x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Belajar ke Negeri China, TNI Pun Tembak Kapal China

Sebagai Poros Maritim Dunia, tak cukup hanya mampu melindungi kedaulatan nasional saja, akan tetapi bagaimana meniadakan ancaman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap Muslim pasti pernah mendengar hadits ini: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”

Saya tidak sedang membahas apakah hadits di atas dha’if atau hasan. Atau dalam konteks apa (asbabun nuzul) hadist itu disampaikan.  Saya hanya mencoba menarik hadits tersebut dengan kondisi kekinian menyangkut negeri China.

Jumat kemarin (17/6/2016), Komando Armada Maritim Kawasan Barat (Koarmabar) TNI AL kita menembak kapal China yang sedang mencuri ikan di perairan Natuna. Berkaitan dengan itu, Presiden Joko Widodo sendiri menginstruksikan seluruh jajarannya untuk terus mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia. "Kedaulatan itu nomor satu, harga mati, dan harus dipertahankan!" kata Presiden.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian pengamat bertanya-tanya dengan intruksi tegas presiden itu. Sebab sebelumnya, di bawah pengaruh “rezim merah” PDIP, hubungan RI dengan China telah terjalin mesra. Ditandai pidato sambutan dari Presiden China Xi Jinping saat menerima kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi di Balai Agung Rakyat pada 25 Maret 2015.  "Hubungan Indonesia dan Tiongkok yang telah berjalan enam dekade lebih, senantiasa mengedepankan prinsip saling menghormati, menghargai, sebagai bangsa yang setara, yang bertanggung jawab atas perdamaian dan stabilitas kawasan."

Setelah “penyambutan” itu, bisa dibilang hubungan antara RI dan China paling dinamis di Asia Pasifik. Selain menyepakati delapan nota kerja sama, RI dan China terus mensinergikan ide Poros Maritim Dunia milik Ri dengan Jalur Sutra Maritim milik China. Inilah keinginan “rezim merah” Megawati (PDIP) menciptakan “poros Jakarta-Peking”. Melanjutkan gagasan ayahnya, Soekarno.

Sikap tegas Presiden itu nampaknya karena beliau telah “menuntut ilmu sampai negeri China.”

Apa yang dapat kita pelajari dari China?

Di pertengahan abad 20, negara-negara di Asia menghadapi situasi yang benar-benar kacau dimana peperangan, kemiskinan, kelaparan melanda negara-negara di kawasan tersebut. China adalah negara yang paling kacau karena pada waktu itu mengalami peperangan, revolusi, sekaligus kelaparan.

Namun pada empat dekade terakhir, ekonomi Asia bertransformasi. China pun tumbuh menjadi negara yang perekonomianya terbesar di Asia dan kedua di dunia setelah Amerika, mengalahkan Jepang.

Seiring dengan kekuatan ekonominya yang terus berkembang, China pun berkeinginan memainkan peran yang lebih dominan dalam hubungan internasional, sebagai emerging power. China akhirnya terlibat didalam proses pembuatan aturan-aturan sistem global. Ambisinya ingin menjadi The next super power menggantikan Amerika Serikat.

Sejak kemenangan Presiden Jokowi, Indonesia diklaim China sebagai bagian koalisinya (Poros Indonesia-China-Rusia). Kita bisa lihat faktanya: setelah pelantikan Jokowi, Dolar AS menguat tajam, hingga hampir menembus Rp 15 ribu. China tak tinggal diam melihat penguatan Dolar AS terhadap Rupiah yang bisa mengganggu ekonomi RI sebagai sekutunya. China pun mengucurlkan dana yang disebut “Chinese Dollar” guna menyelamatkan Rupiah. Chinese Dollar adalah uang para pengusaha China yang dialirkan masuk RI untuk mengangkat kembali Rupiah ke level Rp 13 ribuan.

Di awali konflik Laut China Selatan yang merupakan sengketa antara China, Taiwan, Brunei Darusalam, Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Konflik tersulut ketika China mengeluarkan peta yang menyertakan hampir keseluruhan dari Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya.

Klaim yang dibatasi oleh ‘sembilan garis terputus’ ini merentang melebihi batas maksimal yang ditentukan oleh United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) dan tumpang tindih dengan klaim empat negara pantai Asia Tenggara. Masing-masing memiliki landasan berbeda dalam mempertahankan klaim. Vietnam dan Filipina ialah dua negara pengklaim yang menunjukkan sikap paling reaktif dalam merespon perkembangan di Laut China Selatan yang utamanya didorong oleh agresivitas China.

Indonesia yang secara de facto merupakan pemimpin ASEAN dan telah diklaim sebagai sekutu China, diyakinkan secara verbal oleh China bahwa perairan Natuna tidak termasuk dalam klaim nine dash line. China juga meyakinkan bahwa konflik Laut China Selatan hanya antar negara pengklaim saja.

Akan tetapi, sengketa Laut China Selatan memasuki babak baru seiring China meraih kekuatan ekonomi. Secara logis perbaikan ekonomi tersebut diikuti dengan modernisasi militer guna mengawal kepentingan Beijing di Laut China Selatan dengan memperkuat kekuatan laut.

China bahkan bersikap lebih agresif demi mempertahankan klaimnya di Laut China Selatan. Negara itu melakukan reklamasi besar-besaran dan membangun landasan pesawat udara maritim, instalasi radar, dan fasilitas docking di atasnya. China juga melakukan benign function untuk mengawal kapal penangkap ikan berskala besar di perairan yang mereka klaim sepihak sebagai traditional fishing ground, dan terakhir meningkatkan pengawasan terhadap kapal perang atau pesawat militer asing yang melintas di dekat wilayah yang diokupasi.

Klaim sepihak yang dilakukan China jelas merugikan bukan saja negara-negara yang berkonflik, akan tetapi mengancam Indonesia. Pemerintah Indonesia wajib melindungi penduduknya di darat, laut, maupun udara. Indonesia melihat klaim sepihak oleh China dalam sengketa Laut China Selatan dari sudut prioritas kepentingan nasional. Perihal kekayaan laut membawa kita kepada kepentingan prioritas selanjutnya.

Secara ekonomi, sumber daya laut bagi Indonesia 70% wilayahnya adalah air, dan merupakan sumber nafkah bagi kesejahteraan bangsa. Tetapi kepentingan ini bukan prioritas semata-mata. Secara politik, perlindungan terhadap kekayaan laut ini adalah pertaruhan wibawa Indonesia di mata masyarakat maritim internasional karena menyangkut reputasi Indonesia dalam menegakkan kedaulatan di laut. Terlebih jika Indonesia ingin menjadi Poros Maritim Dunia.

Situasi pada konflik Laut China Selatan mengindikasikan kurangnya posisi politik Indonesia selaku pemimpin ASEAN. Terlihat dari sikap Vietnam, terutama Filipina yang lebih mengandalkan kerjasama dengan pihak luar dibandingkan ASEAN. Asia Tenggara jelas merupakan prioritas Indonesia karena dua pertiga kawasan ini adalah yurisdiksi nasional Indonesia. Sehingga Indonesia berhak dan wajib dalam memelihara stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan, termasuk di dalamnya sengketan perbatasan maritim.

Untuk menjadi Poros Maritim Dunia, tidak cukup hanya dengan mampu melindungi kedaulatan sendiri, tetapi juga dituntut memiliki kapasitas untuk ikut melayani kepentingan bersama masyarakat maritim internasional dari keadaan yang dapat mengancam stabilitas kelangsungan sistem tersebut. Apabila kita kembali pada arti keamanan nasional, maka untuk mencapai kepentingan nasional adalah dengan meniadakan ancaman.

Jalesveva Jayamahe....!

 

Sumber:

Friedman, G. (2009) The Next 100 Years, New York: Double Day

Hsu, I. (2000) The Rise of Modern China, New York: Oxford University Press Inc.

Johnson, C. (2014) Decoding China’s Emerging “Great Power” Strategy in Asia, Center for Strategic & International Studies, June, http://csis.org/files/publication/140603_Johnson_DecodingChinasEmerging_WEB.pdf

Matos, R (2010) Chinese Economic Dragon, www.expresso.pt

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB