Inggris Hari ini dan Imajinasi Alan Moore
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSetelah referendum Brexit, membaca kembali V for Vendetta-nya Alan Moore, bisa mengajak kita membayangkan hari-hari ke depan.Pilihannya, suram atau cerah.
Bagi kalangan pecinta komik, Alan Moore adalah legenda. Pria berkebangsaan Inggris itu telah meninggalkan jejak di semesta DC –sebutan untuk dunia khayali bernaungnya para superhero DC Comics. Apa yang menjadikan Moore legenda? Karena ia mampu menyulap dunia kanak-kanak dalam komik menjadi serius, kelam, dan sensitif isu. Swamp Thing, The Killing Joke, dan tentunya, masterpiece, Watchmen adalah beberapa karyanya yang diingat oleh pecinta komik hingga hari ini.
Imajinasi Moore seperti menembus batas waktu dan menciptakan semesta lain (alternate history). Ia piawai mengangkat isu lingkungan hidup (Swamp Thing), homoseksualitas (Watchmen), kekerasan domestik (The Vigilante, Father’s Day), spiritualisme (Promethea), soal psikologis (The Killing Joke), hingga politik global (V for Vendetta).
Novel grafis V for Vendetta sendiri terbit pada tahun 1988 dengan label Vertigo –imprint dari penerbit DC Comics untuk tema-tema serius. Alan Moore sebagai penulis menggandeng ilustrator David Loydd untuk mengejawantahkan teks menjadi ilustrasi dalam panel-panel yang indah. Latar dalam V sungguh menarik: Negara Inggris yang otoriter, monarkis, dan adikuasa.
Semuanya dimulai ketika terjadi perang nuklir pada 1980 yang menyebabkan hampir seluruh dunia hancur, termasuk Amerika Serikat. Inggris yang masih tegak berdiri dikuasai oleh kekuatan fasis Partai Norsefire. Slogan “Strengh Through Unity, Unity Through Faith” tersebar hingga ke pelosok Britania dengan seorang Kanselir di pucuk kekuasaan. Adalah Adam James Susan yang kemudian bersalin nama menjadi Adam Sutler (akronim Susan-Hitler) yang menjadi kanselir utama dalam rekaan Moore.
Norsefire bersalin menjadi NAZI baru di benua biru. Mereka memusuhi semua yang berbeda seperti imigran, muslim, dan kaum teroris. Ideologinya berbasis fasisme, ultranasionalisme, dan supremasi kulit putih. Di tangan Norsefire, kehidupan di Inggris ibarat rumah kaca. Penguasa ibarat menara pengawas yang memelototi gerak-gerik. Hidup setiap individu diawasi. Jam malam diberlakukan. Di setiap pojok jalan terdapat pelantang suara yang siap menebar teror dan ketakutan.
Tiran itu pun menebar ketakutan melalui lembaga intelijen bernama The Eye dan The Ear. Media massa pun, seperti di negara-negara ototriter, adalah corong penguasa melalui NTV atau Norsefire Televison . Tak ada elemen-elemen jurnalisme-nya Bill Kovach di sana. Kekuasaan agama pun takluk. Pemimpin tertinggi Gereja digambarkan sebagai pecandu seks dan pedofil dalam V.
Latar belakang di atas, bukanlah dunia khayali pertama Alan Moore. Tiga tahun sebelumnya, pada 1986, penulis eksentrik yang menahbiskan dirinya sebagai ceremonial magician ini merancang sebuah Amerika Serikat “lain” dalam novel grafis Watchmen. Karya Moore yang diakui sebagai 100 novel terbaik sepanjang masa versi majalah Time itu menggambarkan Amerika sebagai pemenang Perang Vietnam, Nixon yang terpilih untuk ketiga kali, dan matinya dua jurnalis Washington Post pembongkar skandal Watergate. Dalam imajinasi Moore, Amerika Serikat bukan lagi kiblat demokrasi, melainkan ancaman bagi demokrasi itu sendiri.
Apa yang ditulis Moore pada 28 tahun yang lalu itu menjadi menarik diperbincangkan kembali, terutama setelah Referendum Brexit pada kamis, 23 Juli lalu. Hasilnya memenangkan kubu “keluar” yang berarti negara Ratu Elizabeth itu segera berpisah dari kemitraannya dengan Uni Eropa.
Kemenangan ini bisa menjadi pemicu tuntutan serupa di negara Eropa Daratan lain. Mengutip dari CNN, Marine Le Pen, pemimpin partai sayap-kanan Perancis, Front Nasional, yang mengaku menyambut baik hasil referendum. Bahkan, Le Pen mengatakan referendum Inggris akan menjadi preseden juga di Perancis. Selama ini, rekam jejak Le Pen dikenal sebagai penentang Islam yang vokal.
Senada dengan Le Pen, Geert Wilders, tokoh sayap anti-Islam Belanda menyuarakan tuntutan yang sama untuk Belanda. "Kami ingin berkuasa di negeri sendiri, menguasai uang sendiri, perbatasan sendiri dan kebijakan imigrasi sendiri. Jika saya menjadi perdana menteri, akan ada referendum bagi Belanda untuk meninggalkan Uni Eropa. Biarkan rakyat Belanda yang memilih," kata Wilders dalam situs pribadinya. Selama ini, Wilders dikenal dengan film kontroversialnya Fitna pada 2008. Film ini menyulut aksi protes dari kalangan umat muslim di selutuh dunia. Ia pun menentang Islam dan kehadiran imigran di Belanda.
Di Inggris sendiri, adalah Partai UKIP –sayap kanan, yang mendukung keluarnya negeri itu dari Uni Eropa. Adalah Nigel Farage yang dikenal rasis dan kerap menyerang kaum imigran yang bersuara atas kemenangan ini. Ia bersuara lantang memprotes gelombang pengungsi akibat wiayah tanpa batas Uni Eropa. Dalam kampanye Brexit, UKIP membuat poster rasis soal gelombang pengungsi Suriah ke Inggris. Kemenangan pihak “keluar” dalam Brexit dianggap Farage sebagai “fajar kemerdekaan Inggris”.
Ucapan Farage tak ubahnya Kanselir Adam Sutler, penguasa Inggris dalam novel V. Di dunia itu, Alan Moore menggambar si Fasis sebagai pembungkam perbedaan pandangan politik. Ia pun menjebloskan kaum Yahudi, Arab, Pakistan, Liberal, dan Homoseksual ke kamp konsentrasi. Mereka dijadikan kelinci percobaan, disiksa, dan dieksekusi. Mirip cara kerja NAZI.
Namun, di tengah ancaman fasisme, ada saja perlawanan. Tokoh V adalah sosok protagonis yang melawan rezim diktator Norsefire. V adalah figur ikonik yang memakai topeng Guy Fawkes, tokoh ekstremis yang ingin meledakkan gedung parlemen Inggris pada 1605 . Hari ini, topeng itu digunakan sebagai simbol oleh peretas anonymous. Cara kerja V sebenarnya sederhana: melawan teror dengan teror. Dan pola ceritanya tentu sama: jagoan menang di akhir cerita. Rezim fasis jatuh oleh pelawanan rakyat yang tadinya bungkam.
Setelah 28 tahun dari karya Alan Moore itu, kita melihat suara-suara yang mengancam perbedaan dan kebebasan hadir di belahan bumi yang konon paling modern itu. Terlalu dini untuk membayangkan Inggris hari ini dengan imaji Alan Moore yang mencekam itu.
"An Ideas are bulletproof," adalah kalimat penting dalam novel ini. Ide apapun takkan mudah hilang bahkan oleh ancaman senjata, baik ide menjunjung tinggi kebebasan, maupun ide yang mengancam kebebasan itu sendiri.
Saya pun penasaran. Apakah Alan Moore ikut dalam referendum itu? Jika iya, apa yang dipilihnya? Kini, Moore menghabiskan hari tuanya dengan tetap berkarya di Northampton, 108 kilometer barat daya London. Ia menulis, memproduseri, dan menyutradari film indie dan sudah jauh hari meninggalkan komik populer dan Hollywood.
Sumber foto: pribadi
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Multisemesta Bernama Indonesia
Selasa, 21 Mei 2019 21:24 WIBMemaknai Kekalahan dalam Demokrasi
Senin, 20 Mei 2019 14:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler