih salah satu titik entah di antara tebaran bermiliar langit keentahan, akan menemukan kehidupan sejati. Tujuan insan, manusia yang memanusia, menemukan kehidupan sejati."
Hah! Cuma begitukah ujar orang-orang bijak? Jika tidak setuju, ya diabaikan saja. Tapi tak akan mengubah perumusan di atas. Sebab soal pokoknya lebih terletak pada hakikat dan maksud kehidupan sejati. Yang kurang lebih begini:
segala zaman telah menyanyikannya
hidup sejati dan kita tak mengenalnya
abad-abad kekuasaan bicara tentangnya
membuat kita sekarang bisa melihatnya
matanya bercahaya lentera
telinganya peka halus aroma
tapi betapapun hebatnya dia
hasratnya harus selalu
o, menumbuk bumi
wajahnya pucat pasi
duka memahkotainya
dia menjadi manusia
dia menjadi sang insan
akalbudi dan hidup sejati
menjadi ziarah tak bertepi
Gunung Merbabu, Juni 2016
*****
Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.