Vaksin Palsu, Pembunuh Mimpi Kanak-kanak

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Skandal Vaksin Palsu, sebuah kejadian yang berdampak luas dan harus diikuti dengan investigasi mendalam.

Sebuah skandal memilukan terjadi. Vaksin palsu. Bagaimana manusia bisa memiliki hati sekeji ini, saya tidak bisa mencernanya. Keji, jahat, biadab. Tak ada kata yang sanggup melukiskan kekejian itu.

Saya tidak peduli pada sosok relijius si pemalsu. Itu urusan mereka, nggak ada urusan publik dalam penampilan mereka. Pada tulisan ini saya fokus saja pada dampak kejahatan mereka.

Masih merinding saya membayangkan dampaknya. Vaksin palsu. Bagaimana kita bisa mengukur daya rusaknya. Pada vaksin, ada harapan ibu-bapak pada kesehatan dan kualitas hidup anak-anak mereka. Pada vaksin, ada kepercayaan bahwa tubuh ringkih bayi dan balita sudah terlindungi. Yang dicegah vaksin bukanlah penyakit enteng seperti halnya flu, pilek, demam, atau sekadar gatal biduran. Vaksin bertujuan mencegah penyakit yang fatal, yang berdampak kelainan fisik dan bahkan mematikan, seperti polio, difteri, campak, rubela, hepatitis, dan seterusnya. 

Seperti petir di hari cerah, begitulah vaksin palsu ini. Dia menggoyahkan kepercayaan yang susah payah dibangun para ahli kesehatan, membuat gamang harapan yang sudah ditanam. Bagaimana jika anak-anak disuntik dengan vaksin palsu? Apa dampaknya? Apa harus divaksin ulang? Vaksin yang mana?

Saya terkenang pada sepupu saya, dulu di awal 1970an ketika vaksinasi masih jarang dilakukan, terkena demam difteri. Hanya dalam lima hari, dia meninggal. Begitu ganas demam itu. Syukurlah, sekarang demam difteri bisa dicegah dengan vaksin. Tapi, bagaimana kalau vaksinnya cuma berisi larutan gula, cairan infus, dan antibiotik? 

 Seorang kawan berkomentar di FB.  “Ah, sudahlah jangan lebai. Vaksin ini tidak mematikan kok. Lagian, kita juga sudah hafal dengan pemalsuan obat,” begitu katanya. Ada juga yang bilang, “Gua bilang juga apa, vaksin memang nggak berguna. Itu bikin anak jadi autistik. Malah bagus kalo nggak pake vaksin.” Lalu, kelompok fatalis juga tak mau kalah, “Ya sudah, pasrah saja. Hidup, mati, sakit, ada di tangan Tuhan.” 

Bagaimana kita bisa cuek pada kejahatan tak terperi ini. Tudingan bahwa vaksin memicu autistik itu masih debatable, banyak data riset yang membantah kekhawatiran itu. Bahwa kita pasrah pada Tuhan, semua sudah mafhum, tapi bukankah Tuhan meminta kita berikhtiar sampai napas terakhir. Vaksinasi adalah bentuk ikhtiar itu. 

 Tentang pemalsuan obat, ya, saya paham pemalsuan obat sudah begitu masif di negeri ini. Ponstan, pereda nyeri, yang Anda minum, termasuk yang Anda beli di apotek, bukan mustahil isinya hanya tepung bersalut gula. Saya tidak mengecilkan dampak pemalsuan obat, itu memang keji. Namun, menurut saya pemalsuan vaksin jauh lebih keji. Ada harapan masa depan yang dibunuh di sana. Efeknya baru terasa di kelak entah kapan, saat daya imunitas tak terbangun dan penyakit mematikan mengintip menyergap suatu ketika. Seperti Grinch yang mencuri kegembiraan Natal, bagi saya vaksin palsu bagaikan monster pembunuh mimpi kanak-kanak. 

 Cairan vaksin palsu itu sendiri mungkin tidak berbahaya. Paling hanya berdampak infeksi lantaran cairannya tidak diproses secara steril. Itu pula mungkin sebabnya para pemalsu mencampur cairan garam infus dengan antibiotik. Namun, lebih dari sekadar soal bahaya tidaknya cairan vaksin palsu, ada persoalan lain yang lebih serius: kekebalan penyakit yang diharapkan tidak tercapai. Imunitas yang diharapkan tumbuh tidak terjadi, sebab tak pernah ada vaksin beneran yang disuntikkan ke dalam tubuh si bocah. Wajarlah jika tak sedikit orang tua merasa was-was. “Jangan-jangan, si bungsu dulu disuntik vaksin palsu.” 

 Vaksin pun bukan hanya urusan pribadi. Di sana ada harapan akan masyarakat yang lebih baik dan lebih tahan penyakit. Itu sebabnya, vaksinasi massal selalu menjadi program serius, untuk menyingkirkan polio, difteri, juga aneka penyakit yang membikin kita jeri hanya dengan membayangkannya.

 Kementerian Kesehatan, Badan POM, ahli epidemiologi, apoteker, harus segera meneliti dengan serius. Pemerintah perlu membuat tim khusus, satuan tugas, yang bertugas menginvestigasi lebih mendalam persoalan ini. 

Bagaimana perjalanan vaksin palsu ini selama sepuluh (ya, 10 tahun!!!) terakhir. Ke mana saja vaksin itu menyebar, siapa saja yang sudah disuntik vaksin palsu, bagaimana dampaknya pada penyebaran penyakit-penyakit yang berbahaya. 

 Satuan tugas ini hendaknya bekerja tanpa tekanan politik. Ada kepentingan yang jauh lebih besar daripada sengkarut interes politik di sini. Para pelaku yang sudah diciduk polisi harus diusut betul, jaringan mana saja yang selama ini mereka gunakan.

Klinik, apoteker, juga dokter mana saja yang selama sepuluh tahun ini ada dalam jejaring mereka. Konon, berdasar pengakuan sementara pelaku, vaksin palsu disalurkan pada klinik-klinik yang memasang tarif lebih mahal dari layanan puskesmas dan rumah sakit. Pengelola klinik mungkin tergoda dengan margin diskon yang ditawarkan pengedar vaksin palsu. Bila yang asli per ampul berharga 300-500 ribu rupiah, mungkin vaksin palsu dijajakan dengan diskon 50 persen. Dengan kemasan yang meyakinkan, dokter atau pengelola klinik bakal tergoda. 

 Terungkapnya jaringan pemalsu vaksin ini adalah saatnya kita menggugah nurani. Para dokter, apoteker, pengelola klinik, pengelola rumah sakit, mohon dengan besar hati mereview penggunaan vaksin selama sepuluh tahun terakhir ini. Siapa pemasoknya, bagaimana kredibilitasnya, perlu dicek ulang. Alarm perlu dinyalakan terutama jika pemasok vaksin yang pernah digunakan sebuah klinik menawarkan diskon yang tak masuk akal. 

 Klinik, apoteker, semestinya juga mencatat data siapa saja pengguna vaksin yang bisa ditelusuri. Kendati bukan pekerjaan yag mudah, menelusuri jejak para pengguna ini juga bukan hal yang mustahil. Penelusuran ini bukan dengan maksud menyalahkan, apalagi menghukum klinik dan apoteker, tetapi lebih pada spirit memperbaiki kesalahan, menyelamatkan generasi. 

 Sejauh ini Kementerian Kesehatan sudah pula mengumumkan bahwa anak-anak di bawah sepuluh tahun, yang mungkin menerima vaksin palsu, perlu divaksin ulang. Tak ada kata terlambat. Tapi, mungkin Kementerian Kesehatan perlu lebih spesifik memberikan guideline, bagaimana cara mendeteksi anak-anak yang menjadi korban vaksin palsu. 

 Standarisasi klinik dan dokter yang boleh memberi suntikan vaksinasi agaknya juga tak bisa ditunda. Hanya dokter yang terdaftar resmi, dengan sistem pencatatan yang baik, yang menggunakan vaksin dari sumber resmi seperti Biofarma, yang boleh berpraktik memberikan vaksinasi. 

Pekerjaan rumah ini memang sungguh serius dan berat. Namun, pemerintah wajib melakukannya. Pemerintah berutang kepada publik, karena telah membiarkan vaksin palsu beredar selama lebih dari 10 tahun. Menghukum pelaku saja tidak cukup, pemerintah harus bekerja keras memulihkan harapan dan kepercayaan pada vaksin, pada masa depan anak-anak.

Sungguh, ini skandal yang membuat marah dan pilu. 

***

Bagikan Artikel Ini
img-content
MardiyahChamim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Tak Ada Revolusi dalam Soal Kualitas

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Setelah Badai Pilkada Berlalu

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler