x

PDIP Makin Kuat Mendukung Ahok

Iklan

A. Windarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anakronisme 'Ahok dan Coen'

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan JJ Rizal yang berjudul“Ahok dan Jan Pieterzoon Coen” (Koran Tempo & Indonesiana, 24/6/2016)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

A. Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta.

 

Tulisan JJ Rizal berjudul “Ahok dan Jan Pieterzoon Coen” (Koran Tempo & Indonesiana, 24/6/2016) terkesan sangat ambigu. Pasalnya, karena dalam tulisan itu Ahok dan Jan Pieterzoon Coen ditempatkan sebagai wacana yang seolah-olah sejajar. Artinya, wacana tersebut seakan-akan menciptakan mitos dan stereotip tentang Ahok yang mewakili penguasa bekas kota kolonial Batavia sebagai pewaris mental VOC dan Coen yang memproyeksikan kecenderungan untuk melakukan kolonialisasi ala Barat/Eropa yang berambisi menguasai, menjinakkan dan mengontrol pihak “Yang Lain”.

Dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (Masup Jakarta, 2009), Jean Gelman Taylor menulis: “Akhir 1618, Coen mundur ke Maluku untuk membentuk pasukan guna menguasai Jacatra dan Bantam (Banten), serta mengusir sekutu Inggris mereka.” Hal itu menandai bahwa sejak penandatangan kontrak antara penguasa Jacatra, Pangeran Wijayakrama, dengan perwakilan VOC (Maskapai Dagang Hindia Timur) ambisi Coen sebagai orang kedua di VOC Asia untuk menaklukkan kota pelabuhan kecil di muara Sungai Ciliwung itu sudah muncul. Jadi, bukan hanya Pasar Ikan yang dihancur-ratakan, tetapi seluruh kota Jacatra dan menggantinya dengan nama Batavia. Di sinilah pusat seluruh kebijakan VOC di Asia dibangun dan ditempatkan, termasuk Dewan Pemerintahan Asia, pengadilan tinggi, kantor kepala pembukuan, dan gudang-gudang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah Ahok begitu berambisi menaklukkan Jakarta, bahkan Jawa, dan mengganti namanya dengan “Singapura Kedua” misalnya, sebagaimana diramalkan oleh sejumlah pengamat belum lama ini? Memang sesudah 1619, setiap tahun pada 30 Mei dirayakan sebagai kemenangan Coen atas Jacatra yang ditandai dengan pelantikan para anggota dewan kota dan pengangkatan para perwira milisi dalam tugas kemiliteran. Tetapi untuk mempararelkan hal itu dengan kebijakan “penggusuran” Ahok di Pasar Ikan pada April silam agaknya cenderung mengarah pada anakronisme dalam sejarah. Dengan kata lain, telah terjadi disorientasi sejarah yang diakibatkan oleh interpretasi terhadap fakta sejarah yang dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan/atau kulturalnya (Bambang Purwanto, 2008).

Lebih jauh lagi, Coen yang telah berpengalaman bekerja di Asia sesungguhnya hanyalah pegawai VOC yang bercita-cita membangun peradaban dalam pemukiman-pemukiman permanen di Batavia. Maksudnya, bukan sebuah koloni Belanda yang murni, tetapi perpaduan antara para imigran dengan para pekerja atau tentara yang diambil dari anak-anak panti asuhan di Belanda. Hal ini dirancang semata-mata demi menghemat uang, karena diketahui secara umum bahwa para direktur VOC adalah orang-orang yang kikir/pelit. Jadi, bukan sekadar karena uang, Coen berniat membangun kehidupan masyarakat yang beradab. Tetapi, hal itu adalah demi mengubah “kehidupan penuh skandal” yang telah berurat-akar di kantor-kantor dagang VOC. Dalam arti ini, Coen berupaya memulihkan nilai-nilai “moral” yang berkait dengan hubungan seks yang teramat bebas, terutama dengan para budak perempuan. Maka, kebijakannya yang melarang “memiliki satu/lebih budak perempuan” dan mengikat semua untuk “tinggal di dalam Republik Jacatra” adalah awal mula untuk menata kehidupan sosial di Batavia.

Kebijakan itu juga demi mengatasi pengeluaran uang yang terlalu banyak akibat pembelian perempuan dengan harga yang tinggi. Padahal para “perempuan” yang dibeli itu belum tentu sesuai dengan yang diharapkan untuk membangun sebuah koloni lantaran masih menjadi semacam “panggilan darurat” belaka. Dalam bahasa Coen yang tidak pernah bicara setengah-setengah, mereka tidak lain adalah “sampah masyarakat Belanda.” Karena itu, mengikut argumen Coen bahwa koloni yang baik harus dibangun dengan orang-orang yang “menikah dan baik-baik”, maka kebijakan untuk menciptakan masyarakat Belanda di Asia pun dijalankan.

Berkat kebijakan itu, Coen yang mampu membangun kastil Batavia di atas reruntuhan Jacatra telah menciptakan suatu masyarakat yang terisolasi dari masyarakat yang lain. Selain dikelilingi tembok benteng yang kuat, kota itu juga dilindungi dengan dinding hutan yang mengitari kota tersebut. Jalan keluar-masuk kota yang utama dibuat melalui laut yang menghubungkan Batavia dengan Belanda dan kota-kota lain di Asia. Bahkan secara kultural, kota itu terpisah dari semua orang Jawa, termasuk penduduk asli Sunda, dan digantikan oleh orang-orang dari berbagai penjuru Asia dan Eropa. Meski pada gilirannya, sesudah perjanjian damai dengan Mataram dan Bantam ditandatangani, orang-orang kaya yang ada di dalam kota mulai berpindah ke luar dan membangun jaringan masyarakat baru di pinggiran Batavia.

Mungkinkah Jakarta yang sedang dibangun kembali oleh Ahok pasti serupa dan searah dengan yang dikerjakan Coen? Atau, benarkah hal itu beroposisi dengan yang dimulai Sukarno untuk membangun Jakarta yang berkarakter tradisional namun berjiwa nasional seperti masih tampak pada monumen Patung Pembebasan Irian Barat dan Monas? Jangan-jangan sejarah yang direkonstruksi atas nama Ahok dan Coen ini hanya mampu berdialog dengan dirinya sendiri dan cenderung memihak.

Ikuti tulisan menarik A. Windarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler