Muda, Kaya, dan Berbahaya

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini cerita tentang kaum muda urban di Jakarta. Mereka mengejar karir impian. Gaji tinggi dan pergaulan kelas atas. Terjebak sindrom FOMO.

Ini cerita tentang kaum muda urban di Jakarta. Mereka mengejar karir impian. Gaji tinggi dan pergaulan kelas atas. Terjebak sindrom FOMO. 

Sebuah artikel di buzzfeed sedang ramai beredar, berkisah tentang drama kehidupan eksekutif muda di India. Mereka pontang-panting mengejar gaya hidup tinggi, padahal penghasilan sama sekali belum mampu menopang. Ada yang rela menahan lapar seharian, demi bisa membeli roti lapis di gerai waralaba internasional. Ada juga yang gajinya habis buat membayar cicilan mobil mewah, yang diparkir di pinggir jalan. Judul artikelnya, Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak Muda yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis.

Apakah itu khas kaum urban India? Jangan salah. Jakarta juga punya buanyak yang bergaya hidup serba gemerlap, lebih edan dari yang ada di India. Mereka mengejar gaya hidup selangit, tak peduli perut harus melilit kelaparan dan rekening terkuras.

Andrew, 28 tahun, ini nama rekaan sosok yang mewakili sosok kaum urban Jakarta. Dia staf di sebuah perusahaan minyak ternama, salah satu pekerjaan impian orang muda. Sarapan pagi, biasanya dia dan teman-temannya janjian di restoran Paul di Pacific Place, atau di Deli Union, Grand Indonesia. Menunya, sandwich dan kopi latte. Sekali sarapan bisa total Rp 250 ribu. Tentu saja, ini bukan semata urusan roti lapis. “It  is a perfect place to see and to be seen,” kata Andrew. Di restoran dan kafe butik seperti ini, eksekutif papan atas mondar-mandir bertukar sapa. Bagi kaum urban, berada di lokasi seperti ini adalah sebuah statemen: “Hai, gua eksis!

 Siang hari, Andrew kadang tak lagi makan siang. Bukan karena diet, tapi karena duit jatah seharian sudah habis. Makan siang ya cukuplah membayangkan enaknya sandwich tadi pagi, plus bikin kopi yang sudah disediakan kantor. Jika ada teman yang mengajak makan, Andrew senyum saja sambil menghadap laptop, “Gua udah, bro.” Kalau lapar tak tertahan, dia menyelinap ke warteg di gang kecil di belakang kantor, lumayan kenyang dengan ongkos Rp 20 ribu. 

 Di layar laptop, Andrew memelototi rincian tagihan kartu kredit. Ada cicilan mobil Audi, yang menyita hampir semua gajinya, belum lagi cicilan untuk baju dan sepatu. Semua serba bermerek. Dia harus memantaskan diri supaya dipandang serius dan itu artinya mesti berpenampilan keren. Tagihan yang menumpuk, Andrew tak khawatir, dia tinggal minta subsidi dari orang tuanya yang pengusaha. “Buat apa juga duit ditumpuk kalo bukan buat anaknya, kan,” katanya. Bayangkan, bagaimana jadinya jika tokoh kita ini bukan anak keluarga berada, bukan mustahil dia terjebak jalan pintas jaringan narkoba atau prostitusi kelas atas --demi keuntungan instan.   

 Oh ya, Andrew baru ingat, akhir pekan ini dia mesti nemeni Linda, pacarnya, potong rambut. Tentu bukan di salon di ujung gang kampung, tapi di salon dengan desainer rambut papan atas di Pondok Indah. Sekali potong rambut dan beragam treatment, ongkosnya Rp 750 ribu. Tapi, bukan soal model rambut keren yang utama. “Itu salon tempat bos-bos yang punya family business di Jakarta ketemu,” kata Andrew. “Kita bisa ketemu si A, son in law yang punya mall ini. Si B, yang punya grup bisnis properti anu, juga biasa potong rambut di situ.” Pergaulan di kalangan ini sangat penting. “Siapa tahu bisa diajak si A atau B ikut ngerjain proyek atau bikin party event atau jadi vendor perusahaan dia,” katanya. 

 Bagi para superkaya ini, garis silsilah dan pertemanan berfungsi seperti curriculum vitae, alat penting buat mendaki tangga status sosial. Karenanya, pergaulan wajib dijaga meski menuntut biaya tinggi. Baju, sepatu, tas, semuanya harus mahal. Terakhir, Andrew ingat, dia mengenakan jam tangan seharga Rp 15 juta, eh langsung disambar komentar temannya, “Man, why do you wear that ugly watch?” Wow, mendengar ceritanya, dalam hati saya membatin, pasti dia kaget kalau tahu harga jam tangan saya.  Andrew melanjutkan, sang teman tadi langsung memberi saran, sebaiknya segera order jam terbaru merek Panerai yang harganya “cuma” Rp 200-an juta. 

Joshua, nama samaran, teman saya yang bekerja di biro konsultan HRD, melengkapi cerita. Pergaulan dan gaya hidup kaum urban ini bukan sekadar konsumtif. “Ada oportuniti bisnis yang dikejar juga. Makin banyak duit dihabisin untuk bergaul, makin banyak peluang bisnis bisa didapat.

Joshua tak segan ikut jalan-jalan ke Singapura. Biasanya berangkat Jumat siang atau sore. Sampai di Singapura, Joshua dan teman-temannya dugem di Zouk Cafe. Sekali buka botol minuman di Zouk ini tarifnya 60-100 dolar Singapura. “Kalau yang berkualitas bisa tiga kali lipat,” katanya. Sekali dugem ke negara tetangga ini, Joshua bisa merogoh saku Rp 20-40 juta. “Itu pun cuma semalam nginep, kalau sampai dua-tiga hari, ya, bisa lebih.” 

 Lalu, peluang bisnis apa yang bisa didapat dari pergaulan papan atas begini? “Macam-macam,” kata Joshua, “Yang penting nama kita beredar dan jadi referensi kalau ada pejabat, politikus, CEO, atau selebritas internasional butuh diantar keliling, buat cari entertainment.” Jika layanan memuaskan, tips yang didapat bisa sekitar US$ 1000. Lumayan buat ongkos ke klub. Lebih bagus lagi jika kemudian ada peluang menyelenggarakan konser musik atau pesta di klub. Keuntungan bisa dibagi dua dengan pemilik klub. “Tapi, ya, hanya segelintir yang dapat peluang kayak gitu. Lebih banyak yang kagak dapat, haha…,” kata Joshua.

Kualifikasi kaum eksekutif urban ini bukan sembarangan. Mereka adalah lulusan terbaik dari universitas papan atas, dalam dan luar negeri. Kandidat karyawan level fresh graduate atawa sarjana segar —ih, kok kayak es blewah yang diseruput pas buka puasa, ini direkrut jika punya paket lengkap. Penampilan oke, representatif dibawa bertemu klien papan atas. Bahasa Inggris, Mandarin, sedikit Perancis dan Jerman, itu keharusan. Pengetahuan politik dan ekonomi global harus ada juga. 

Mereka mengejar karir di perusahaan impian, biasanya di sektor perbankan, investasi, konsultan, atau perminyakan —yang pasti bukan di bidang jurnalistik hehe. Gaji mereka sebetulnya di atas rata-rata, dimulai dari Rp 7-10 juta. Setelah bekerja 4-5 tahun, jika berprestasi luar biasa, gaji bisa mencapai 3000an dolar Amerika, setara Rp 35-40 juta per bulan. Nah, di level menengah inilah tuntutan eksis kian meningkat. Ada kebutuhan untuk dikenali dan melenting di lingkaran elite. Targetnya, dibajak executive head hunter dengan iming-iming gaji yang jauh lebih tinggi. 

Seperti halnya mereka yang baru meniti karir di kota-kota besar, Tokyo, New York, London, juga New Delhi, kaum urban ini sangat familiar dengan biografi orang-orang sukses. Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Elon Musk, Sergey Brin, Sheryl Sandberg, Marissa Mayer, adalah nabi mereka. Kisah sukses tokoh bisnis internasional ini begitu menginspirasi. Mereka ingin seperti para tokoh bisnis itu: muda, pintar, badan sangat terawat, ganteng, cantik, superkaya, dan, hei, foto-fotonya sangat instagrammable

Instagram, salah satu mantra kaum urban. “Sebelum ngopi, cangkir kopi bisa difoto sampai 30 kali. Biar kelihatan cakep di Instagram,” kata Joshua.  Eksis di dunia sosial media memang salah satu jurus yang wajib.  Aktivitas pergaulan dan penampilan yang memakan biaya tinggi harus muncul, dong, di Instagram, Path, Twitter, Linkedn, atau Facebook. “Itu penyakit sosial media,” katanya. Mungkin yang dimaksud Joshua adalah sindrom FOMO (fear of missing out - ketakutan ketinggalan), yang kini banyak menghinggapi anak muda. “Orang lain hidupnya serba seru di sosial media, masak gua kagak bisa kayak gitu,” katanya. 

 Tentu saja, tak ada yang salah dengan keinginan mengejar sukses dan gaya hidup yang selangit. Menjadi miliuner itu cita-cita mulia, begitu kata seorang kawan, terutama jika dengan posisi miliuner itu seseorang bisa memberi pekerjaan pada banyak orang. Persoalannya, seperti yang ditulis di buzzfeed, tak ada yang mengajarkan bagaimana mendapatkan uang besar dan karir cemerlang dengan cara cepat. Ada, sih, tapi itu seperti isi buku ‘how to’ yang ketika dipraktikkan ternyata juga tidak gampang dan butuh perjuangan panjang. Maka, jadilah mereka mengembangkan jurus social climber,  melentingkan diri di pergaulan tingkat atas. Ada yang berhasil, tak sedikit yang terpelanting.

Akan halnya Joshua, dia mengaku sudah meninggalkan dunia gemerlap itu. “Saya sudah insyaf,” katanya, “Gaya hidup begitu berat di ongkos, pake banget.” 

****

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
MardiyahChamim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Tak Ada Revolusi dalam Soal Kualitas

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Setelah Badai Pilkada Berlalu

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler