Antara Si Tukang Kritik dan Si Antikritik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB(Catatan kecil tentang Soe Hok Gie dan Ahok)
Antara Si Tukang Kritik dan Si Antikritik
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Tjin Han, sahabatnya, “Gie, kenapa sih lu harus melawan ini?” Soe Hok Gie pun menjawab, “Han, Kita mana mungkin bisa hidup bebas seperti ini kalau bukan karena melawan. Sukarno, Hatta, Syahrir, mereka semua berani memberontak dan melawan.” Dialog itu tidak pernah ada dalam Catatan Seorang Demonstran, buku harian milik Soe Hok Gie, yang diterbitkan pertama kali oleh LP3ES pada 1983. Dialog itu muncul dalam film Gie besutan Riri Riza pada 2005. Namun, dialog imajiner antara Soe Hok Gie dan kawannya Tan Tjin Han itu menegaskan sosok aktivis cum akademisi asal Fakultas Sastra (kini Ilmu Budaya) Universitas Indonesia yang dikenal tajam mengkritik.
Bagi kalangan intelektual dan aktivis, Soe Hok Gie adalah ikon perlawanan baik di era Orde Lama yang dijungkalkannya, maupun Orde Baru yang digadangnya. Lahir dari Ayah seorang penulis novel, Soe Li Piet, pemuda keturunan Tionghoa itu seakan menurunkan kepiawaian menulis Ayahnya. Di tengah kondisi politik yang genting pada tahun 1965, di mana Sukarno, Militer, dan Partai Komunis Indonesia, saling berhadapan, Gie memilih untuk tak terpolarisasi di kutub-kutub tersebut. Sebelum huru-hara pasca Gerakan 30 September, ia lebih menghabiskan waktunya dengan kegiatan penjelajahan alam bersama organisai yang didirikannya Mapala UI, berdiskusi, hingga menonton film yang sebagian koleksinya ia pinjam dari CCF (Pusat Kebudayaan Prancis). Baginya, politik adalah lumpur kotor. Namun, ia sendiri tak bisa mengelak hingga akhirnya turut terjun untuk menghantam pemerintahan Sukarno.
Hok Gie dikenal keras mengkritik Sukarno yang sudah 20 tahun berada di pucuk kekuasaan. Beberapa entri dalam catatan hariannya mengkritik figur Sukarno yang lebih mirip Raja Jawa ketimbang Presiden di negara modern. Dalam tulisannya berjudul Manifesto Politik Gerakan Pembaharuan, Hok Gie dengan keras, “Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan sekarang ini telah membawa Bangsa dan Negara Indonesia pada keadaan yang amat mengkhawatirkan. Diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya diambang pintu. tetapi telah menjadi suatu kenyataan.”
Hingga akhir hayatnya di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969, Hok Gie tetap berada di pinggiran kekuasaan. Ia menolak memanfaatkan situasi yang menguntungkan bagi aktivis mahasiswa pasca jatuhnya Orde Lama. Ketika banyak aktivis mahasiswa mendapat tempat di rezim yang baru, Hok Gie memilih kembali ke almamaternya dan mengajar. Ia tetap mengkritik rezim militer itu, salah satunya melalui tulisan yang menyorot pembunuhan massal simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Soe Hok Gie adalah purnarupa aktivis dan intelektual yang enggan terseret dalam kekuasaan. Ia bekerja layaknya para Samurai dalam Seven Samurai-nya Akira Kurosawa: meninggalkan gelanggang setelah misi menumpas angkara selesai. “Saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin selalu mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi, juga ketidakpopuleran. Ada sesuatu yang lebih besar: KEBENARAN,” begitu ia menulis.
Ketika Hok Gie sedang keras-kerasnya menuntut Sukarno, Basuki Tjahja Purnama lahir pada 29 Juni 1966. Keduanya sama-sama berasal dari kalangan minoritas. Berbeda dengan Hok Gie yang selamanya berada jauh dari pusaran kekuasaan. Ahok kini berada di jantung kekuasaan sebagai Gubernur Ibukota. Namanya meroket ketika pada 2012 berpasangan dengan Joko Widodo memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Ketika Jokowi terpilih sebagai Presiden RI dua tahun kemudian, Ahok pun naik menggantikannya.
Salah satu rekam jejak Ahok dalam politik dapat kita lihat dari film dokumenter Fight Like Ahok karya Chandra Tanzil dan Amelia Hapsari. Film itu berlatar Ahok sebelum masuk ke Senayan sebagai anggota DPR. Karya yang memperoleh penghargaan itu sedikit menggambarkan latar belakang Ahok sebagai pengusaha sebelum terjun ke dunia politik. Ia begitu kesal menghadapi kultur birokrasi yang memeras dan bikin “keki” –istilah yang Ahok pilih untuk menggambarkan perasaannya. Di sisi lain, penduduk Pulau Belitung, yang kaya timah itu, hidup dalam jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Menjadi pejabat publik adalah jalan terbaik untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi, begitu Ahok berpikir.
Seperti kita tahu, Ahok pun terpilih sebagai Bupati Belitung Timur pada 2005. Saat menjadi bupati inilah ia dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Ahok dianggap mampu membenahi birokrasi dan melawan praktik korupsi. Ia sempat ikut dalam pemilihan Gubernur Bangka Belitung pada 2007 namun kalah oleh Eko Maulana Ali. Ia sukses melenggang ke Senayan pada 2009 melalui Partai Golkar. Perjuangan Ahok yang rajin berdiskusi dengan warga, mendatanginya, lalu mendenga keluh kesah inilah yang direkam dalam film Fight Like Ahok. Ia rela menyeberang dari Belitung menuju Pulau Pongok, di selatan Pulau Bangka dengan kapal sewaan dan diterjang hujan.
Kini, Ahok tak perlu bergerilya dan berbasah-basahan untuk menjaring suara di Kepulauan Seribu, misalnya. Namanya sudah populer. Ia sukses membenahi birokrasi di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Kini, birokrasi pemerintah DKI Jakarta bisa dikatakan menjadi bentuk ideal pelayanan publik di Indonesia. Infrastruktur digenjot. Kota ditata. Normalisasi (Daerah Aliran Sungai). Sejuta KTP dukungan untuk maju melalui jalur independen sudah di tangan. Ahok pantas jumawa.
Ketika Hok Gie bergulat dengan pemikiran dan konsepsi, Ahok mungkin beberapa langkah di depannya. Ia terjun ke lumpur politik yang kotor. Berkali-kali ia adu urat dengan politisi di Balai Kota maupun di Senayan. Isu SARA juga menghantui Ahok. Sebagai minoritas, sejumlah kelompok Ormas Islam menentang kepemimpinannya. Ahok bergeming.
Ketika tahun politik berulang dan Pemilihan Kepala Daerah akan berlangsung pada awal 2017, kasus Sumber Waras dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta mengganjal Ahok. Kritik dan tanda tanya besar mulai menggelantunginya. Pemerintah DKI kalah dalam beberapa gugatan dengan warga. Skema pembangunan Ahok tak mulus-mulus amat.
Tentu, bekerja membenahi Jakarta diselingi hantaman kanan-kiri, tidaklah menyenangkan. Jurnalis semakin intens menyorot Ahok. Ada yang terus memberitakannya positif, negatif, dan kritis. Terakhir, ia mulai smenyerang beberapa media yang mengkritisinya atau sekadar melontarkan pertanyaan usil. Tak hanya Ahok yang gerah. Barisan pendukungnya pun ikut bereaksi.
Hok Gie dan Ahok berangkat dari latar yang sama: kaum minoritas. Mereka beruntung bisa menginspirasi banyak orang. Kini, ketika di pucuk kekuasaan dan menjadi amat populer, Ahok mungkin perlu membaca pesan penting Hok Gie di catatan hariannya, “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Multisemesta Bernama Indonesia
Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIBMemaknai Kekalahan dalam Demokrasi
Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler