Yang Luput dari Jakarta; Refleksi Ulang Tahun ke-489 Ibukota Tercinta

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak yang luput di mata kita tentang Jakarta. Seno Gumira dalam kumpulan tulisannya tentang ibukota mencatat dengan apik. Tentang kota dan manusianya.

 

Rumus memelihara kota sekompleks Jakarta pernah dilontarkan oleh Bung Karno. Begini bunyinya, “Kota ini butuh seorang yang keras kepala untuk menerbitkan para ndoro ayu dan tuan-tuan yang suka seenak perutnya saja.” Karena itu, Bung Karno mengangkat si Koppig-Heid, keras kepala, bernama Ali Sadikin pada 1966.  Ali, seorang perwira marinir kelahiran Sumedang, memikul beban berat.

Di tangan si Koppig-Heid, Jakarta yang ketika itu dicibir sebagai The Big Village pun berbenah. Ali menggarap sejumlah proyek untuk menata ibukota. Di tengah cibiran, Ali menegaskan bahwa pembangunan itu tak semata soal fisik, ada “manusia” sebagai aktor penting pembangunan yang juga harus dibenahi.  Alhasil, sebut saja Kawasan Thamrin, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Ria Remaja, kawasan Pantai Ancol hingga mendirikan pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, adalah peninggalan Ali.

Setelah era Ali Sadikin, banyak yang menyebut Jakarta mengalami stagnasi di periode gubernur sesudahnya. Kota ini seolah terus melaju, bertransformasi, dan bersalin rupa menjadi kota besar modern . Gedung pencakar langit tumbuh sebagai penanda modernisasi. Kendaraan kian menyumpeki jalan-jalan Jakarta dari hari ke hari. Pusat perbelanjaan tumbuh bak cendawan di musim hujan.  Gerai kopi mewah tak perlu was-was kehilangan konsumen. Konsumerisme dirayakan bersamaan dengan semakin padatnya kota yang dulu bernama Batavia ini. Lalu di mana identitas Jakarta?

Sampai pada pertanyaan ini, Seno Gumira Ajidarma memberikan uraian menarik soal identitas Jakarta. Homo Jakartensis, demikian Seno menyebut penghuni ibukota. Apa maksud Seno menggunakan istilah tersebut? Mungkin Seno hendak memelintir istilah Homo Sapiens, sebagai nomenklatur binomial manusia. Homo Jakartensis, seolah berbeda dibandingkan dengan umumnya “manusia biasa”.

Seno mendefiniskan Homo Jakartensis sebagai manusia metropolis yang tidak bisa lepas dari asal-muasalnya. Menarik untuk mencermatinya bahwa Jakarta tidak dimonopoli oleh satu golongan, misalnya suku asli Betawi. Sederhananya, ketika orang bertanya kepada warga Jakarta, “Anda dari mana?” Lalu, dijawab, “Saya dari Jakarta.” Pertanyaan pun berlanjut, “Asalnya?” Pertanyaan itu adalah konsekuensi dari kondisi Jakarta sebagai titik temu berbagai etnis di seluruh Indonesia.  Jakarta adalah hunian impian bagi banyak orang Jawa, Batak, Sunda, Minang, hingga Bugis.

Tak hanya soal asal-usul, banyak keunikan lain yang menjadikan Homo Jakartensis tak sekadar manusia-manusia urban yang hidup di antara kemacetan, hutan beton, dan fenomena perkotaan lain. Homo Jakartensis, dalam pembacaan Seno, adalah sosok-sosok unik yang hidup dalam ironi dan kaya penanda. Mereka, tulis Seno, adalah manusia-manusia dengan sederet label; manusia mobil, motorcycle people, penikmat kopi, penglaju, hingga penyuka sepatu kulit mengkilap.  

Mari simak tiga label pertama. Homo Jakartensis sebagai manusia mobil. Mobil dan Homo Jakartensis adalah dua entitas tak terpisahkan. Rutinitas membuat kelas menengah atas Jakarta akrab dengan kendaraan pribadi, dalam hal ini mobil. Kemacetan berjam-jam di ibukota, membuat mobil bersalin rupa menjadi “hunian” baru, baik sebagai ruang makan, ruang kerja, ruang menonton, hingga ruang rias. Homo Jakartensis adalah pengemudi andal (atau ceroboh?) atau manusia-manusia multitasking, yang bisa memegang setir di tangan kanan dan memoles gincu dengan tangan kirinya.

Kedua, Homo Jakartensis sebagai motorcycle people. Motor sebagai moda transportasi murah meriah adalah pemandangan khas Jakarta. Motorcycle people ini piawai meliak-liuk di antara himpitan kendaraan lain. Karena itu, motor juga solusi untuk memperpendek waktu tempuh sekaligus pamer kemampuan akrobatik.

Ketiga, Homo Jakartensis sebagai penikmat kopi. Mereka adalah penyeruput kopi asli negeri sendiri yang rela membayar berkali-kali lipat jika sudah dikemas merek ternama, seperti Starbucks atau Coffee Bean. Kebanyakan Homo Jakartensis lebih menghargai cangkir indah gerai kopi bermerek ketimbang gelas kaca murahan, meski bercita rasa sama.

Ketiga label Homo Jakartensis di atas seolah menjadi justifikasi modernisasi Jakarta. Faktanya, kota-kota besar dunia yang benar-benar modern, memiliki label dan ritme yang jauh lebih ramah dibanding Jakarta. Seno Gumira Ajidarma dalam tulisannya berjudul Antara New York dan Jakarta, memberikan sudut pandang menarik soal identitas sebuah kota. Ia coba membandingkan New York dengan Jakarta.

Kebanyakan orang melihat New York sebagai kota besar dunia. Kota ini begitu sering muncul di tayangan Hollywood, dengan gedung menjulang, Central Park, hingga patung Liberty. Identitas New York yang tampak di layar kaca, menurut Seno, bukanlah jiwa kota itu sesungguhnya. Jiwa kota itu sesungguhnya terletak pada bekas-bekas gudang yang menjadi tempat pertunjukan teater kelas satu dengan kapasitas 50-100 penonton, kafe-kafe penyaji pertunjukan musik jazz, hingga toko buku sederhana. Jiwa New York itu terselip di antara butik-butik bermerek yang lebih ramai dikunjungi oleh konsumen asal dunia ketiga yang tidak jelas asal-usul duitnya, ketimbang penghuni kota itu.

Antara New York dan Jakarta adalah salah satu tulisan Seno yang dirangkum dalam buku berjudul Tiada Ojek di Paris. Buku iniadalah resensi alternatif untuk membaca Jakarta. Melalui tulisannya, Seno seperti memberi kaca kepada kita, warga Jakarta, untuk melihat apakah kita menjadi mereka yang disentil olehnya.  Sebagai sosok serba bisa, dengan label sastrawan, wartawan, akademisi hingga fotografer, yang melekat pada nama Seno Gumira Ajidarma, seekor bajing, selembar kartu nama, hingga secangkir kopi, menjadi sangat penting untuk memahami kota bernama Jakarta.***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Multisemesta Bernama Indonesia

Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIB
img-content

Memaknai Kekalahan dalam Demokrasi

Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Urban

Lihat semua